- Di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, ada yang jadi pemburu anggrek di hutan. Anggrek-anggrek ini jadi sumber ekonomi keluarga mereka.
- Di Tondok Bakaru, Mamasa, rumah anggrek mudah ditemukan. Sudah banyak orang merintis. Pada 2019, pemerintah provinsi menetapkan Tondok Bakaru sebagai Desa Anggrek.
- Berburu anggrek merupakan pekerjaan penuh risiko. Menurut Susan Orlean, jurnalis masyhur The New Yorker, dalam ‘Pencuri Anggrek’ berburu anggrek adalah pekerjaan mematikan. William Arnold, pemburu anggrek ulung era Ratu Victoria (1837-1901) tenggelam dalam ekspedisi di Sungai Orinoco, Venezuela. Pemburu lain, Klabock mati terbunuh di Meksiko dan Osmer yang hilang di Asia hingga kini.
- Andarias, warga Mamasa, kali pertama menekuni anggrek pada 2017. Kini, Andre, biasa dipanggil mengupayakan laboratorium anggrek yang bisa jadi satu upaya pelestarian anggrek Mamasa. Bahkan, mereka berencana bikin hutan pelestarian anggrek dalam satu kawasan.
“Ular!” teriak Ardianus. Kami berhenti. Ular itu sudah mengangkat kepalanya.
Siang itu, 30 Desember 2020, saya mengikuti Bongalangi dan Ardianus menyusuri hutan tropis di Sumarorong, sebuah kecamatan selatan Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Langit masih gerimis. Berturut-turut, kami berbaris menapaki jalan tanah yang membelah hutan itu. Paling depan, Bongalangi, Andarias, saya, kemudian Ardianus.
Andre, sapaan Andarias meraih sebatang kayu lurus, lalu mendorong ular itu dari jalan. Kami takut ular. Meskipun, bagi kami, ular itu sungguh menawan, dengan corak cincin merah kekuningan menghiasi sepanjang kulit hitam ular itu.
“Ini baru pertama kali saya masuk hutan, ketemu ular,” kata Bongalangi tertawa.
“Berbisa itukah?” tanya Ardianus.
Tak ada yang bisa menjawab. Kami meneruskan perjalanan. Kali ini, dengan langkah penuh hati-hati.
Langkah kaki Bongalangi dalam hutan. Sulit menyandingi kekuatan fisiknya. Dia begitu lihai menembus belukar. Matanya peka terhadap tanaman yang berserakan di hutan. Dia mampu membedakan, mana anggrek, mana hoya, mana hanya ‘tanaman biasa.’
Tiga tahun terakhir, Bongalangi sering masuk hutan berburu anggrek, sekaligus terpikat pada keindahan tanaman itu. “Dulu itu, disuruh Pak Andre, untuk borongan anggreknya. Dari situ saya mulai.”
Hutan yang kami ‘jamah’ hari itu, hanya satu kawasan dari hamparan hutan di Mamasa yang begitu memukau. Vegetasi tumbuh rapat dan beraneka ragam. Paku-pakuan. Rotan. Kadaka. Lumut berbagai rupa menghiasi sepanjang lantai hutan yang selalu sembab dan licin. Pepohonan menjulang tinggi, menghalau terik matahari jatuh ke tanah. Bau kayu dan daun yang membusuk menyeruak ke seisi hutan bersama kicauan burung. Damai dan begitu menyenangkan.
Baca juga : Dian Rossana Anggraini, Pelestari Anggrek di Bangka Belitung

Hutan ini, habitat anggrek. Saya banyak menemukan Bulbophyllum. Bahkan, ada Diplocaulobium utile (anggrek serat), kini sulit ditemukan di Sulawesi Tenggara, yang jadikan anggrek ini sebagai ikon flora daerah itu. Ada juga Bulbophyllum mucronatum, daun dan bunga hanya seukuran kuku ibu jari. Beragam anggrek berbentuk aneh. Bahkan hanya menyerupai ranting seukuran lidi, tanpa daun, dengan bunga serupa burung merpati putih yang sedang terbang.
“Pokoknya ini mi asramanya,” kata Andre.
Kelestarian hutan selalu berhadapan dengan kebutuhan ekonomi manusia. Ketika kami berjalan lebih dalam, perambahan hutan begitu masif. Bila dari jalan poros, tak ada yang menyangka perambahan hutan bekerja secara sembunyi di jantung hutan ini. Ratusan pohon ditebang dan menyisakan tanah lapang berhektar-hektar dengan tumpukan bantalan kayu. Sebagian bahkan telah ditumbuhi pohon kopi.
“Di situ dulu banyak Phalaenopsis venosa,” kata Bongalangi.
“Untung kalau dia lanjut ji berkebun. Kalau habis dibabat, baru terlantar ji. Berapa kali mi itu, di sana orang berkebun, tapi dia tinggal saja.”
