- Hutan mangrove di sempadan Sungai Tallo terancam berubah fungsi. Yusran Nurdin Masse, peneliti dari Blue Forest mengatakan, kondisi mangrove Sungai Tallo sangat mengkhawatirkan. Perubahaan fungsi terus terjadi.
- Daerah Aliran Sungai (DAS) Tallo meliputi tiga kabupaten dan kota, dengan luas kawasan mencapai 43.000 hektar. Secara administrasi DAS Tallo yang masuk dalam Makassar seluas 14.380 hektar (33,44%), Gowa seluas 23.527 hektar dan Maros 5.090 hektar.
- Rahman, dkk, dalam Estimasi Setok dan Serapan Karbon pada Mangrove di Sungai Tallo, Makassar, Jurnal Kehutanan tahun 2017 menyatakan, mangrove Sungai Tallo berada tepat di tengah Kota Makassar, seharusnya menjadi ruang terbuka hijau.
- Menjaga tutupan kawasan mangrove seperti menjaga spons alami yang berfungsi mengurangi emisi. Sayangnya, mangrove sebagai kawasan penyimpan setok karbon tidak begitu menjadi perhatian utama dalam pembangunan kawasan.
Jalan membentang dengan dua jalur pakai beton yang menembus ke wilayah Antang. Jalan itu tak begitu panjang, tetapi membuka akses cepat, yang diklaim sebagai jalur alternatif mengurai kemacetan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Mirisnya, pembukaan jalan itu harus membongkar hutan mangrove di sempadan Sungai Tallo.
Akhir April 2021, saat mencoba menelusuri sempadan sungai itu, beberapa plang nama pemilik lahan sudah menancap di antara pohon mangrove.
Sungai Tallo, adalah sungai yang mengalir di pusat Kota Makassar. Di sepanjang sempadan, didominasi Nypa fruticans (nipah). Penduduk yang bermukim di sekitar sempadan sungai ini memanfaatkan sebagai atap rumah, dan mengolah sari sebagai tuak.
Nama Tallo juga jadi penanda penting untuk sebuah kerajaan. Kerajaan Tallo ini wilayah yang dianggap penting sebelum Kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaan. “Tallo itu sebenarnya di anaksesi oleh Gowa,” kata Muhlis Hadrawi, Filolog Universitas Hasanuddin.
Pada masa lalu, Tallo membangun kerajaan di pesisir sungai. Reruntuhan benteng kerajaan masih menyisakan keagungannya. Ada bastion atau menara pengawas yang berdekatan dengan sungai.
“Jadi jelas, bastion itu tentu saja berfungsi mengawasi lalulintas perhubungan di sepanjang Sungai tallo,” kata Yadi Muliadi, arkeolog Universitas Hasanuddin.
Pada abad ke 15, kerajaan Tallo membangun Pelabuhan Kaluku Bodoa yang besar di pesisir yang berdekatan dengan muara sungai. Dari pelabuhan ini, hubungan perdagangan hingga ke Sumatera, bahkan Malaka.
Produk-produk pertanian seperti beras dipasok dari daratan dan pedalaman kemudian diangkut melalui Sungai Tallo, dikumpulkan di pelabuhan kemudian dikirim keluar daerah.
Ketika saya berdiri di jembatan Sungai Tallo yang bersisihan dengan pusat perbelanjaan besar di Makassar di Jalan Perintis Kemerdekaan, aliran sungai tampak tenang. Beberapa nelayan dengan perahu bermesin kecil membelah badan sungai dan menciptakan gelombang air.
Sungai ini menjadi sepi dan kehilangan fungsi. Dalam peta rupabumi, sempadan sungai ini dipenuhi petakan yang sudah berwarna orange, berarti sudah ada sertifikat hak milik. Kemudian, beberapa petakan berwarna hijau dalam proses pengajuan kepemilikan.
Sempadan sungai yang dipenuhi habitat mangrove itu telah dimiliki dan kelak akan berubah fungsi. “Mangrove Sungai Tallo sangat mengkhawatirkan. Kita melihat perubahaan fungsinya di depan mata. Sungguh miris,” kata Yusran Nurdin Masse, peneliti dari Blue Forest.
