- Aksi longmarch Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa memasang spanduk besar menutupi baliho DPRD Bali
- DPRD Bali diminta proaktif melakukan fungsi kontrol dan pengawasan proyek-proyek yang berisiko merusak lingkungan
- ForBALI meminta pimpinan DPRD Bali tak menjadi seperti tokoh punakawan Sangut dalam wayang tradisional
- Anak-anak muda diminta peduli pada kajian lingkungan hidup sejumlah proyek karena akan berdampak pada pesisir
Aksi Bali Tolak Reklamasi kini makin intens menyoroti rencana reklamasi di perluasan Pelabuhan Benoa dan perluasan Bandar Udara Internasional Ngurah Rai. Forum Rakyat Bali (ForBALI) Tolak Reklamasi Teluk Benoa mengajak warga pesisir mempelajari kajian lingkungan hidup proyek-proyek pesisir agar tak hanya memanen bencana seperti abrasi.
Dalam aksi longmarch pada Jumat (24/5/2019) di Denpasar, sejumlah peserta aksi memasang spanduk besar menutupi baliho DPRD Bali yang dipasang depan kantor megah parlemen daerah ini. Spanduk ForBALI ini bergambar tokoh pewayangan Sangut dengan tulisan “Jika Kalian Tidak Bersikap untuk Rakyat Maka Kalian Tak Ubahnya Seperti Sangut”. Deretan foto pimpinan DPRD Bali di baliho terlihat di bawah baliho.
Puluhan petugas polisi berjaga di depan pintu gerbang DPRD yang tertutup rapat. Mereka hanya mengawasi rombongan aksi yang berorasi bergantian di atas truk. I Wayan ‘Gendo’ Suardana, Koordinator ForBALI meminta DPRD jangan hanya diam dan mengikuti keinginan investor dalam kasus-kasus pembangunan pesisir.
baca : Empat Rencana Proyek Besar Mengancam Pesisir Bali Selatan
Karakter Sangut dalam Pewayangan tradisional Bali menurutnya selalu cari selamat dalam pertikaian. Sementara punakawan lainnya, Tualen dan Merdah selalu siap tempur jika terjadi peperangan. “Delem paling sering dimarahi karena loyalitas majikan. Sangut diam, selalu cari selamat ikut arah angin, bisa di segala tempat,” kisahnya tentang cerita di balik spanduk protes itu. Suardana bertekad, sifat oportunis Sangut tak akan aman di hadapan rakyat.
Saat ini, menurutnya rakyat memerlukan dukungan DPRD sebagai pengontrol dan pengawasan pembangunan. Agar setiap proyek yang mengeksploitasi laut mendapat kajian lingkungan hidup yang serius. “Ada rencana penambangan pasir di Legian sampai Canggu. Logika hukumnya, sebelum penambangan pasir harusnya tata ruang pesisir dulu. Seharusnya dewan perhatikan suara rakyat jangan jadi Sangut. Ayo anak muda bersatu,” teriaknya menyemangati peserta aksi untuk peduli.
Jika DPRD Bali serius menolak reklamasi Teluk Benoa, ForBALI meminta segera membuat Panitia Khusus atau menggelar sidang paripurna dan berkirim surat kepada presiden Jokowi untuk membatalkan Perpres No.51/2014.
Sementara itu, di Bali Selatan, pesisir Kedonganan, Kelan, Tuban, Kuta, sampai Canggu bisa berdampak dengan keluarnya izin eksplorasi dua perusahaan untuk pengurukan pasir di tengah laut. Luasnya sekitar 900 hektar dari usulan awal 1.900 hektar. Ini seluas tiga kali Pulau Lembongan dan Ceningan.
“Jika di sekitar pesisir Legian akan dikeruk 300 hektar, berapa juta ton pasir disedot? Alam akan cari keseimbangan, butuh pasir lain, dan ada kemungkinan abrasi,” paparnya. Menurutnya ini terjadi di Banten dan Makassar pasca proyek reklamasi.
Ironisnya, kata Gendo, sangat sulit mengakses dokumen rencana proyek yang bisa berdampak dengan orang banyak. Ia mencontohkan perjuangan Walhi Bali mengajukan gugatan ajudikasi sengketa informasi ke PT Pelindo cabang Benoa. Komisi Informasi Provinsi Bali mengabulkan sebagian besar dokumen yang diminta, Pelindo harus menyerahkan karena termasuk informasi publik.
baca juga : Ini Alasan Kenapa Pelindo Wajib Buka Dokumen Reklamasi Perluasan Pelabuhan Benoa
Parade budaya tolak reklamasi ForBALI ini selalu dimeriahkan atraksi seni dan musisi Bali. Pekan ini ada rombongan kesenian bambu tradisional atau Tektekan dan gamelan mengiringi pentas Barong dari Banjar Tatasan Kaja.
Sementara dari musisi, ada dua grup yakni kelompok rapper Goldvoice dan band grunge rock Navicula. Goldvoice meneriakkan lirik-lirik protes pada pembangunan yang hanya menguntungkan penguasa melalui keterampilan nge-rap. Sementara Navicula, membakar semangat dengan lagu-lagu perjuangan seperti Mafia Hukum.
Walhi Bali beberapa kali berdiskusi dengan kelompok muda dan tua di banjar-banjar seputar Legian, Kuta. Topiknya seputar rencana pengerukan pasir dan mengenal dampaknya. Dari sejumlah siaran pers Walhi Bali, terangkum warga belum banyak tahu soal Ranperda RZWP3K dan rencana pengerukan pasir.
Solidaritas Legian Peduli (Solid) menggelar diskusi pada 12 dan 19 Mei 2019 dengan tema “Masa Depan Pesisir Legian dalam Rencana Zonasi Wilayah Perairan dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K)”.
menarik dibaca : Aktivis Khawatirkan Hilangnya Kawasan Konservasi Pesisir Bali
Permana Yudiarso dari Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BSPL) Denpasar memaparkan sejumlah isu krusial pembahasan Ranperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Bali Tahun 2019-2039. Di antaranya, pertama, belum ada kepastian secara geospasial mengenai batas wilayah perairan masyarakat hukum adat (MHA). Pemprov Bali mengatur MHA melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali No.5/2019. Perda ini merupakan dasar pentingnya melibatkan masyarakat hukum adat dalam proses penyusunan RZWP3K.
Kedua, reklamasi yang belum susuai prosedur sehingga merusak ekosistem perairan. Isu reklamasi untuk pembangunan Pelabuhan Benoa dan perluasan runway/fasilitas bandara sisi Barat. “Harus dipahami bahwa perluasan fasilitas publik tersebut merupakan salah satu kebutuhan pengembangan agar dapat menampung pergerakan orang dan barang yang masuk dan keluar,” ingatnya. Perluasan Pelabuhan Benoa dengan teknik reklamasi telah ditetapkan oleh Menteri Perhubungan RI sementara pelaksanaan reklamasi perluasan Bandara Ngurah Rai telah ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
Dalam proses reklamasi yang sudah dilakukan di Bandara Ngurah Rai, pencegahan dampak kegiatan yang berisiko merusak lingkungan wajib mendapatkan penanganan dan menjadi syarat dalam perizinan yang ada. Perluasan pelabuhan Benoa menurutnya telah diawasi secara ketat oleh Menteri Perhubungan (pelaksanaan reklamasi pelabuhan) dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (pengawas lingkungan hidup). Terutama proses pengurugan yang berpotensi mencemari perairan sekitar dan berdampak terhadap aktivitas pariwisata di sekitarnya.
Salah satu isu yang menguat di perluasan bandara adalah Menteri Kelautan dan Perikanan tidak memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada Zona Lindung (L3) yang berada di sisi Barat lokasi reklamasi. Zona L3 merupakan kawasan lindung yang diatur dalam Perpres 51 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kaawasan Strategis Nasional Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan (Sarbagita). Pengawasan dimulai dari pada tahap pengambilan sumber material dan pelaksanaan reklamasi.
perlu dibaca : Inilah Isu Krusial dalam Perdebatan Ranperda Zonasi Pesisir Bali
Penambangan pasir laut pada Dokumen Antara RZWP3K Provinsi Bali menjadi salah satu sorotan publik. Terdapat rencana alokasi ruang untuk penambangan pasir laut di Kabupaten Badung. Secara teknis, Anggota Pokja RZWP3K Provinsi Bali yaitu Dinas Tenaga Kerja dan ESDM mengusulkan adanya alokasi ruang di perairan untuk penambangan pasir laut. Alokasi ruang pengambilan pasir laut dicadangkan untuk mengisi kebutuhan program perlindungan garis pantai/abrasi di Bali, terutama pada wilayah pantai sebagai lokasi tujuan wisata yang abrasi.
Pencegahan dampak penambangan pasir laut diatur secara dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.33/2002 tentang zonasi wilayah pesisir dan laut untuk kegiatan pengusahaan pasir laut. Dalam Dokumen Antara RZWP3K, rencana alokasi ruang penambangan pasir laut berjarak ≥ 2,1 mil laut dan pada kedalaman ≥ 20-40 meter, seluas 938 Hektar. Namun dalam dokumen ini tidak disebutkan peruntukan tambang pasir laut ini untuk kegiatan apa dan pada waktu kapan. “Hal ini harus diperjelas dalam dokumen Rancangan Peraturan Daerah sehingga tidak menimbulkan pertanyaan banyak pihak,” catat Permana Yudiarso.