“Kasih punah saja anggrek. Banyaknya anggrek itu di Sumarorong,” keluh Bongalangi.
Kekesalan Bongalangi bukan tanpa alasan. Anggrek telah menopang kehidupan keluarganya. Duit Rp3-Rp5 juta bisa dia kantongi saban bulan. Keluarga Bongalangi bisa makan saban hari dan putra pertamanya bisa mengenyam pendidikan tinggi karena anggrek.
Bongalangi merasa ada ketidakadilan ketika dia berburu anggrek dengan tidak serakah, ada orang lain begitu serakah membabat habitat anggrek. Bongalangi juga kesal pada pemburu anggrek yang serakah. “Teman teman itu kalau pergi berburu, baru kalau tidak bisa ia ambil anggrek di atas pohon, ia babat itu pohon. Habis.”
“Sering saya larang. Lebih baik, kalau tidak bisa ambil, kasih tinggal saja. Supaya jadi indukan.”
Seperti tanaman lain, anggrek juga berkembang biak. Bila mekar, maka itu saatnya beranak pinak. Biji akan meletus dan angin akan membawa hinggap di tempat yang tepat, di mana air, angin, dan cahaya cukup. Serta ‘dilintasi’ serangga yang kelak berbaik hati mengawinkan si anggrek.
Baca juga : Para Penyelamat Anggrek Rawa Gambut Batang Damar

Jam sudah pukul 13.00 Wita. Sudah dua jam kami menyusuri hutan. Udara siang ini sejuk. Matahari tertutup awan mendung. Kami istirahat dekat kebun kopi terlantar, diiringi bunyi serangga. Ardianus menawarkan roti isi cokelat pada saya.
Ardianus adalah lelaki usia 35 tahun. Fisik kuat. Dia adalah saudara istri Andre. Dia sebagai pemburu anggrek sejak tiga tahun lalu.
Ayah dua anak ini, di tepi rumahnya di Kota Mamasa, Ardianus membuka warung campuran dan menjual hasil berburu lewat daring atau ke tangan penjual anggrek. Semua pendapatan ini, membuat dapurnya terus mengepul.
“Agak lumayan pendapatan kalau berburu anggrek. Lebih banyak. Karena, kita masuk hutan itu, berarti sudah ada pesanan. Sudah pasti. Kalau jualan, belum tentu laku. Itu enaknya berburu.”
Perburuan Bongalangi dan Ardianus, memang terbilang baru. Mereka mulai akhir 2016, ketika Andre mengembangkan bisnis anggrek di kampungnya, di Dusun Pa’kondo, Desa Tondok Bakaru.
Tondok Bakaru, desa anggrek
Lima menit dari pusat Mamasa, sebuah bukit menyerupai perahu terkepung hamparan sawah nan luas. Bukit ini menjadi perkampungan ratusan orang. Melewati bukit, juga terdapat perkampungan di bagian persawahan. Di sisi selatan, Sungai Tetean mengarus dari Gunung Mambu Lilling bagai sapuan kuas lukis dengan batu-batu berserakan.
Lembah ini 1.200-an meter di atas permukaan laut. Dingin berhembus sepanjang hari. Pegunungan membentang mengelilingi lembah ini bagai tembok. Deretan pinus tumbuh di kaki-kaki pegunungan. Bila berdiri di atas bukit, lembah ini bagai lukisan. Inilah, Tondok Bakaru.

Jelang tahun berganti ke 2017, di sisi utara Tondok Bakaru, Andre menemukan tanaman, menempel di kulit pohon-pohon tumbang. Dia mengamati tanaman itu penuh seksama. Rupanya anggrek. Dia mencabut dan lekas membawa pulang.
Di rumah, Andre memfoto anggrek itu lantas mengunggah ke Facebook. “Ternyata respons dari teman-teman itu luar biasa.”
“Saat itu, ada teman dari Aceh, yang minta dikirimkan tanaman itu. Dia kirim uang Rp600.000. Dia bilang terserah abang mau kirim berapa, saya terima. Saat itu, saya menyimpulkan, ini anggrek bisa meningkatkan perekonomian di desa ini.”
Andre memulai bisnis anggrek awal 2017. Dia masuk hutan berburu anggrek bersama Bongalangi dan Ardianus. Beberapa anggrek juga dia beli dari pemburu lain. Anggrek hasil berburu, Andre foto, kemudian jajakan ke Facebook atau toko daring.
Lambat laun, Andre mulai bangun rumah kaca di pekarangan rumah. Di situlah anggrek yang didapat, Andre tata dengan rapi, bagai instalasi seni. Pakai pot atau digantung bersama batang kayu. Semula hanya puluhan jenis, lalu seratusan, sampai 370-an. Dari Dendrobium, Vanda, hingga Bulbophyllum. “Itu hanya anggrek dari Mamasa saja,” katanya.
Andre bukan seorang dengan latarbelakang botani. Dia tamatan sarjana pendidikan sekolah dasar. Dia sempat merantau hingga ke Papua sebagai sales. Lantas pulang kampung setelah sarjana dan mengabdi sebagai guru. Usianya kini, 40 tahun.
Cara merawat anggrek, Andre tahu lewat Youtube dan pengalaman sendiri. Belakangan, dia kerjasama dengan peneliti. Merawat anggrek memang susah gampang. Gampangnya, media tanam cukup sabut kelapa, pakis, batang kayu, atau tanah—buat anggrek teresterial. Pupuk cukup air cucian beras. Tidak muluk-muluk.
Susahnya, ketika merawat. Ada anggrek yang tidak kuat terpapar matahari berlebihan. Ada sebaliknya. Ada butuh air banyak atau sebaliknya. Perlu sirkulasi angin dan lingkungan baik. Perlu perhatian lebih dan kesabaran kalau tak ingin anggrek itu gosong atau membusuk.
Bisnis anggrek yang Andre rintis berkembang pesat. Andre juga bikin kompleks wisata, dengan menampilkan keeksotisan sawah dihiasi rangkaian bambu-bambu dan saung. Depan rumah, sudah ada tiga rumah kaca, menampung ratusan anggrek, hoya, dan tanaman hias lain. Paling besar seukuran lapangan bulu tangkis. Kompleks ini bernama Sawah dan Orchid (Sawo).
Rumah anggrek milik Andre, kerap dikunjungi wisatawan, yang datang sekadar mengangumi anggrek, bertanya cara perawatan, atau membeli. Orang sekitar Andre, tak bisa membayangkan jualan anggrek bisa sebesar ini. “Saat itu, tidak ada orang percaya. Malah menertawakan saya. Tanaman-tanaman begitu tidak mungkin bisa dijual. Karena itu dianggap rumput.”
Kini, di Tondok Bakaru rumah anggrek mudah ditemukan. Sudah banyak orang merintis. Yang dilakukan Andre mereka contoh. Di desa lain pun ikutan. Pada 2019, pemerintah provinsi menetapkan Tondok Bakaru sebagai Desa Anggrek. Ketika pandemi merontokkan ekonomi kota, di Tondok Bakaru, perputaran uang capai Rp700 juta, berkat anggrek dan tanaman lain.

***
Ratusan meter dari rumah Andre, Bongalangi sedang menghabisi waktu senggang, duduk di teras rumah kayu. Dia baru pulang dari mengambil kayu bakar. Depan rumah, ada rumah kaca seukuran 4×3 meter, dengan rangka balok kayu dan paranet hitam. Bongalangi menyimpan anggrek-anggreknya di situ. Tidak banyak.
Saya masuk ke rumah kaca itu dan disambut Coelogyne celebensis. Ia anggrek golongan efifit. Daun meruncing dengan gelombang memanjang, bagai daun palem, menyembul dari pangkal lunak berbentuk biji salak. Saya beruntung datang saat anggrek ini bunga. Ia hanya mekar sekali setahun.
Belasan bunga seukuran genggaman bayi berjuntai di batang, berderet dan berselang-seling. Lima kelopak berwarna kekuningan pucat, walau sedikit mendekati hijau. Kelopak atas macam mata tombak. Kelopak lain seperti tangan dan kaki. Ia lebih mirip manusia yang sedang terjun bebas.
Di tengah bunga, labellum (orang lebih sering menyebut lidah) warna putih menjorok dengan noda cokelat bekas bakar. Di antara ‘luka bakar’ itu ada cipratan bintik-bintik oranye. Mata saya lama terpaku ke anggrek endemik sulawesi ini. Ia benar-benar mempesona.
Bongalangi sangat menyayangi Coelogyne itu. Bukan untuk dijual. Anggrek yang terpajang di rumah Bongalangi kebanyakan tidak dijual. Bongalangi merawat anggrek pilihan itu sejak dia mencabut dari hutan, kemudian beradaptasi di rumahnya, hingga mengeluarkan bunga. Proses ini menggugah hati Bongalangi. “Beda sama bunga lain. Kalau bunga-bunga biasa tidak terlalu bagus.”
“Paling cantik yang saya dapat di hutan itu, Bulbophyllum inunctum, orang bilang bulbo tanduk. Kecil daun, tapi besar bunganya. Ada punya ku, tapi tidak berbunga mi sekarang. Cantik sekali!”
Bongalangi menunjukkan anggrek pertamanya. Itu adalah Aerides inflexa, atau kuku macan. Dia menggantung di beranda. Bunga anggrek ini kecil, hanya seruas jari. Julukan kuku macan itu muncul karena bentuk labellum-nya menyerupai kuku macan. Masing-masing ujung dari lima kelopak terdapat kuasan kuning, dengan tepian merah muda dan warna dasar putih. Di pagi hari, bunga ini akan mengeluarkan semacam ‘keringat’ beraroma melati.
