- Laut Arafura dan Laut Timor, adalah dua wilayah perairan laut yang masuk dalam kawasan Timur Indonesia dan dikenal luas berkat kekayaan sumber daya lautnya yang sangat besar. Berkat itu, kedua perairan tersebut banyak diburu para pencari ikan dari dalam dan luar negeri
- Namun, kekuatan magnet tersebut juga mendatangkan dampak buruk bagi kedua wilayah perairan. Banyak kejadian yang memicu pertikaian dan kejahatan di tengah laut, demi untuk mendapatkan sumber daya ikan yang melimpah
- Dampak buruk yang sudah terasa di sana, adalah aktivitas IUUF, perbudakan, dan perlakuan tidak menyenangkan yang diterima para awak kapal perikanan (AKP) asal Indonesia. Di sana, para AKP dipaksa bekerja di bawah upah standar dan mengabaikan keselamatan mereka
- Oleh karena itu, pengawasan dan pengamanan harus dilakukan oleh otoritas terkait, agar keamanan bisa tercipta. Selain itu, saat ini Pemerintah Indonesia tengah menyusun draf awal dokumen konvensi regional untuk perlindungan laut Arafura dan Timor
Laut Arafura dan Laut Timor adalah bagian dari wilayah perairan Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara tetangga seperti Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini. Sebagai wilayah perbatasan, kedua perairan tersebut memegang peranan sangat penting bagi kedaulatan bangsa Indonesia.
Posisi yang penting dan strategis tersebut, menjadikan Laut Arafura dan Laut Timor selalu menjadi sasaran dari banyak pihak berkepentingan, dari Indonesia dan negara yang berbatasan langsung. Akibatnya, keamanan wilayah perairan menjadi terganggu.
Untuk menjamin keamanan wilayah pesisir di Laut Arafura dan Laut Timor, Pemerintah Indonesia memulai proses pembuatan doumen Konvensi Regional untuk perlindungan lingkungan laut dan pengelolaan kawasan pesisir yang berkelanjutan untuk wilayah Arafura dan Laut Timor.
Dokumen yang saat ini masih dalam bentuk draf itu, dibuat agar Indonesia dan negara yang berbatasan langsung dengan kedua wilayah perairan tersebut, bisa tetap melaksanakan pengelolaan dengan baik dan dilakukan melalui integrasi yang sama baiknya.
Pelaksana Tugas (Plt) Asisten Deputi Keamanan dan Ketahanan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Helyus Komar menjelaskan, rancangan awal yang berbentuk draf dibuat, karena ada banyak persoalan yang harus diatasi secara bersama.
“Pemerintah Indonesia terus mengupayakan keamanan dan penanganan masalah-masalah kelautan lintas batas. Tujuannya, agar pengelolaan yang terintegrasi dan pemanfaatan sumber daya pesisir berkelanjutan bisa berjalan baik,” ucap dia belum lama ini di Jakarta.
Draf yang saat ini sedang dalam penyusunan tersebut, kemudian diusulkan kepada para pihak yang berkepentingan secara langsung, yaitu ketiga negara yang berbatasan langsung dengan dua wilayah perairan, Laut Arafura dan Laut Timor.
Dalam rancangan dokumen tersebut, ada bahasan-bahasan secara detail tentang identifikasi masalah lingkungan prioritas lintas batas kedua wilayah perairan laut. Selain itu, ada juga bahasan tentang dampak lingkungan dan sosial ekonomi di sekitar lokasi perairan.
“Juga, isu-isu sektoral, akar penyebab dan tata kelola masyarakat pesisir di wilayah tersebut,” tutur dia.
Agar proses pembuatan draf dokumen bisa berjalan lancar, Pemerintah Indonesia sudah menyampaikan permintaan sejumlah nama pejabat dari tiga negara yang terlibat agar bisa menjadi bagian dari Tim Penyusunan Draft Regional Convention.
Selain untuk menjadi tim penyusun draf konvensi, kehadiran para pejabat dari Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini juga nantinya akan menjadi bagian dari penyusunan peta jalan untuk pengembangan kedua wilayah perairan yang sinergi antara Indonesia dengan tiga negara.

Alih Bahasa
Untuk dokumen konvensi, Helyus Komar menyebutkan bahwa di masa akan datang akan dilakukan adopsi dokumen dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa lain, utamanya Bahasa Inggris. Selain itu, akan ada juga program aksi nasional yang disepakati dan diadopsi di tingkat nasional masing-masing negara.
Sampai saat ini, tahapan yang sedang dilakukan ialah menyusun dan segera menyepakati rancangan dokumen tersebut secara nasional. Penyusunan draf tersebut juga disebut telah dikoordinasikan dengan program Arafura and Timor Seas Ecosystem Approach (ATSEA).
Dengan adanya dokumen Convention on the Sustainable Protection of the Marine Environment and the Management Coastal Region in the Arafura and Timor Sea, langkah selanjutnya yang bisa dilakukan Indonesia, adalah meningkatkan daya saing komoditas perikanan.
Menurut Asisten Deputi Hukum dan Perjanjian Maritim Kemenko Marves Radian Nurcahyo, dengan mendorong peningkatan daya saing, maka itu juga secara tidak langsung akan mendorong terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Akan tetapi, saat pengembangan ekonomi dilakukan di kedua wilayah perairan laut tersebut, di saat yang sama tidak boleh ada yang melupakan peran konservasi untuk keberlanjutan ekosistem laut dan pesisir. Oleh itu, perlu juga dilakukan peningkatan wilayah konservasi di sekitar dua perairan tersebut.
Berkaitan dengan upaya konservasi, langkah penting lain yang juga tak boleh dilupakan, adalah pemberantasan praktik penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak sesuai regulasi (IUUF). Cara tersebut penting karena bisa mengawal sumber daya laut di kedua perairan tersebut.
Diketahui, ATSEA merupakan program regional empat negara, yaitu Indonesia, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini dan bertujuan untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan di wilayah perairan Arafura dan Timor.
Saat ini, ATSEA telah memasuki fase kedua yang berjalan mulai dari 2019 hingga 2023 mendatang. Pada fase pertama, ada tiga luaran tugas yang sudah berhasil dicapai, yaitu terkait Transboundary Diagnostic Analysis (TDA), Strategic Action Plan (SAP), dan National Action Programme (NAP).
Kepala Pusat Riset Perikanan (Pusriskan) Kementerian Kelautan dan Perikanan Wiyono menjelaskan, ATSEA-2 ini dilaksanakan untuk meningkatkan pembangunan berkelanjutan di wilayah perairan Laut Arafura dan Laut Timor.
Dengan tujuan, untuk melindungi keanekaragaman hayati dan sekaligus meningkatkan kualitas hidup penghuni di wilayah tersebut melalui konservasi dan pengelolaan ekosistem pesisir laut yang berkelanjutan.
“Komponen yang turut dicapai dalam hal ini meliputi perikanan, habitat, polusi, spesies laut, serta perubahan iklim,” terang dia.
Pada kesempatan berbeda, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menerangkan, perlunya dilakukan peningkatan pengawasan di Laut Arafura, karena wilayah laut tersebut merupakan pusat sumber daya kelautan dan perikanan yang sangat kaya.
perlu dibaca : Walau Dilarang, Investor Asing Diduga Incar Perikanan Tangkap di Perairan Arafura, Seperti Apa?

Pengamanan Laut
Khusus Laut Arafura, secara administrasi wilayah perairannya masuk ke dalam Wilayah Pengeloaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 718. Selain Arafura, WPPNRI 718 juga mencakup perairan Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor bagian timur.
“WPP 718 merupakan perairan Arafura dan sekitarnya yang selama ini dimanfaatkan oleh tiga provinsi yaitu Maluku, Papua dan Papua Barat,” jelas dia.
Menurut Abdi Suhufan, Laut Arafura adalah wilayah laut dengan produktfitas tinggi dan menjadi pusat kawasan penangkapan ikan (fishing ground) favorit bagi kapal ikan berbendera Indonesia. Peran yang sangat penting tersebut, membuat Laut Arafura harus senantiasa dijaga dan diamankan.
Dengan melakukan pengawasan di kawasan perairan tersebut, maka tujuan untuk mencegah praktik IUUF dan pelanggaran ketenagakerjaan yang dialami oleh awak kapal perikanan (AKP) diharapkan bisa terwujud. Praktik pelanggaran tersebut dilakukan kapal saat beroperasi menangkap ikan.
“Izin dan kegiatan penangkapan ikan di laut Arafura saat ini merupakan yang terpadat di Indonesia,” sebut dia.
Saat ini, diperkirakan terdapat total sekitar 3.126 kapal ikan ukuran 10-30 gros ton (GT) dengan izin provinsi dan kapal ikan berukuran di atas 30 GT dengan izin pusat. Kapal-kapal tersebut saat ini melakukan penangkapan ikan di laut Arafura.
Dalam penilaian Abdi Suhufan, jumlah kapal yang ada sekarang diperkirakan akan terus bertambah banyak, jika saja kategori kapal ikan skala kecil ikut dihitung. Kapal yang biasa digunakan nelayan tradisional dan skala kecil itu berkurang di bawah 10 GT dan belum terintegrasi dengan data.
Dengan jumlah armada sebanyak itu, diperkirakan ada sekitar 78.000 orang AKP yang bekerja di kapal-kapal yang melakukan penangkapan ikan di laut Arafura. Bahkan, dia mengaku sudah mendapatkan laporan sejumlah kasus penelantaran AKP yang menyebabkan korban sakit dan meninggal dunia.
Dari laporan yang masuk tersebut, diketahui kalau lokasi kejadian ada di Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku yang lokasinya ada di tengah perairan laut Arafura. Selain itu, ada juga korban di Merauke, Provinsi Papua, yang juga berdekatan dengan laut Arafura.
“Ini sangat tragis, jika kegiatan penangkapan ikan di Arafura masih mengandung unsur kerja paksa atau perbudakan, dan luput dari pengawasan Pemerintah,” tegas dia.
Banyaknya kapal ikan yang beroperasi di laut Arafura, diperkirakan akan memberi tekanan pada keberlanjutan sumber daya ikan dan itu artinya harus ada pengawasan ketat dari otoritas terkait. Kemudian, ada juga kapal yang terindikasi sudah tidak memiliki izin untuk beroperasi lagi, namun masih menangkap ikan di laut Arafura.
Juga, yang membuat laut Arafura harus mendapatkan penjagaan dan pengamanan, adalah karena hingga sekarang masih ada beberapa pelabuhan tangkahan yang dimanfaatkan oleh kapal-kapal ikan untuk mendaratkan hasil tangkapan mereka.
Padahal, pelabuhan tangkahan yang beroperasi sekarang diduga kuat tidak menerapkan aturan perikanan berkaitan dengan perizinan, pencatatan hasil tangkapan, bahan bakar minyak (BBM), dan juga perlindungan ketenagakerjaan.