Sampah merupakan salah satu problem utama yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Masalah yang belum dapat ditangani secara sustainable, sehingga pola sistem open dumping di tempat pembuangan akhir [TPA] yang dilakukan pemerintah, tidak menjawab persoalan sampah itu sendiri.
Pengelolaan sampah yang belum maksimal tidak hanya berdampak pada permukiman warga, namun juga menjadi petaka bagi aliran sungai yang berada di perkotaan maupun pedesaan padat penduduk. Kondisi ini sebagaimana yang terjadi di Pulau Jawa dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia. Aliaran sungai menjadi tempat pembuangan sampah organik dan nonorganik.
Salah satu aliran sungai yang menjadi tempat sampah adalah aliran Sungai Citarum, yang merupakan sumber air bagi industri dan masyarakat di Kota Bandung, Purwakarta, Jakarta, dan Bekasi.
Berdasarkan data yang disampaikan Imanuddin Utoro, Manajer Program Kehutanan, Yayasan KEHATI pada webinar ‘Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat di Aliran Sungai’ yang digelar Jum’at [19 Februari 2021] pukul 14.00-16.00, disebutkan bahwa sumber pencemaran Citarum terdiri dari 10 persen limbah peternakan/pertanian, 60 persen limbah domestic, dan 30 persen limbah industri.
Untuk menjawab persoalan sampah di Citarum, HSBC –Yayasan Kehati – Green Inititive Foundation mendampingi empat komunitas di empat RT di Kecamatan Bojongsoang, Bandung, dan berkaloborasi dengan karang taruna, berupa pengelolaan sampah berbasis masyarakat.
Sampah domestik yang dihasilkan masyarakat dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku komposing dengan kapasitas tiga ton sampah organik per bulan, untuk pembuatan maggot dan pupuk organik. Nilai ekonomi dari perdagangan maggot dan telur BSF berkisar 4-6 juta Rupiah per bulan.
Baca: Selamatkan DAS Peusangan, Selamatkan Kehidupan
Selain itu, keberhasil pengelolaan sampah di tanah air juga berhasil dilakukan oleh Komunitas Peduli Ciliwung [KPC]. Berdasarkan data dan informasi yang disampaikan Koordinator KPC, Een Irawan Putra pada webinar yang sama, dijelaskan bahwa gerakan KPC dimulai pada 2009 dengan melibatkan masyarakat dan komunitas serta instansi terkait.
Gerakan awal yang dibangun KPC telah menunjukkan perubahan, namun belum signifikan. Pada rentan 2009 – 2017, KPC mengagendakan LMSC [Lomba Mulung Sampah Ciliwung], melibatkan 2.500 orang untuk membersihakan Sungai Ciliwung. Selain menggalang kekuatan untuk membersihkan Sungai Ciliwung, KPC juga melakukan pertemuan dengan tokoh masyarakat, pejabat daerah dan pejabat negara, agar berkontribusi dan berpartisipasi menyelamatkan Sungai Ciliwung.
Gerakan KPC mendapat respon positif Wali Kota Bogor, Bima Arya. Sebagai bentuk dukungan, Wali Kota Bogor mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 660.45-247 Tahun 2018 tentang Pembuatan Tim Satuan Tugas Naturalisasi Sungai Ciliwung Kota Bogor yang ditetapkan pada 15 Oktober 2018.
Dukungan Wali Kota Bogor terhadap gerakan tersebut berhasil menyelamatkan Ciliwung dari sampah, sehingga kondisinya yang kumuh dan penuh sampah menjadi Ciliwung yang indah dan asri.
Baca juga: Krueng Peusangan, Daerah Aliran Sungai Potensial yang Luput dari Perhatian
Pengelolaan sampah berbasis desa
Belajar dari kisah sukses pengelolaan sampah di Ciliwung dan Citarum, maka gerakan pengeloaan sampah berbasis masyarakat harus dimulai dari desa, dengan melibatkan kepala desa dan perangkat desa serta warga.
Keterlibatan pemerintah desa merupakan hal mutlak yang harus dilakukan, agar problem sampah yang terjadi di seluruh Nusantara dapat segera diselesiakan secara sustainable.
Pemerintah dan pemerintah daerah harus membuka ruang sebesar-besarnya kepada desa, agar dapat mengelola sampah secara mandiri, mulai dari proses pemilahan dari rumah, pengangkutan, dan pengolahan di tempat penampungan sementara [TPS]. Terkait sisa sampah yang tidak dapat diolah dan didaur ulang di TPS, maka pemerintah daerah harus memfasilitasi pengangkutannya menuju TPA.