Blue Forest adalah yayasan yang mengkampanyekan pengelolaan hutan hingga laut dalam satu kesatuan ekosistem yang saling terhubung. “Jika Sungai Tallo, tak dikelola dengan baik, kelak akan menjadi petaka,” katanya.
Petaka itu paling nyata adalah banjir. Bantaran sungai yang membelah Kota Makassar, akan mengalirkan debit air dari hulu. Mangrove di sepanjang bantaran akan jadi pengurai gelombang. “Jika mangrove itu sudah berubah fungsi seperti perumahaan, air akan mencari jalan lain dan tentu saja akan mengakibatkan banjir,” katanya. “Kita sudah melihatnya beberapa tahun terakhir ini.”
Penyerap karbon
Daerah Aliran Sungai (DAS) Tallo meliputi tiga kabupaten dan kota, dengan luas kawasan mencapai 43.000 hektar. Secara administrasi DAS Tallo yang masuk dalam Makassar seluas 14.380 hektar (33,44%), Gowa seluas 23.527 hektar dan Maros 5.090 hektar.
Surni dari Puslitbang Wilayah Tata Ruang dan Informasi Spasial, Universitas Hasanuddin tahun 2015, dalam penelitian “Dinamika perubahan penggunaan lahan, penutupan lahan terhadap hilangnya biodiversitas di DAS Tallo, Sulawesi Selatan,” menuliskan, kalau perubahaan temporal dan perubahan penggunaan lahan, penutupan jadikan potensi hilangnya keragaman hayati di DAS Tallo.
Penelitian itu menggunakan analisis GIS dan membandingkan citra satelir tahun 1997, 2009 dan 2012. Hasilnya, ada penurunan luasan perkebunan DAS pada 1997 seluas 2009,34 hektar jadi 1.746,76 hektar pada 2009.
Permukiman terus bertambah, tahun 1997 seluas 6.138,10 hektar jadi 6.400,68 hektar pada 2009. “Ini menunjukkan terjadi konversi lahan hijau menjadi lahan terbangun,” tulis Surni.
Padahal, secara umum menjaga tutupan kawasan mangrove seperti menjaga spons alami yang berfungsi mengurangi emisi. Sayangnya, mangrove sebagai kawasan penyimpan setok karbon tidak begitu menjadi perhatian utama dalam pembangunan kawasan.
Menurut Rahman, dkk, dalam Estimasi Setok dan Serapan Karbon pada Mangrove di Sungai Tallo, Makassar, Jurnal Kehutanan tahun 2017 menyatakan, mangrove Sungai Tallo berada tepat di tengah Kota Makassar, seharusnya menjadi ruang terbuka hijau.
Sungai yang didominasi spesies Nypa fruticans dengan jumlah 18.514 pohon dan kerapatan 4.256 pohon per hektar ini menyimpan karbon 21,82 ton per hektar dan mampu menyerap 80,02 ton CO2 per hektar.
Spesies dominan lain, adalah Rhizophora mucronata mencapai 8.492 pohon dan kerapatan 2.352 pohon setiap hektar, dapat menyimpan karbon 19,94 ton per hektar dan mampu menyerap 73,13 ton CO2 per hektar.
Ada juga Avicennia alba dengan jumlah 2.421 pohon dan kerapatan 3.228 pohon per hektar, menyimpan karbon 53,96 ton, dan menyerap 197,87 ton CO2 per hektar. “Nilai kerapatan dan kemampuan serapan mangrove sangat sesuai untuk dikelola pada ruang terbuka hijau penyuplai udara segar dan penyerap CO2,” tulis Rahman.
Untuk itu, kata Yusran Nurdin, ketika mengamati potensi mangrove dan memprediksi risiko ketika kawasan itu menghilang, tak ada alasan tak meilirik sebagai bagian alamiah yang dapat menjaga lingkungan.
“Mangrove menyimpan 75% karbon dalam lantai tanahnya. Ketika peruntukan diubah fungsi jadi tambak dan perumahaan maka pohon akan ditebang, jadinya tanah akan melepaskan karbon,” katanya seraya bilang, kalau mengubah fungsi mangrove akan mengundang bencana.
*****
Foto utama: Sungai Tallo dengan mangrove yang rapat tetapi terancam beralih fungsi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia