- Petani sawit swadaya di Indonesia masih terlilit berbagai masalah, antara lain, mulai dari sulit mendapat legal lahan, harga jual sawit murah, aturan berbelit, sulit mengurus surat tanda daftar usaha perkebunan untuk budidaya (STDB) dan lain-lain.
- Rukaiyah Rafik, Kepala Sekolah Petani Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi) mengatakan, pemerintah harus serius perhatikan petani swadaya.
- Wahono, Kepala Dinas Pertanian dan Pangan, Kabupaten Kayong Utara mengatakan, banyak ancaman dan konflik muncul terkait ada perkebunan sawit di sana. Mulai dari konflik lahan antar masyarakat dengan perusahaan, infrastruktur jalan rusak, dan penyerapan tenaga kerja belum maksimal.
- Ihsana Yanti, Ketua Serikat Petani Kebun Sawit (SPKS) Labuhanbatu Utara, kala berhadapan dengan pemerintah petani kecil kesulitan, seperti urus STDB dan administrasinya. “Masuk ke dinas itu, petani kesulitan minta ampun, kecuali kalau ada orang dalam, itu cepat sekali keluar STDB.”
Petani sawit swadaya maih banyak alami masalah hingga kondisi mereka jauh dari kata sejahtera. Berbagai masalah itu, antara lain, mulai dari sulit mendapat legal lahan, harga jual sawit murah, aturan berbelit, sulit mengurus surat tanda daftar usaha perkebunan untuk budidaya (STDB) dan lain-lain.
Ihsana Yanti, Ketua Serikat Petani Kebun Sawit (SPKS) Labuhanbatu Utara, menceritakan, persoalan itu seperti, produktivitas sawit rendah, legalitas kebun seperti sertifikat hak milik atau STDB sulit mereka dapatkan.
“Petani sawit jauh dari kata sejahtera apalagi masa pandemi, produksi mengalami penurunan drastis,” katanya dalam diskusi dari yang diadakan Sawit Watch, belum lama ini.
Konflik lahan pun, katanya, terjadi di berbagai daerah, pengetahuan budidaya petani masih minim, kelembagaan tani seperti kelompok tani belum terbentuk dengan kuat sampai biaya operasional tinggi. Biaya angkutan pabrik kebun sawit (PKS) tinggi, dan jalan maupun infrastruktur buruk.
Belum lagi, katanya, tata niaga perdagangan yang panjang membuat petani sawit makin sulit. Ia berdampak pada harga jual tandan buah segar (TBS) petani rendah.
Seharusnya, kata Yanti, kalau rantai penjualan lebih pendek, perusahaan langsung menjemput hasil panen ke petani. “Kenapa tidak pabrik yang mengambil langsung hasil panen, kenapa harus melalui tengkulak dan agen. Inilah yang menyebabkan harga jauh dari rata-rata,” katanya.
Rukaiyah Rafik, Kepala Sekolah Petani Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi) mengatakan, pemerintah harus serius perhatikan petani swadaya.
Hasil penelusuran Fortasbi, petani swadaya tak hanya memproduksi juga sebagai konsumen penting.
“Kami pernah pengecekan ke dapur, bagian besar menggunakan produksi kebun sawit itu, seperti shampo, sabun, minyak dan lain-lain.
Selain itu, kata Rukaiyah, petani swadaya memiliki masalah cukup banyak, seperti cenderung tidak punya organisasi, tak ada dukungan pemerintah dan perusahaan. “Selain itu petani juga berada di jalan berisiko seperti berada di sempadan, lahan rendah, di tepi hutan, gambut,” katanya.
Rukaiyah mendorong petani swadaya mendapatkan RSPO Independent Smallholder Standard (RISS) sesuai standar baru. Antara lain, aturan dalam standar baru petani swadaya tak perlu mempunyai syarat STDB untuk mengajukan sertifikasi.
Dia menekankan, sertifikasi tidak bisa menjadi tujuan utama petani. Tujuan utama petani, katanya, agar mandiri, berdaya saing, kuat dan sejahtera. “Sertifikasi bisa dianalogikan rest area untuk memperbaiki dan memperkuat petani.”
Minta setoran ke petani?
Tiur Rumondang, Direktur RSPO Indonesia menyoroti soal aturan STDB perkebunan sawit. Dia menemukan, di lapangan STDB disalahgunakan oknum untuk meminta setoran kepada petani.
“Kalau kita ingin membantu petani, soal receh seharusnya tidak ada lagi,” katanya.
Menurut Yanti, tidak hanya bermasalah di STDB, petani kecil juga dipersulit untuk mengurus administrasi terkait surat itu. “Masuk ke dinas itu, petani kita kesulitan minta ampun, kecuali kalau ada orang dalam, itu cepat sekali keluar STDB,” katanya.
Wahono, Kepala Dinas Pertanian dan Pangan, Kabupaten Kayong Utara menanggapi permasalahan ini. Dia bilang, di daerahnya STDB tak pernah jadi alat meminta setoran kepada petani.
“Kalau proses kerja kita jelas, berdasarkan surat tugas, STDB kan ke lapangan mengukur seberapa luas lahan, setelah itu dibuat STDB” katanya.
Achmad Surambo dari Sawit Watch mengatakan, seharusnya STDB diatur oleh pemerintah pusat melalui petunjuk teknis. “Di bawah UU Perkebunan, belum ada peraturan pemerintah soal STDB.”
Petani di Kayong Utara
Wahono memaparkan, data perkebunan sawit di Kayong Utara, Kalimantan Barat. Produksi sawit di Kayong Utara sekitar 102.866 ton dengan luas area 46.368 hektar.
Sayangnya, dari lahan itu minim data petani swadaya, masih dominasi tiga perusahaan sawit. “Kebun rakyat masih dalam proses pemetaan.”
Kontribusi perkebunan sawit untuk daerah seperti dari pajak, dan penyerapan tenaga kerja masih jauh dari harapan. Meskipun ada puluhan ribu hektar lahan sawit di sana, katanya, penyerapan tenaga kerja masih terbatas.
Dia mengatakan, banyak ancaman dan konflik muncul terkait ada perkebunan sawit di sana. Mulai dari konflik lahan antar masyarakat dengan perusahaan, infrastruktur jalan rusak, dan penyerapan tenaga kerja belum maksimal.
Wahono bilang, kewajiban penyerahan plasma bagi masyarakat sesuai Permentan 98/2013 juga belum terpenuhi, ada potensi degradasi lingkungan di sekitar perkebunan, alih fungsi perkebunan masyarakat jadi sawit.
Beberapa upaya dilakukan Pemda Kayong Utara, katanya, mulai dari penataan kebun sawit, penguatan kelembagaan kelompok petani sawit, dan lain-lain. “Kita setiap dua kali seminggu rapat membahas penetapan harga sawit.”
Keterangan foto utama: Petani sawit swadaya di Kabupaten Kubu Raya. Perlu keseriuan pemerintah memperhatikan sawit kecil swadaya yang selama ini hadapi berbagai masalah. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia