- Pejabat pemerintah di Papua mengungkapkan dugaan pemalsuan izin-izin proyek perkebunan sawit ratusan ribu hektar di Papua. Kawasan diduga berizin palsu ini dibuka para investor yang tersembunyi di balik tirai perusahaan anonim yang akan membangun perkebunan sawit dengan cakupan area lebih dari empat kali luas daratan Jakarta.
- Proyek perkebunan sawit berskala raksasa itu kini dikenal dengan nama, proyek Tanah Merah. Hutan itu bukanlah kawasan tak bertuan karena wilayah adat Masyarakat Adat Auyu.
- Dalam sebuah analisis para investor terhadap proyek itu menunjukkan, mereka dapat memperoleh untung hampir US$6 miliar hanya dari memanen kayu dari pembersihan hutan. Tentu saja, nilai sangat besar, bahkan sebelum benih-benih sawit ditanam.
- Alih-alih menindaklanjuti dugaan pemalsuan dokumen itu kepada penegak hukum, sejumlah pejabat malah membuat persetujuan yang justru membuka pintu bagi perusahaan untuk terus beroperasi asalkan mereka mengajukan izin-izin yang sama kembali.
Pejabat pemerintah daerah mengungkapkan dugaan pemalsuan izin-izin yang melandasi proyek perkebunan sawit bernilai miliaran dolar di Papua. Tindakan ini mengindikasikan sebagai bentuk pidana yang merusak hutan dalam skala raksasa.
Kawasan diduga berizin palsu ini dibuka para investor yang tersembunyi di balik tirai perusahaan anonim yang akan membangun perkebunan sawit dengan cakupan area lebih dari empat kali luas daratan Jakarta.
Pejabat dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Papua–kini Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Papua–, mengatakan, izin-izin yang hanya dapat dikeluarkan kantor mereka, dipalsukan pada masa proses perizinan. Salinan izin-izin itu menunjukkan, ada pengesahan dari mantan Kepala BKPM Papua dan sang kepala badan pun melaporkan tertulis bahwa tanda tangannya dipalsukan.
Baca juga: Kesepakatan Rahasia Hancurkan Hutan Papua, Berikut Foto dan Videonya
Seluas 8.300 hektar hutan sudah terbabat atas dasar izin-izin itu. Dalam surat menyurat internal pemerintah, deforestasi digambarkan sebagai potensi tindak pidana.
Mengacu hasil investigasi The Gecko Project dan Mongabay, tuduhan itu telah diajukan setidaknya tiga kali dan beberapa kementerian dan lembaga terkait sudah mengetahuinya.
Alih-alih menindaklanjuti dugaan pemalsuan dokumen itu kepada penegak hukum, sejumlah pejabat malah membuat persetujuan yang justru membuka pintu bagi perusahaan untuk terus beroperasi asalkan mereka mengajukan izin-izin yang sama kembali.
Ketika mendapat informasi soal kasus ini, Laode Muhammad Syarif, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019, mengatakan, hal ini mungkin perlu diselidiki.
“Apalagi, misal, ada kecurigaan, tanda tangan dari Kepala BKPM sebelumnya itu dipalsukan. Itu kan perbuatan pidana,” katanya, pada sebuah wawancara dengan kami.
Dugaan lain, Djukmarian, Kepala DPMPTSP Boven Digoel, Papua mengutarakan, izin pembangunan pabrik kayu (sawmill) terkait proyek perkebunan itu, juga dipalsukan. Keterangan mengenai dugaan pemalsuan izin sawmill itu pun telah dipublikasikan November lalu oleh Yayasan Pusaka, organisasi masyarakat sipil yang bekerja untuk advokasi hak-hak masyarakat adat.
Kasus ini sebetulnya membuka mata soal pergulatan yang harus dihadapi era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini. Benturan ini berhadapan dengan berbagai konsekuensi rumit dari rezim sebelumnya di mana ekspansi perkebunan sudah sedemikian karut-marut selama dua dekade.
