- Banyak persoalan yang dipikul petani Indonesia. Mulai dari konflik agraria, perubahan iklim, pasar global, minimnya akses tekonologi dan ilmu pengetahuan, turut menjaga kekayaan flora dan fauna, serta berperan mengatasi kebakaran hutan dan lahan.
- Berbagai beban, persoalan, atau tanggung jawab tersebut dapat dipikul atau diatasi jika para petani hidup sejahtera. Mencapai kesejahteraan harus ada kepastian kepemilikan lahan, jaminan pasar, dan akses teknologi dan informasi.
- Negara harus hadir sebagai pelayan bukan tuan. Sebagai satu entitas bukan multi-sektoral, sebagai penyedia barang dan jasa publik [public goods & services] bukan broker dan pengalih tanggung jawab, sebagai penegak keadilan bukan pencipta kesenjangan.
- Menyelamatkan petani harus dimulai dari negara menyelamatkan pangan nasional. Pangan selamat, petani merdeka.
Menjadi petani di Indonesia saat ini, sangatlah berat. Banyak hal yang harus dihadapi, mulai berbagai konflik agraria terkait kepemilikan atau pengelolaan lahan, ketergantungan pada pupuk kimia, perubahan iklim, minimnya akses teknologi dan ilmu pengetahuan, pasar yang tak pasti, turut menjaga pelestarian flora dan fauna, hingga bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan dan lahan. Baik mencegah maupun mengatasinya.
Konflik agraria merupakan persoalan yang terus dialami petani meskipun Indonesia sudah bebas dari penjajah. Berdasarkan data Konsorsium Pembaharuan Agraria [KPA], selama pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla [2014-2019], tercatat 1.769 kasus agraria yang menewakan 41 orang, 51 tertembak, 546 dianiaya, serta sekitar 940 petani dan aktivis dikriminalisasi.
Baca: Perlu Konsensus Nasional dalam Penyelesaian Konflik Agraria
Petani juga tak mampu menghadapi pasar global, seperti yang dialami mereka yang memproduksi getah karet. Saat ini harga getah karet masih berkisar Rp5-8 ribu per kilogram di tangan petani. Perubahan iklim juga menyebabkan petani gagal panen atau produksi akibat banjir dan kekeringan, serta suhu yang ekstrim.
“Kini ketika banyak terjadi kebakaran hutan dan lahan, mereka pula yang harus bertanggung jawab, meskipun yang melakukan pembakaran belum tentu mereka. Ini sangat tidak adil. Mereka ingin jadi petani, bukan sebagai anggota tim pemadam kebakaran hutan dan lahan, yang tidak digaji negara. Kondisi ini mungkin tak lebih baik dirasakan para petani Indonesia di masa penjajahan Belanda, Inggris dan Jepang. Petani kita memang belum merdeka,” kata Muhammad Hairul Sobri, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Sumatera Selatan, Sabtu [17/8/2019].
Baca juga: Menjadikan Sumsel Lumbung Pangan, Haruskah Banyak Sawah di Rawa Gambut?
Luas pertanian atau lahan yang digarap petani di Indonesia sekitar 7-8 juta hektare. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik [BPS] 2018, masyarakat Indonesia yang bekerja di sektor pertanian tercatat 35,7 juta atau 28,79 persen dari 124,01 juta penduduk Indonesia yang bekerja.
Sementara luas konsesi hutan tanaman industri [HTI] sekitar 11 juta hektar yang dikelola 451 perusahaan dan perkebunan kelapa sawit kisaran10-13 juta hektar yang dikuasai puluhan konglomerat. “Perbandingan angka ini menunjukan bagaimana posisi petani di Indonesia. Peran mereka memberi makan bangsa Indonesia, bukan memenuhi kebutuhan sekunder bangsa lain,” katanya.
“Kuncinya, petani harus sejahtera. Jika sejahtera, lingkungan akan terjaga. Untuk mencapainya, harus ada kepastian status lahan yang dikelola atau terhindar konflik. Kemudian jaminan pasar, bantuan teknologi dan penguatan pengetahuan. Jika ini dirasakan petani, hutan bersama kekayaan flora dan faunanya, pasti terjaga. Apalagi hanya mencegah kebakaran hutan dan lahan,” kata Hairul.
Dr. Edwin Martin, peneliti dari Litbang Palembang mengatakan, petani masih berkutat dan terbelenggu dengan beragam risiko ketidakpastian. Petani Indonesia hidupnya belum merdeka.
“Negara harus hadir sebagai pelayan bukan tuan, sebagai satu entitas bukan multisektoral. Sebagai penyedia barang dan jasa publik [public goods & services] bukan broker dan pengalih tanggung jawab. Sebagai penegak keadilan bukan pencipta kesenjangan,” lanjutnya, Minggu [18/8/2019].
Selamatkan pangan, petani merdeka
Institut Agroekologi Indonesia [INAgri], LSM yang fokus persoalan petani dan pangan, mengatakan guna mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi petani Indonesia, harus ada kebijakan atau langkah terkait pangan.
Ahmad Ya’kub, anggota Dewan Pembina Institut Agroekologi Indonesia [INAgri], Minggu [18/8/2019] mengatakan, negara harus menyadari peran strategis pangan dalam memenuhi salah satu hak azasi manusia. Juga, membangun kualitas sumber daya manusia, membangun pilar ketahanan nasional, dan kesejahteraan bagi petani kecil dan konsumen miskin di desa maupun perkotaan.
“Kesadaran saja tidak cukup. Mesti diiringi willing to act. Kesadaran ini mesti melahirkan tindakan terencana. Langkah-langkah strategis dalam bentuk kebijakan dan program untuk mewujudkan ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan [K3P],” terangnya.
Tidak satu pun negara di dunia ini dapat membangun perekonomian secara baik tanpa terlebih dahulu menyelesaikan persoalan pangan di negaranya. Apalagi Indonesia. Di Indonesia pangan adalah sektor penentu tingkat kesejahteraan sebagian besar penduduk yang bekerja di sektor agraris.
Petani di Indonesia, terutama petani kecil, perlu dimerdekakan dari banyak jeratan, ketergantungan, ketakutan, keterputusan informasi, ketiadaan aset dan akses, dan lain-lain yang hingga saat ini masih membelenggu.
Guna menyelesaikan persoalan petani dan pangan, kata Syamsul Asinar Radjam, juga anggota Dewan Pembina Institut Agroekologi Indonesia [INAgri], ada beberapa tahapan yang dilakukan.
Pertama, meningkatkan ketersediaan pangan. Upayanya menata pertanahan dan tata ruang wilayah [reforma agrarian], antisipasi perubahan iklim; adaptasi dan mitigasi, meningkatkan produksi domestik; proteksi dan promosi, serta membangun dan memperkuat model pertanian ekologis [agroekologis].
Kedua, mengembangkan sistem distribusi pangan. Upayanya memperlancar sistem distribusi pangan, mengembangkan cadangan pangan pemerintah daerah dan masyarakat, menjaga keterjangkauan dan stabilitas harga pangan, meningkatkan aksesibilitas atas pangan, serta menangani kerawanan pangan kronis dan transien.
Ketiga, meningkatkan kualitas konsumsi pangan, melalui upaya mempercepat penganekaragaman konsumsi pangan, mendorong perilaku konsumsi pangan, meningkatkan pembinaan dan pengawasan keamanan pangan, juga memfasilitasi pengembangan industri pangan UKM.
Keempat, membangun sistem pendukung kedaulatan pangan kondusif, melalui upaya meningkatkan peran serta masyarakat tani kecil dan UKM dalam pembangunan kedaulatan pangan. Lalu, mendorong kebijakan makro dan perdagangan kondusif, menguatkan kelembagaan kedaulatan pangan dan koordinasi antardaerah, meningkatkan peran kelembagaan petani, pimpinan formal dan nonformal dalam pembangunan kedaulatan pangan, memfasilitasi penelitian dan pengembangan petani kecil, serta melaksanakan kerja sama internasional.
“Intinya selamatkan pangan, maka petani merdeka,” tandas Syamsul.