- Suhu bumi dalam lima abad terakhir, naik secara signifikan hingga mencapai 1,5 derajat celsius pada pada 2018 berdasarkan catatan IPCC. Kenaikan itu di antaranya dipicu pembangunan yang masif namun negatif dengan cara ekstraktif dan eksploitatif
- Kenaikan suhu bumi yang signifikan, berimbas pada kondisi ekologi di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Di sana, praktik pembangunan yang serba cepat, mengancam keberlanjutan ekologis dan sekaligus sosio ekonomi masyarakat pesisir
- Di antara kondisi ekologi yang terancam, adalah hutan bakau yang ada di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil sepanjang 95 ribu kilometer. Ancaman tersebut menjadi ironi, karena hutan bakau masih memegang peranan penting untuk keberlanjutan ekonomi masyarakat di pesisir. Saat ini, terdapat 6.829 desa pesisir yang menggantungkan perekonomiannya pada pemanfaatan hutan bakau.
- Namun, hutan bakau diketahui terus mengalami deforestasi. Hingga 2018, tercatat sudah ada hutan bakau seluas 4,4 juta hektare yang mengalami deforestasi. Angka tersebut, meningkat dari 2017 yang luasannya baru mencapai 3,7 juta ha.
Pesatnya pembangunan yang berlangsung di berbagai negara, berdampak negatif pada ekologi bumi yang menjadi tempat bernaung seluruh warga dunia. Pilihan pembangunan yang ekstraktif dan eksploitatif, ternyata mendorong dengan cepat kenaikan suhu planet bumi yang mencapai 1,5 derajat celsius pada 2018 berdasarkan catatan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mendesak kepada Negara untuk bisa mengambil langkah konkrit dan tegas dalam upaya penyelamatan bumi dari kehancuran ekologi. Langkah itu, harus segera dilakukan, karena fakta kenaikan suhu seperti catatan IPCC, menegaskan bahwa dalam rentang waktu lima abad, suhu bumi sudah naik secara signifikan.
“Angka ini merefleksikan percepatan kenaikan suhu bumi dibandingkan dengan masa sebelum revolusi Industri,” jelas Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati dalam keterangan resmi yang diterima Mongabay, Selasa (22/4/2019).
Menurut Susan, bukti bahwa pembangunan sekarang sudah ekstraktif dan eksploitatif, bisa dilihat di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Di sana, praktik pembangunan dapat dilihat dari cepatnya pembangunan proyek properti seperti reklamasi, pertambangan, dan ekspansi perkebunan sawit yang menghancurkan kawasan tersebut. Kondisi itu, mengancam keberlanjutan ekologis dan kehidupan sosio ekonomi masyarakat pesisir.
Susan menyebutkan ancaman serius yang muncul dari pembangunan ekstraktif dan eksploitatif itu, di antaranya kini dihadapi kawasan hutan bakau (mangrove) yang mendiami kawasan pesisir di Indonesia hingga memanjang 95.000 kilometer. Ancaman itu sungguh ironi, karena hutan bakau hingga saat ini memegang peranan penting untuk keberlanjutan wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.
“Hutan mangrove sangat terancam saat ini,” tegasnya.
baca : Degradasi Mangrove Indonesia: Fenomena Dieback Pada Kawasan Teluk Benoa Bali

Fungsi Utama
Pentingnya hutan bakau bagi keberlangsungan kawasan pesisir, menurut Susan, karena tumbuhan tersebut memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi fisik dan kimiawi. Fungsi yang pertama, yaitu untuk melindungi pantai dari abrasi, penyangga proses rembesan air laut ke tanah, penjaga intrusi air laut, dan sebagai penahan sedimen secara terus-menerus.
Kemudian, fungsi yang kedua, yaitu sebagai penyerap karbondioksida sekaligus sebagai tempat daur ulang oksigen yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan hewan. Fungsi tersebut, berdasarkan catatan KIARA, dari satu hektar hutan bakau, diketahui memiliki kemampuan untuk menyimpan karbondioksiada hingga sebanyak 800-1.200 ton.
Tetapi, Susan menambahkan, selain memiliki dua fungsi disebut di atas, keberadaan hutan bakau juga memiliki fungsi sosial dan ekonomi yang sangat penting bagi masyarakat yang tinggal di desa pesisir. Terlebih, dari data KIARA pada 2019, saat ini di kawasan pesisir tercatat ada 6.829 desa yang memiliki pendapatan ekonomi dari praktik pemanfaatan hutan bakau.
Akan tetapi, menurut Susan, di saat masyarakat pesisir sudah terikat dengan hutan bakau, di saat yang sama, hutan bakau diketahui terus mengalami deforestasi. Dari data KIARA yang dikumpulkan hingga 2018, tercatat sudah ada hutan bakau seluas 4,4 juta hektare yang mengalami deforestasi. Angka tersebut, meningkat dari 2017 yang luasannya baru mencapai 3,7 juta ha.
“Penyebab utama deforestasi mangrove adalah ekspansi proyek reklamasi di seluruh pesisir Indonesia, pertambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil, serta ekspansi perkebunan kelapa sawit yang saat ini telah memasuki kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Pemerintah harus mengevaluasi seluruh proyek ini,” papar dia.
baca juga : Indonesia Petakan Kembali Mangrove untuk Karbon Biru

Di luar fenomena deforestasi, KIARA juga menyoroti persoalan sampah plastik yang produksinya terus meningkat dan sudah mencemari laut Indonesia. Di Indonesia, produksi sampah plastik mencapai angka 64 juta ton per tahun, dan lebih dari 3,5 juta ton sampah plastik diketahui dibuang ke wilayah laut Indonesia. Fakta itu, menjadikan Indonesia sebagai negara kedua di dunia dengan produksi sampah terbesar setelah Tiongkok.
“Meski sampah plastik di lautan Indonesia telah begitu mencemari, Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum memiliki strategi dan kebijakan khusus untuk menyelesaikan persoalan ini,” tuturnya.
Tak hanya itu, Susan menilai, Pemerintah Indonesia terlihat tidak memiliki ketegasan terhadap perusahaan pembuat plastik yang telah banyak mengambil keuntungan dari bisnis plastik. Dalam kasus sampah plastik yang telah mencemari laut Indonesia, seharusnya perusahaan pembuat plastik menjadi pihak yang paling pertama diminta pertanggungjawaban secara serius oleh Pemerintah.
Di sisi lain, saat seruan untuk menurunkan produksi sampah plastik terus dikampanyekan pegiat lingkungan, Pemerintah Indonesia tetap optimis langkah yang dilakukan saat ini sudah sesuai pada koridor yang benar. Hal itu, berkaitan dengan target penurunan 70 persen sampah laut pada 2025 yang ditetapkan Pemerintah Indonesia.
perlu dibaca : Menagih Peran Para Pihak Tangani Sampah Plastik di Laut

Optimis 2025
Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Manusia, Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Budaya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Safri Burhanudin mengatakan, Pemerintah terus melakukan beragam reaksi cepat untuk mengejar target penurunan 70 persen sampah di laut pada 2025. Di antara yang dilakukan saat ini, adalah dengan melaksanakan koordinasi dan membuat regulasi yang tepat untuk rencana aksi nasional (RAN) tersebut.
Safri menjelaskan, persoalan sampah di laut sejak beberapa tahun terakhir sudah menjadi perhatian luas bagi Indonesia. Untuk mengatasinya, perlu dibuat kajian dan estimasi jumlah sampah yang ada di laut, baik secara global maupun untuk wilayah laut yang masuk wilayah hukum Indonesia. Reaksi seperti itu, menjadi bagian dari RAN yang sudah dilaksanakan dalam 1,5 tahun terakhir.
Asisten Deputi Pendayagunaan Iptek Nani Hendiarti menambahkan, Presiden Joko Widodo sudah menerbitkan Peraturan Presiden No.83/2018 mengenai penanganan sampah laut, di mana dalam RAN disebutkan kalau Pemerintah menargetkan mengurangi sampah plastik laut hingga 70 persen pada tahun 2025.
“Proses penyusunan Peraturan Presiden dan lampiran RAN diproses selama hampir 2 tahun dari mulai isu berkembang. Hasil estimasi sampah di laut yang akurat, sangat membantu dalam mengambil kebijakan dan memantau pelaksanaan Perpres No.83/2018,” jelasnya.
Nani Hendiarti menuturkan, dalam upaya melaksanakan RAN, pihaknya bersama Kementerian Pariwisata saat ini tengah menyusun prosedur operasi standar (SOP) untuk penanganan sampah di kawasan wisata. SOP tersebut, nantinya akan berisikan materi berupa pedoman penanganan sampah laut di destinasi pariwisata.
baca juga : Bisakah Indonesia Kurangi Sampah Plastik hingga 70 Persen pada 2025?

Di antara 5 poin strategis yang ada di dalam RAN, menurut Nani, ada satu hal juga dinilai sangat penting, yaitu bagaimana meningkatkan kapasitas kelembagaan, penindakan hukum dan pendanaan untuk melaksanakan RAN. Poin itu menjadi penting, karena hingga sekarang masih ada sebagian pemerintah daerah yang mempunyai masalah dengan pendanaan.
Nani menyebutkan, menurut data kajian bank dunia, Schmidt dan Lebreton, diketahui bahwa sungai membawa 80 hingga 95 persen sampah plastik ke laut. Sekitar 95 persen sampah plastik di laut, diketahui berasal dari 10 sungai besar di dunia, dengan delapan sungai berada di Asia dan dua di Afrika. Dari delapan di Asia, tidak satupun sungai tersebut ada di Indonesia.
Untuk itu, menurut Nani, perlu kesepakatan untuk metodologi dan stakeholder pengumpul data sampah laut Indonesia. Juga, perlu dilakukan pengumpulan data primer yang terintegrasi untuk mengetahui kondisi aktual sampah laut secara nasional. Selain itu, penggunaan teknologi yang sesuai dengan geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, juga sangat penting dalam mengatasi sampah di laut.
“Keterlibatan akademisi atau ilmuwan serta LSM dan sektor swasta, sangat dibutuhkan untuk bersama-sama dengan pemerintah mengatasi kesenjangan dalam implementasi Perpres No.83/2018,” pungkasnya.