Indonesia adalah produsen sawit nomor satu dunia. Produk turunan minyak sawit untuk berbagai keperluan, mulai kosmetik hingga biodiesel. Hasil audit pemerintah baru-baru ini menunjukkan, perizinan sektor perkebunan sawit terbelenggu banyak persoalan dan membuat Indonesia banyak tumpang tindih sampai masalah perkebunan ilegal.
Ekspansi industri perkebunan sawit yang tak terkendali juga mendorong pembabatan berskala besar terhadap kawasan hutan dan gambut yang kaya karbon. Kondisi ini menyudutkan posisi Indonesia dalam jajaran negara-negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia serta memicu peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) maupun bencana asap berulang tahunan.
Setelah karhutla dan bencana asap begitu hebat pada 2015, Jokowi mengeluarkan Inpres No. 8 Tahun 2018. Melalui moratorium perizinan sawit itu, presiden juga menginstruksikan kabinetnya untuk peninjauan terhadap seluruh konsesi sawit dan menertibkan urusan yang terlanjur jadi benang kusut.
Baca juga: Ketika Hutan di Papua Terjerat Kongkalikong Korporasi
Kala peninjauan izin itu tengah berlangsung, sejumlah pejabat justru diam-diam mengubur klaim pemalsuan ini. Padahal, di Papua-lah yang masih memiliki sisa hutan terbesar di Asia.
“Ini potensi pelanggaran pidana,” kata Franky Samperante, pendiri dan Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka. “Jadi tidak bisa kita bilang (sebagai) keterlanjuran. Itu harus diselesaikan dulu masalah hukumnya. Itu bisa jadi prioritas evaluasi perizinan dan membatalkan izin-izin yang berlaku.”
Misteri perizinan
Selama lebih dari satu dekade, Pemerintah Indonesia mempunyai visi untuk mengubah wajah di bagian selatan Papua.
Mereka hendak mentransformasi kawasan hutan yang begitu luas dan dihuni masyarakat adat itu jadi hamparan lahan-lahan industri pertanian yang akan memberikan kontribusi bagi Indonesia terhadap pasokan bahan makanan, biodiesel, dan devisa negara. Di mana industri sawit merupakan salah satu pemasukan terbesar.
Visi itu pun tidak begitu berhasil, sebagian besar hutan di Papua masih bertahan. Bertahun-tahun kemudian, para tukang catut kelas kakap tak diam, mereka sembunyi-sembunyi menimbun ‘emas’ berupa izin-izin perkebunan dari para politisi di daerah yang beranggapan perubahan kondisi ekonomi akan memicu pengembangan pembangunan.
Baca juga: Ketika Hidup Pemilik Ulayat di Papua Makin Sulit
Tahun 2009, seorang investor berdarah Minang, tiba di Papua, dengan ambisi menghadirkan perkebunan sawit terbesar di dunia. Lelaki itu bernama, Chairul Anhar.
Pria berusia 43 tahun itu bersama perusahaannya, Menara Group, yang belum memiliki rekam jejak jelas dalam mengelola perkebunan. Meskipun begitu, dia meyakinkan Yusak Yaluwo, seorang bupati yang kala itu menjabat di Kabupaten Boven Digoel, untuk menerbitkan serangkaian izin kepada tujuh perusahaan cangkang (shell company), yang berada dalam kendali Menara Group.
Aksi itu merupakan langkah pertama untuk meratakan hutan 280.000 hektar di sekitar wilayah yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini. Hutan itu bukanlah kawasan tak bertuan karena wilayah adat Masyarakat Adat Auyu. Proyek perkebunan sawit berskala raksasa itu kini dikenal dengan nama, proyek Tanah Merah.
Dalam sebuah analisis para investor terhadap proyek itu menunjukkan, mereka dapat memperoleh untung hampir US$6 miliar hanya dari memanen kayu dari pembersihan hutan. Tentu saja, nilai sangat besar, bahkan sebelum benih-benih sawit ditanam.
Izin-izin dari Yusak pun hanya satu upaya awal menggenapi serangkaian tahapan perizinan berlapis yang diperlukan perusahaan sebelum mulai beroperasi. Izin usaha perkebunan (IUP) merupakan salah satu dokumen penting dalam proses perizinan dan diterbitkan Pemerintah Papua.