“Terlambat ki datang. Baru-baru gugur itu,” kata Bongalangi.
Anggrek inilah yang memikat Bongalangi menjadi pemburu anggrek. Sebelumnya dia kerja serabutan, sambil mengurusi sawah dekat rumahnya. Sebab anggrek pula, Bongalangi bisa menjelajahi hutan-hutan yang seumur hidupnya tak pernah dia masuki. Ini petualangan yang Bongalangi cintai, meskipun bahaya kerap mengintai.
“Kalau masuk hutan, harus kita hati-hati. Jangan sampai ada jurang atau ketemu ular. Apalagi kalau panjat-panjat. Cari anggrek itu harus panjat. Tidak ada di bawah. Jarang. Di atas pohon semua. Dilarang juga tebang,” katanya.
“Pokoknya kalau masuk hutan itu, hati-hati. Banyak risiko.”
Seperti para pendahulu Bongalangi, di seberang benua nun jauh di sana. Menurut Susan Orlean, jurnalis masyhur The New Yorker, dalam ‘Pencuri Anggrek’ berburu anggrek adalah pekerjaan mematikan.
William Arnold, pemburu anggrek ulung era Ratu Victoria (1837-1901) tenggelam dalam ekspedisi di Sungai Orinoco, Venezuela. Pemburu lain, Klabock mati terbunuh di Meksiko dan Osmer yang hilang di Asia hingga kini.
“Hal itu selalu jadi bagian dari pesonanya (anggrek),” tulis Orlean.
Bongalangi mengarungi risiko ini karena kecintaan pada anggrek. “Anggrek itu mengesankan. Betul-betul ia ubah hidup ku!”
Ardianus juga begitu. “Tapi kalau kita dapat hutan yang sudah ditebang-tebang, kita merasa prihatin sama anggreknya. Kalau ditebang pohonnya, otomatis tidak akan tumbuh lagi.”
Mungkin, bagi orang lain, yang dilakukan Bongalangi, salah, karena mengeluarkan ratusan anggrek dari hutan. Bongalangi hanya mengambil secukupnya. “Kalau diambil semua, kalau kembali ki sudah tidak ada pasti.”
Anggrek tidak tumbuh hanya seminggu. Bertahun-bertahun. Perburuan liar di abad lalu terhadap anggrek, telah memicu kepunahan pada spesies tertentu. Orang di benua Eropa dan Amerika saat itu, begitu terosebsi dengan anggrek, hingga ribuan pemburu melintasi samudera dan masuk ke hutan, mempertaruhkan nyawa dan segalanya.
Di Mamasa, anggrek berkurang bukan karena kehadiran pemburu tetapi pembukaan lahan dan invasi pohon pinus. Dua ini adalah rival Bongalangi.
“Kalau habis mi habitatnya, anggrek tidak ada,” kata Bongalangi. “Mesti dirawat itu hutan.”
Laboratorium, melestarikan anggrek
Maret 2021, sebuah fasilitas laboratorium khusus anggrek diresmikan di Tondok Bakaru. Ini hasil upaya Andre dan kawannya untuk melestarikan anggrek di Mamasa. Dia mengusulkan dana ke Bank Indonesia. Fasilitas ini termasuk laboratorium untuk kultur jaringan (kloning) anggrek dan rumah kaca.
Dasar pemikiran pendirian fasilitas ini sederhana. Selama ini, kata Andre, anggrek telah dikeluarkan dari hutan dan menghidupi banyak orang selama tiga tahun.
Andre pikir, bagaimana bisnis anggrek jalan tetapi tidak lagi mencabut dari hutan. Maka, laboratorium ini adalah jawabannya. Dengan kultur jaringan, satu indukan anggrek bisa dikembangbiakkan di meja laboratorium menjadi ratusan, walaupun rumit.
“Jadi, kami tidak hanya menjual saja. Suatu saat nanti kita kembalikan ke hutan,” katanya.
“Pemikiran saya ketika alam memberikan kita penghidupan maka kita juga bertanggung jawab untuk pelestarian mereka. Supaya mereka kelak suatu saat, berapa tahun ke depan, tidak lagi berburu, malah kita ambil dari lab, kita kembangkan sendiri. Kedepan itu kita tidak khawatir lagi anggrek punah.”
Mereka berencana bikin hutan pelestarian anggrek dalam satu kawasan. “Tanpa dibuat, jadi mereka di alam. In situ. Jadi proses pembuatannya in situ. Kayak di Bogor. Kami yang mulai maka kami harus yang melanjutkan itu.”
*****
Foto utama: Bongalagi berburu anggrek di hutan Sumarorong/ Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia