- Pertambangan emas ilegal di Aceh belum menampakan tanda-tanda berhenti.
- Bila awalnya kegiatan ini dilakukan dengan peralatan cangkul atau linggis kita telah menggunakan alat berat.
- Lokasi penambangan emas ilegal ini tersebar di Kabupaten Pidie, Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Tengah, dan Nagan Raya.
- Para penambang dengan alat berat kini mengeruk sungai dan sekitarnya untuk mendapatkan butiran emas. Kegiatan ini tentu saja merusak lingkungan dan mencemari air karena adanya penggunaan merkuri.
Pertambangan emas ilegal terus tumbuh di Provinsi Aceh yang beroperasi di dalam kawasan hutan.
Di bawah tahun 2010, para penambang emas ilegal menggunakan alat seadanya berupa cangkul, linggis, pahat dan palu. Mereka menggali sumur di sejumlah tempat di hutan yang diperkirakan mengandung batu bercampur emas. Setelah selesai, sumur dibiarkan begitu saja.
Batu yang mengandung emas itu, kemudian diolah dalam gelondong atau amalgamasi, yang dalam prosesnya menggunakan merkuri. Tujuannya, untuk mengikat emas setelah butirannya terpisah dari batu.
Dalam perkembangannya, pada 2010-2015, mesin gelondongan itu menjamur di banyak tempat. Sebagian, diletakkan dekat lokasi penambangan dan sebagian lain berada di permukiman penduduk.
Sementara, limbah air hasil penggilingan itu rata-rata dibuang ke sungai atau ke kolam penampungan, yang akhirnya juga dialirkan ke sungai. Kondisi ini, menyebabkan sejumlah sungai di Aceh tercemar merkuri.
Baca: Kapan Tambang Emas Ilegal di Aceh Barat Ditertibkan?
Namun, setelah pemodal besar masuk di atas tahun 2015, sebagian besar penambang mulai menggunakan cara baru. Mereka tidak lagi menggunakan peralatan seadanya, dan lokasi penambangan emas langsung dilakukan di sungai dan sekitar.
Mereka menggunakan alat berat. Batu dan tanah di sungai dikeruk, kemudian disaring guna mendapatkan butiran emas. Ironisnya, para penambang juga mengeruk tanah di pinggir sungai yang menyebabkan sungai dangkal dan airnya keruh. Penambangan emas ilegal dengan alat berat ini tersebar di Kabupaten Pidie, Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Tengah, dan Nagan Raya.
Baca: Tambang Emas Ilegal di Aceh Belum Berhenti Beroperasi
Masih berlangsung
Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh di Pidie menunjukkan, tambang emas ilegal menggunakan alat berat masih terjadi di hutan lindung yang masuk Kecamatan Geumpang dan Tangse. Di Aceh Barat, berada di Kecamatan Sungai Mas dan Pantai Cermin, sementara di Nagan Raya berlangsung di Kecamatan Beutong. Untuk di Aceh Selatan ada di Kecamatan Manggamat, serta di Aceh Tengah berada di Kecamatan Linge.
Razali, warga Sungai Mas, Kabupaten Aceh Barat mengatakan, sebagian besar masyarakat yang menggantungkan hidup dari pertanian menolak kegiatan itu.
“Perangkat desa tidak setuju, tapi tidak berani melawan karena pemodalnya orang-orang yang banyak uang,” jelasnya awal Februari 2021.
Sejumlah sungai di Kecamatan Sungai Mas yang dulunya jernih, kini keruh sepanjang waktu. “Banyak lubang galian di pinggir sungai dan untuk ke lokasi tidak mudah karena dijaga,” terangnya.
Mastura, perempuan asal Kecamatan Beutong, Kabupaten Nagan Raya, menyatakan maraknya pertambangan emas menyebabkan sungai rusak dan airnya keruh. “Kami terpaksa menggali sumur, padahal sebelumnya menggunakan air sungai.”
Dia mengatakan, pertambangan emas tidak hanya terjadi di sungai, bahkan tanah-tanah yang jaraknya hingga seratus meter dari sungai tidak luput digali, meninggalkan lubang berbahaya. “Kami tidak berani protes, mereka marah kalau diganggu.”
Tahun 2014, Gubernur Aceh Zaini Abdullah, pernah memerintahkan semua kegiatan pertambangan emas ilegal dihentikan. Berikutnya, pada 2017, Forum Komunikasi Pimpinan Daerah [Forkompinda] Pidie mengeluarkan larangan penambangan emas ilegal. Alasannya, selain ilegal, kegiatan tersebut membuat banyak penambang tertimbun dan tentunya merusak lingkungan.
Bupati Aceh Barat, Ramli MS pada Januari 2021 juga meminta penegak hukum untuk menghentikan kegiatan pertambangan ilegal di kabupaten tersebut.
“Saya meminta kepada aparat penegak hukum di Aceh agar segera menghentikan aktivitas tambang emas ilegal di Aceh Barat. Kegiatan ini sudah meresahkan dan merusak kelestarian lingkungan,” terangnya dilansir dari Antara.
Sejumlah lokasi
Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur menyebutkan, di Provinsi Aceh tersebar sejumlah lokasi tambang emas ilegal. Ada di Geunteut dan Jantang, Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar; Gunung Ujeun, Kecamatan Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya; serta di pegunungan dan sungai Kecamatan Tangse dan Geumpang, Kabupaten Pidie.
“Lalu di Krueng Cut Kecamatan Beutong dan Krueng Kila, Kecamatan Seunagan Timu, Kabupaten Nagan Raya; Lancang dan Tutut, Kecamatan Sungai Mas dan Hulu Sungai, Kecamatan Panton Reu, Kabupaten Aceh Barat; Lumut, Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah; dan Gunung Mersak, Kecamatan Sawang dan Menggamat di Kabupaten Aceh Selatan,” ujarnya, pertengahan Februari 2021.
Muhammad Nur menambahkan, dampak sederhana yang paling terlihat, adalah rusaknya kawasan hutan dan sungai ditambah penggunaan bahan berbahaya seperti merkuri dan sianida.
“Kegiatan ini juga merusak habitat satwa sehingga meningkatkan konflik dengan manusia. Jalur jelajah satwa menyempit atau terputus.”
Meskipun pemerintah daerah sudah mulai melarang namun kegiatan tersebut belum berhenti. “Penegakan hukum yang selama ini dilaksanakan belum menyeluruh,” terangnya.
Data dari pengadilan menunjukkan, butuh banyak modal untuk membiayai pertambangan emas ilegal menggunakan alat berat. Pemodal harus mengeluarkan uang sewa alat Rp25 juta hingga Rp30 juta untuk 100 jam kerja.
“Pemodal harus dibongkar karena selama ini yang ditangkap adalah pekerja lapangan,” ujarnya.
Mongabay Indonesia coba menelusuri hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tambang emas ilegal melalui situs Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Dari sejumlah kasus yang divonis Pengadilan Negeri [PN], baik itu Pengadilan Negeri Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat; Pengadilan Negeri Suka Makmue, Kabupaten Nagan Raya; dan Pengadilan Negeri Sigli, Kabupaten Pidie, pada tahun 2020, hukuman terhadap pelaku berkisar antara 3 hingga 12 bulan kurungan, dan denda paling besar Rp3.000.000.
“Padahal, para pelaku menggunakan alat berat sementara pemodalnya tidak tersentuh,” papar Muhammad Nur.