Mengacu pada salinan dokumenang kami lihat, berbagai IUP ini diterbitkan pada Januari dan Februari 2011.
Menara Group tak mengembangkan lahan itu sendiri, justru menjual saham mayoritas, kecuali satu perusahaan. Pada akhir 2012, dua perusahaan jatuh kepada konglomerat kayu dan properti Malaysia bernama Tadmax Resources dengan nilai mencapai US$80 juta dan empat perusahaan dijual kepada perusahaan anonim terdaftar di Uni Emirat Arab (UEA).
Pengumuman bursa saham yang dibuat oleh Tadmax menunjukkan bahwa penerbitan IUP adalah dasar bagi keputusan untuk melakukan investasi sebesar US$80 juta.
Izin-izin ini juga untuk mengamankan berbagai keputusan Menteri Kehutanan kala itu, Zulkifli Hasan (kini jadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), untuk mengubah kebijakan zonasi kawasan buat pengembangan perkebunan.
Sepaket IUP itulah yang dipercaya DPMPTSP Papua, telah dipalsukan. Izin-izin itu sekaligus jadi landasan dari kesepakatan bernilai jutaan dolar dan tujuh Keputusan Menteri Kehutanan.
Berbagai kondisi maupun temuan yang menyatakan dugaan pemalsuan dokumen perizinan dan kesepakatan itu, telah kami telusuri dan kumpulkan melalui serangkaian wawancara dengan berbagai pejabat di Papua dan Jakarta.
Jamal Tawurutubun, Kepala Bidang Perizinan Terpadu DPMPTSP Papua, mengemukakan, soal dugaan pemalsuan izin ini di hadapan para petinggi yang mewakili sejumlah kementerian/lembaga, termasuk Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) KLHK, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada rapat di Jakarta Mei 2019.
Pertemuan ini juga dihadiri para eksekutif yang mewakili empat dari ketujuh perusahaan yang sebagian besar dimiliki investor-investor anonim.
Menurut Jamal, dugaan pemalsuan itu terendus kali pertama sekitar 2013. Kala itu, kantornya sudah tahu soal proyek itu dari mulut ke mulut. Jamal punya tanggung jawab soal permohonan keluar masuk izin. Dia sendiri kaget karena tak ada catatan tentang proyek Tanah Merah pada database kantornya. Ketika salinan izin-izin mulai beredar di kalangan Pemerintah Papua, tanda tangan Purnama sebagai Kepala BKPM Papua waktu ituda di sana. Purnama tidak merespon permohonan kami untuk mengomentari hal ini.
Purnama sendiri mulai menyeriusi gelagat yang mencurigakan itu pada Februari 2013. Dia mengirimkan surat kepada Gubernur Papua dan Kementerian Pertanian, dengan menyatakan, tanda tangannya telah dipalsukan. Sayangnya, tak ada bukti yang menunjukkan ada tindak lanjut terkait laporan ini. Hanya dalam hitungan bulan, satu dari ketujuh perusahaan pemegang konsesi, yaitu, PT Megakarya Jaya Raya (MJR), mulai membuka hutan-hutan di Boven Digoel.
Setelah beberapa tahun, MJR, satu-satunya perusahaan yang mulai beroperasi. Pada wawancara tahun lalu, Chairul Anhar, mengaku kalau proyek itu telah terhalang karena rekanan investor perlu menuntaskan pendirian sawmill. Tanpa itu, gelondongan-gelondongan kayu bisa saja membusuk kala pengembang membuka hutan.
Kemudian, pada 2017 dan 2018, izin-izin untuk empat perusahaan perkebunan ini dicabut DPMPTSP Papua. Korespondensi internal pemerintah menunjukkan, keputusan itu didorong rasa frustasi terhadap perusahaan yang belum mulai beroperasi dan pemerintah setempat hendak memindahtangankan lahan-lahan itu kepada investor baru yang menginginkan.
Chairul dan rekan bisnisnya pun berusaha mempertahankan konsesi-konsesi itu. Pada awal 2019, mereka mengadu kepada Kementerian Hukum dan HAM untuk mempertanyakan legalitas keputusan itu.
Soal masalah inipun dibahas dalam pertemuan Mei di Jakarta. Di sana, Jamal mengutarakan ada dugaan pemalsuan dokumen perizinan.
Dalam pertemuan itu, para perwakilan kementerian dan lembaga setuju, enam dari tujuh perusahaan, tak boleh beroperasi. Meskipun begitu, mereka masih ragu untuk membatalkan izin MJR karena investasi sudah keluar buat penebangan dan penanaman sawit.
Pada akhir rapat, mereka kemudian meminta Jamal menyiapkan bukti-bukti pendukung guna menguatkan dugaan pemalsuan dokumen. Sementara keputusan tindak lanjut MJR, berada di tangan Pemerintah Boven Digoel dan Pemerintah Papua.
Tiga bulan kemudian, Jamal bersama Jhoni Way, Kepala DPMPTSP Papua, pengganti Purnama, dalam wawancara kepada kami mengatakan, Pemerintah Papua dan Pemerintah Boven Digoel, sudah ada kesepakatan dengan MJR dan perusahaan kedua PT Kartika Cipta Pratama (KCP), yang teryata juga mulai beroperasi.
Kala itu, KCP mulai membuka lahan. Jamal dan Jhoni bilang, kedua perusahaan dapat tetap beroperasi asalkan mengulang seluruh proses perizinan dari awal mulai dari kabupaten.
Jamal mengatakan kepada kami, dalam pertemuan Jakarta diambil keputusan itu sebagai bagian proses mencari solusi. “Sidang (pertemuan) saat itu, adalah mencari solusi. Solusi terbaik untuk bagaimana investasi sudah jalan karena mereka ini sudah terlanjur mengeluarkan biaya,” kata Jamal.
“Itu investasi supaya di Papua, jangan sampai nanti terjadi lagi (yang) namanya isu-isu bahwa Papua tidak kondusif terhadap investasi.”
Jhoni menduga pemalsuan dokumen itu mungkin oleh “orang dalam” di kantor itu. Namun, dia berkeyakinan masalah ini bisa selesai melalui kesepakatan dengan perusahaan. “Yang penting mereka itu sekarang memperbaiki izinnya,” katanya.
Menanggapi temuan kami, MJR dan KCP menyatakan, IUP mereka “asli dan tidak dipalsukan.” Dalam respon tertulis, mereka juga mengatakan, “tidak pernah diinformasikan” mengenai ada dugaan pemalsuan dan aktivitas pembukaan hutan mereka berdasarkan izin sah.
“Secara reguler kami memberikan laporan perkembangan kepada BKPM dan instansi terkait sebagaimana sesuai dengan persyaratan dan tidak pernah menerima apapun terkait dengan permasalahan tersebut,” tulis mereka.
Kementerian maupun lembaga yang mengetahui persoalan itu, seakan tak berniat menindaklanjuti dugaan pemalsuan ni.
Suratmin, pejabat Kementerian ATR dalam pertemuan Mei lalu mengatakan, mereka tak memiliki peran atau tanggung jawab soal hal itu.
Widodo Ekatjahjana, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenhukham, menolak berkomentar walau akhirnya menyatakan, semua dugaan terkait pelanggaran hukum seharusnya dilaporkan ke penegak hukum.
Agus Ahmad Kurniawan, pengacara KLHK yang memberikan nasihat terkait perizinan dan turut hadir pada pertemuan, berpendapat, tak ada yang dapat dilakukan, selain DPMPTSP Papua menunjukkan bukti-bukti lain yang mendukung dugaan pemalsuan.
“Yang bisa buktikan palsu atau tidak, mungkin di daerah. Nah, sementara di daerahnya belum ada tindak lanjut, kok.”
Djukmarian, Kepala DPMPTSP Boven Digoel, mengatakan, puas dengan proyek yang akan lanjut dengan alasan sejalan dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten dan didukung masyarakat setempat.
“Yang bilang palsu juga dari provinsi,” katanya kepada kami melalui pesan teks. “Hanya, kenapa provinsi tidak bawa ke ranah hukum?”