Kondisi ini juga membuka peluang kerja bagi masyarakat desa dan sumber pendapatan asli desa [PADes]. Kebijakan yang tidak mustahil dilakukan, karena dewasa ini, desa mendapat kucuran Dana Desa [DD] yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara [APBN] setiap tahunnya, sebagai bentuk konsekuensi lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Hal ini sesuai pernyataan yang disampaikan Ridho Malik Ibrahim pada webinar yang sama. Pengelolaan sampah harus dimulai dari kebijakan pemerintah dengan cara mengeluarkan regulasi dan mengimplementasikan regulasi yang telah disahkan.
Untuk mendorong pemerintah pusat dan pemerintah daerah melahirkan regulasi yang pro terhadap pengelolaan sampah oleh desa, maka para pihak secara bersama mendorong pemerintah agar memberikan ruang bagi desa dan masyarakat untuk mengelola sampah secara mandiri.
Upaya pengelolaan sampah oleh desa juga mulai didorong Yayasan Aceh Green Conservation [Yayasan AGC] melalui Komunitas Bireuen Gleeh [KBG] di Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh. Komunitas ini mendorong pemerintah desa, pengelola tempat wisata, dan lembaga pendidikan agar mengelola sampah secara mandiri. Dengan begitu, sampah yang ada di permukiman dan aliran sungai dapat diatasi.
Pilot project dilakukan tahun 2019. Hingga saat ini, desa telah memfasilitasi petugas untuk mengambil sampah rumah tangga dengan memanfatkan motor roda tiga, bantuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Untuk menjamin kebijakan dan regulasi, KBG juga melibatkan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Kabupaten Bireuen untuk merevisi regulasi pengelolaan sampah tingkat kabupaten, sehingga ruang gerak desa tidak terhambat. KBG telah mendampingi delapan desa, pengelola tempat wisata, dan lembaga pendidikan di Kabupaten Bireuen.
Kehadiran KBG tersebut juga membantu menyelesaikan persoalan sampah di aliran Sungai Peusangan, Kabupaten Bireuen merupakan hilirnya DAS Peusangan.
KBG juga telah mendapat dukungan Bank Aceh Syariah [BAS] Cabang Bireuen yang menyediakan 120 unit tong sampah untuk dibagikan kepada desa, pengelola wisata dan lembaga pendidikan dampingan KBG. Perusahaan Daerah Air Minum [PDAM] Krueng Peusangan juga membantu biaya operasional untuk mendistribusikan tong sampah tersebut.
Meskipun baru berusia satu tahun, kerja-kerja KBG telah menunjukkan perubahan. Satu dari delapan desa dampingan telah menjalankan konsep pengelolaan sampah. Petugas desa berhasil melayani 50 rumah tangga untuk pengambilan sampah setiap dua kali seminggu. Sampah yang dipungut petugas seterusnya diangkut oleh petugas kebersihan Dinas LHK Bireuen.
Sampah, komoditas ekonomi
Bagi sebagian orang, sampah merupakan komoditas ekonomi. Seorang pengusaha lokal berhasil mendirikan pabrik pengolahan sampah mandiri di Desa Kulu Kuta, Kecamatan Kuta Blang, Kabupaten Bireuen, Aceh.
Selain mendatangkan keuntungan pribadi, pengusaha tersebut telah mempekerjakan lebih sepuluh karyawan.
Pengusaha lokal ini memanfaatkan botol untuk dijadikan biji plastik bernilai ekonomi. Selain botol, mereka juga menampung kardus bekas dan besi.
Pengolahan sampah yang dilakukan pengusaha lokal ini patut mendapat apresiasi. Kehadirannya, secara tidak langsung membantu pemerintah untuk mengatasi persoalan sampah.
Edukasi tentang sampah sebagai komoditas ekonomi harus dimulai dari tingkat desa, karena manyoritas penduduk berada di pedesaan. Bila masyarakat desa sadar, bahwa sampah adalah komoditas ekonomi, maka tentunya tidak akan lagi membuang sembarangan. Bahkan, akan dikumpulkan dan dibawa ke Bank Sampah desa yang nantinya akan dihitung dengan nilai ekonomi.
Selain masyarakat, siswa sekolah dan lembaga pendidikan juga harus mendapat edukasi tentang sampah yang memiliki nilai ekonomi. Dengan begitu, persoalan sampah mendapat perhatian semua pihak, untuk diselesaikan bersama. Semoga!
*Abdul Halim, Jurnalis CERITAWARGA.com dan Staf Forum DAS Krueng Peusangan, Bireuen, Aceh. Artikel ini opini penulis.