- Enam peladang di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Sintang, pada 9 Maret 2020. Mereka dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembakaran lahan.
- Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum menuntut 6 bulan penjara ditambah hukuman percobaan satu tahun untuk mereka.
- Ketua Persatuan Peladang Tradisional Kalimantan Barat, Yohanes Mijar Usman, mengatakan hakim memutuskan dengan hati nurani dan menghormati kearifan lokal masyarakat adat.
- Antropolog dari Institut Dayakologi, R Giring, menjelaskan, berladang dengan sistem gilir balik, seperti di tanah Kalimantan, harus dipahami dalam konteks agroekosistem perladangan itu sendiri. Peladang menempuh tahapan pengerjaan teratur dan tersistem, mulai dari mempersiapkan dan memilih lokasi, menebas, menebang, membakar, menugal, merumput, serta panen hingga pesta padi yang tiap tahapnya disertai ritual adat.
Tanggal 9 Maret 2020, Bumi Senentang, julukan Kabupaten Sintang di Kalimantan Barat, dipenuhi orang berikat kepala merah. Riuh rendah suara mereka, saat menghadiri persidangan putusan kasus pembakaran lahan di Pengadilan Negeri Sintang.
Massa berasal dari Dewan Adat Dayak serta Aliansi Solidaritas Anak Peladang [ASAP]. Aksi solidaritas itu mendapat pengamanan cukup ketat. Personil TNI/Polri yang terlibat berjumlah 2.793 orang.
Terdakwanya, enam peladang di pedalaman Sintang yang dituding penyebab terjadinya kebakaran. Sejak akhir tahun lalu, sidang digelar.
Hendro Wicaksono, Ketua Majelis Hakim, mengetuk palu. Enam petani tersebut divonis bebas. Mereka dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan pertama, kedua, dan ketiga Jaksa Penuntut Umum.
Enam peladang itu adalah Magan, Agustinus, Antonius Sujito, Dugles, Boanergis, dan Dedi Kurniawan. Aparat penegak hukum menjerat mereka dengan Pasal 108 junto Pasal 69 ayat 1 Huruf h Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 108 jo Pasal 56 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, dan Pasal 187 KUHP.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum menuntut 6 bulan penjara ditambah hukuman percobaan satu tahun. “Tuntutan ini memberatkan. Mereka hanya memenuhi kebutuhan hidup, bukan mencari kaya,” ujar Andel, kuasa hukum terdakwa. “Jika putusan ini salah, akan banyak pemidanaan terhadap peladang, khususnya Suku Dayak.”
Ketua Persatuan Peladang Tradisional Kalimantan Barat, Yohanes Mijar Usman, gembira dengan putusan ini. “Kita merasa senang, hakim memutuskan dengan hati nurani dan menghormati kearifan lokal,” ujarnya.
Hendrikus Adam, aktivis Walhi Kalbar yang mengawal kasus sejak awal menekankan, putusan bebas berdasarkan keterangan dan fakta persidangan. “Kami setuju ini menjadi Hari Kebangkitan Peladang. Putusan bebas dapat menjadi pijakan hukum di Indonesia, agar mengakomodir masyarakat kecil,” tuturnya.
Baca: Dukungan Sosial menjadi Kunci Sukses Kebijakan Konservasi Berbasis Lansekap
Tidak semua bebas
Di Kabupaten Bengkayang, tiga peladang juga mendapatkan vonis bebas. Mereka adalah Tenong asal Malosa, Kecamatan Lumar; Rifan asal Kecamatan Teriak; dan Sudimin asal Kecamatan Bengkayang.
Namun, nasib berbeda terjadi di Kapuas Hulu. Pengadilan Negeri Putussibau menjatuhkan vonis lima bulan penjara terhadap dua peladang dari Kecamatan Embaloh Hulu terkait kebakaran hutan dan lahan.
Hakim menilai, kedua terdakwa terbukti sah dan meyakinkan membakar lahan dengan sengaja. Pengadilan Negeri Putussibau menetapkan hukuman untuk Petrus Ujai dan Sulang pada 17 Februari 2020. Kedua warga perbatasan Indonesia-Malaysia ini ditangkap Polres Kapuas Hulu, pada 12 Agustus 2019 lalu.
Di Kabupaten Sanggau, SM dan TR, mengalami hal serupa. Warga Sungai Tekam, Kecamatan Sekayam ini membakar lahan tak sampai satu hektar yang lokasinya berdekatan perusahaan. Keberadaan warga lebih dulu ada ketimbang berdirinya perusahaan. Saat membakar, keduanya telah meminta izin dan didampingi petugas keamanan perusahaan.
Tidak diduga, api merembet ke lahan perusahaan. Menurut keterangan keduanya, api di lahan mereka sudah padam. Namun, keduanya dilaporkan ke Polisi sebagai penyebab terbakarnya lahan perusahaan.
Sementara, di Mempawah, Polres setempat menetapkan sepuluh petani sebagai tersangka kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi 2019 lalu, dari 12 kasus yang masih proses hukum.
Baca: Bagi Masyarakat Dayak, Berladang Itu Sekaligus Menjaga Keragaman Hayati
Masyarakat jangan dipidana
Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji, telah mengeluarkan peraturan terkait penanganan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Peraturan Gubernur itu, akan dituangkan dalam peraturan daerah, yang secara rinci mengatur penindakan terhadap pelaku pembakaran.
“Bila terjadi kebakaran di areal konsesi perkebunan, biaya penanganan dibebankan ke perusahaan bersangkutan,” katanya baru-baru ini.
Aturan mewajibkan, seluruh perusahaan perkebunan memiliki peralatan dan tenaga pemadaman kebakaran. Sanksinya, hingga pencabutan izin. Midji juga tidak setuju terhadap pemidanaan peladang atau petani kecil. Perusahaan besar, menurutnya, bertanggung jawab pada pekatnya asap pada 2019 lalu.
Selaku kepala daerah, dia telah memberikan teguran kepada 157 perusahaan, terdiri 109 perkebunan dan 48 kehutanan karena terdapat titik api di arealnya. “Juga, sudah disegel 67 perusahaan yang terdiri 47 perkebunan dan 20 kehutanan. Terdapat 14 perusahaan perkebunan yang mendapatkan sanksi maksimal. Mereka tidak boleh menggunakan lahannya selama 5 tahun,” tegasnya.
Baca juga: Izin Lima Perusahaan Diusulkan Dicabut, Gubernur Kalbar: Kebakaran di Konsesi Perusahaan Terbukti
Berladang dan jaminan
Antropolog dari Institut Dayakologi, R Giring, menjelaskan, dua dekade terakhir, secara de facto jumlah peladang berkurang. “Akses masyarakat adat yang menjadi peladang terhadap tanah, hutan, dan lahan dari waktu ke waktu semakin kecil. Ini seiring masifnya ekspansi perusahaan hutan tanaman industri, perkebunan monokultur skala besar, tambang, juga logging,” katanya.
Penyebab lain, terobosan pertanian sistem intensifikasi berupa sawah semakin gencar digerakkan ke pelosok. Pertambahan penduduk, termasuk yang berasal dari transmigran turut menjadikan timpangnya alokasi tanah, hutan, dan lahan di Kalimantan Barat.
“Berladang dengan sistem gilir balik, seperti di tanah Kalimantan, harus dipahami dalam konteks agroekosistem perladangan itu sendiri,” katanya. Peladang menempuh tahap-tahap pengerjaan teratur dan tersistem, mulai dari mempersiapkan dan memilih lokasi, menebas, menebang, membakar, menugal, merumput, serta panen hingga pesta padi yang tiap tahapnya disertai berbagai ritual adat.
Berladang tak hanya memenuhi kebutuhan pangan. Tapi sebagai cara hidup mempertahankan dan melestarikan benih-benih pangan asli. Berladang juga bermakna menghayati dan melaksanakan kehidupan religi, budaya, sosial beserta ekonomi. Dengan berladang, masyarakat merayakan kesadaran diri dan komunitas petani sebagai makhluk Tuhan, bersyukur berupa pesta padi.
Berladang membuktikan, petani hadir/ada di lahan, tanah miliknya. Berladang sesuai kearifan lokal dijamin UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Aturan ini memberikan pengecualian terhadap pembukaan lahan dengan cara dibakar maksimal dua hektar. Tentunya, ditanami varietas lokal dan dikelilingi sekat bakar sebagai pencegah menjalarnya api ke sekitar,” pungkas Giring.