Jamal dan Jhoni pun berpandangan, kesepakatan dengan perusahaan, berarti telah menyelesaikan masalah. “Sudah selesai,” kata Jamal.
Proyek kontroversial
Temuan dugaan pemalsuan IUP, bukanlah satu-satunya yang mencurigakan dari proyek Tanah Merah.
Hasil investigasi lintas negara pada November 2018 oleh The Gecko Project dan Mongabay bersama Malaysiakini dan Tempo, mengungkapkan, sejumlah masalah terkait proses perolehan dan jual-beli izin.
Salah satu di antara berbagai persoalan itu, adalah pemberian izin oleh mantan bupati di Papua, Yusak Yaluwo. Dia telah memberikan izin konsesi perkebunan kepada Menara Group dengan cakupan lahan lebih banyak dari yang bisa dikelola oleh satu perusahaan di Papua,— melampaui aturan hukum—yaitu seluas 200.000 hektar.
Pada April 2010, tak lama setelah Menara memulai proses perizinan, Yusak ditangkap atas tuduhan tindak pidana korupsi anggaran daerah. Mengacu pada penyelidikan kami, dia ternyata tetap memproses perizinan dengan menandatangani sejumlah dokumen terkait proyek Tanah Merah selama mendekam di balik jeruji.
Menara Group menggunakan sejumlah nama pemegang saham yang tercatat pada dokumen-dokumen perusahaan, antara lain supir Chairul, supir istrinya, dan seorang penagih utang.
Kemudian, dua dari ketujuh perusahaan dijual kepada Tadmax, melalui perusahaan cangkang berbasis di Singapura dan memiliki nama-nama pemegang sahamnya sendiri. Dengan begitu makin mengaburkan siapa saja orang-orang yang menerima aliran dana sebesar US$80 juta terkait pemindahtanganan konsesi-konsesi di Boven Digoel yang terjalin hingga keluar negeri.
Masyarakat Adat Ayu mengeluhkan informasi dasar mengenai proyek Tanah Merah tertutup, termasuk batasan wilayah dan skala. Selama interaksi dengan masyarakat, Menara Group pun didampingi polisi dan tentara. Pada suatu pertemuan dengan warga untuk membahas mengenai proyek itu, seorang lelaki Auyu dilaporkan dipukuli polisi.
Berbagai organisasi, antara lain World Wildlife Fund (WWF), Greenpeace dan Yayasan Pusaka, mencoba menelusuri untuk memperoleh salinan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) proyek itu. Upaya mereka tak membuahkan hasil.
“Itu kayak ada mafia yang sembunyikan (dokumen itu),” kata Ronny Tethool, staf dari WWF di Papua kepada kami pada 2017.
Jamal mengutip sejumlah temuan itu ketika merinci dengan detil dugaan pemalsuan itu dalam pertemuan di Jakarta Mei lalu.
Ketika Menara Group dan rekanan mencoba memulai proses perizinan kembali, tuduhan lain justru bermunculan.
Setelah masuk dalam proyek Tanah Merah, salah satu perusahaan anonim berbasis di UEA, segera berinisiatif membentuk usaha patungan dengan sebuah perusahaan raksasa asal Negeri Jiran yang bergerak di urusan penebangan kayu dan perkebunan bernama, Shin Yang.
Mereka membangun sawmill besar untuk memproses kayu-kayu hasil pembabatan hutan. Landasan kunci persetujuan pendirian pabrik kayu itu salah satu mengacu pada izin lingkungan yang keluar 2014. Dokumen itu seharusnya ditandatangani Wempy W. Hutubessy, kala itu Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Boven Digoel.
Pada Maret tahun ini, ketika konstruksi pembangunan sawmill hampir rampung, Wempy malah melaporkan dengan mengatakan, dokumen izin lingkungan juga dipalsukan.
Tuduhan itu mendorong Djukmarian, Kepala DPMPTSP Boven Digoel, berkirim surat kepada perusahaan yang membangun sawmill itu pada 5 November. Perintahnya jelas, agar membekukan operasi pabrik pengolahan kayu di lapangan. Surat Djukmarian dipublikasikan Yayasan Pusakaada 20 November.
Tak ada bukti siapa sesungguhnya yang memalsukan dokumen-dokumen perizinan, baik untuk proyek perkebunan maupun pembangunan sawmill. Menara Group, Tadmax, dan Shin Yang, telah berinvestasi di berbagai level untuk proyek Tanah Merah, tak merespon pertanyaan atau berkomentar terkait persoalan dalam artikel ini.
Meski terdapat begitu banyak karut-marut perkara yang mengitari proyek Tanah Merah, para pejabat di kabupaten dan provinsi justru membiarkan perusahaan-perusahaan perkebunan itu terus beroperasi. Menurut mereka tindakan itu demi Suku Auyu.
Djukmarian, Jamal, dan Jhoni Way mengutip, demi kepentingaan Suku Auyu merupakan alasan utama memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan itu mengulangi proses perizinan walau terdapat dugaan pemalsuan dokumen.
“Masyarakat juga sudah menyetujui beroperasinya perusahaan itu,” klaim Jamal. “Hingga, pergerakannya, ya, kita mengedepankan kepentingan pemerintah dan masyarakat banyak.”
Franky Samperante berpandangan beda. Dia pernah mengunjungi salah satu desa yang terdampak proyek perkebunan itu pada September lalu. Dia menemukan, masyarakat telah terpecah belah. Mereka yang menentang kehadiran proyek, menandai lahan mereka dengan memberi plang kayu di area-area perbatasan konsesi.
Franky bekerja cukup lama dengan Masyarakat Adat Auyu melalui Yayasan Pusaka. Dia mengatakan, mereka tak mendapatkan hak informasi dan mengambil keputusan terkait proyek Tanah Merah. Dia beranggapan, negara justru gagal memenuhi kewajiban melindungi rakyatnya. Menurut dia, sangat penting menyelidiki asal muasal bagaimana proyek Tanah Merah, muncul, ketimbang memberikan keleluasaan bagi perusahaan-perusahaan kembali mengulang proses perizinan.
“Itu harus diselesaikan dulu masalah hukumnya,” kata Angky, sapaan akrabnya. “Kalau seperti ini terus terjadi, kan bahaya buat negara.”
Presiden Jokowi dan Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sudah memberikan sinyal, mereka hendak mengurangi angka deforestasi dan menertibkan sengkarut sektor perkebunan.
Taruhan terhadap perkara ini tentu tidak main-main baik itu Papua maupun Papua Barat, sama-sama memiliki sekitar lebih dari sepertiga total luasan wilayah hutan di Indonesia. Tahun lalu, gubernur dari kedua provinsi berjanji melindungi 70% lahan di bawah kewenangan mereka. Janji itu seharusnya diikuti penegakan hukum pada sektor sumber daya alam.
Menurut World Resources Institute, sebuah lembaga penelitian independen, sukses atau tidaknya komitmen yang terlanjur terucap itu merupakan pula faktor penentu terhadap target Indonesia terkait laju emisi gas rumah kaca dalam menjaga ambang batas suhu bumi berdasarkan Kesepakatan Iklim Paris (Paris Agreement on Climate Change).
Arie Rompas, Kepala Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, telah memantau izin-izin yang berlangsung era kepemimpinan Presiden Jokowi. Penyelidikan yang menyeluruh terhadap proyek Tanah Merah, katanya, akan menunjukkan sejauh mana komitmen pemerintah dalam membendung laju deforestasi dan persoalan korupsi.
“Papua, adalah benteng terakhir penyelamatan hutan di Indonesia,” kata Arie, seraya bilang, seluruh izin konsesi harus dievaluasi dan dicabut serta pihak-pihak yang terlibat harus dibawa ke pengadilan.
Artikel ini kolaborasi dan terbit bersama antara The Gecko Project dan Mongabay
Keterangan foto utama: Pembangunan awal di area proyek Tanah Merah, dekat Sungai Digul. Foto: Nanang Sujana untuk The Gecko Project and Mongabay.