- Taman Edelweis, dibangun sebagai fasilitas untuk budidaya edelweis, bunga abadi, flora endemik pegunungan, termasuk di Bromo-Tengger-Semeru. Budidaya perlu mengingat keberadaan bunga ini kian terancam baik untuk kebutuhan ritual keagamaan, ekonomi– dijual sebagai suvenir, atau dipetik sebagai kenang-kenangan pengunjung.
- Lokasi budidaya edelweis diresmikan pada 2017. Dengan dukungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kegiatan ini jalan di dua lokasi, Kabupaten Pasuruan dan Probolinggo.
- Edelweis banyak dikenal sebagai bunga abadi karena tak mudah rusak meski puluhan tahun disimpan. Keistimewaan ini pula yang jadikan bunga ini banyak diminati untuk koleksi.
- Teguh Wibowo, Ketua Kelompok Tani Hyang Hulun menuturkan, di fasilitas ini pengunjung tidak hanya bisa belajar bagaimana membudidayakan bunga abadi ini.
Taman Edelweis. Ia berada di ketinggian 1.900 di atas permukaan laut (mdpl), di Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Pasuruan, Jawa Timur. Satu jalur menuju Gunung Bromo.
Perlu satu jam dari Kota Pasuruan menuju lokasi ini dengan roda empat. Udara sejuk, khas alam pegunungan jadi suguhan bagi mereka yang datang. Belum lagi kabut tipis bergerak pelan di atas hamparan tanaman sayur, membuat betah berlama-lama di sana.
Taman Edelweis, dibangun sebagai fasilitas untuk budidaya edelweis, bunga abadi, flora endemik pegunungan, termasuk di Bromo-Tengger-Semeru.
Budidaya perlu mengingat keberadaan bunga ini kian terancam baik untuk kebutuhan ritual keagamaan, ekonomi– dijual sebagai suvenir, atau dipetik sebagai kenang-kenangan pengunjung.
Lokasi budidaya edelweis diresmikan pada 2017. Dengan dukungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kegiatan ini jalan di dua lokasi, Kabupaten Pasuruan dan Probolinggo.
Di Pasuruan, budidaya dengan melibatkan Hyang Hulun, kelompok tani di Desa Wonokitri, ini merupakan desa terakhir sebelum ke obyek wisata Gunung Bromo.
Di Kabupaten Probolinggo, berada di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, berbatasan langsung dengan Lautan Pasir Bromo. Masing-masing demplot memiliki luas satu hektar.
Baca: Menikmati Keindahan Bunga Edelweis dan Stroberi di Taman Nasional Kelimutu

Bunga abadi
Edelweis banyak dikenal sebagai bunga abadi karena tak mudah rusak meski puluhan tahun disimpan. Keistimewaan ini pula yang jadikan bunga ini banyak diminati untuk koleksi.
Bagi masyarakat Tengger, suku yang banyak mendiami pegunungan Bromo-Semeru, edelweis bukan sekadar bunga istimewa juga sakral.
Masyarakat Tengger menyebut sebagai bunga tana layu. Tana berasal dari kata tan, dalam bahasa Sansekerta berarti tidak. Layu berarti layu. Jadi edelweis bunga yang tak layu alias abadi. Bunga edelweis, bagi Suku Tengger juga simbol keabadian akan nilai-nilai baik.
Kepercayaan itu jadikan bunga ini selalu hadir di setiap ritual dan upacara keagamaan warga Hindu Tengger, seperti upacara Karo, Kasada, Entas-entaa dan ritual lain.
“Pasti ada. Upacara-upacara, semua penyelenggaraan ritual harus ada bunga ini,” kata Karyadi, tokoh masyarakat Tengger.
Bagi masyarakat Tengger, edelweis bukan sekadar bunga abadi dalam arti sebenarnya karena tak mudah rusak. Ia juga perlambang keabadian dalam arti yang lebih dalam (spiritual).
Berangkat dari kondisi itulah, pelestarian edelweis menjadi hal penting. Dengan melestarikan bunga ini, secara langsung melestarikan adat istiadat, nilai budaya Masyarakat Tengger, sekaligus.
Amani Budi Setyono dan Suwasono Heddy dalam Jurnal Produksi Tanaman yang publikasi Agustus 2018 menyebutkan, bagi masyarakat adat, manusia memiliki keterkaitan dengan alam dan tumbuh-tumbuhan Begitu juga dengan Komunitas Adat Tengger.
Alasan itu pula yang jadikan seluruh ritual adat Tengger, selalu menghadirkan tumbuhan sebagai unsurnya. “Tumbuhan wajib dalam upacara adat Tengger, salah satunya, bunga edelweis ini,” tulis mereka.
Mereka meyakini, tumbuhan merupakan manifestasi dari interaksi antara manusia dan lingkungan. Pun demikian dengan edelweis. Bunga ini dimaknai sebagai simbol akan keabadian. Sebuah puncak dan akhir dari kehidupan.
Baca juga: Bunga Abadi Tengger Semeru dari Desa Wisata Edelweis

Pelestarian edelweis
Upaya pelestarian edelweis sejak lama. Dalam booklet Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) 2017, usaha konservasi itu sejak 15 tahun lalu.
Menyadari ancaman kepunahan bunga ini, TNBTS mengidentifikasi jenis edelweis yang banyak tersebar di pegunungan ini. Hasilnya, ada tiga jenis edelweis bertebaran di kawasan seluas 50.200 hektar itu, yakni Anaphalis javanica, Anaphalis longofolia, dan Anaphalis viscida.
Dari sana, TNBTS mencoba membuat demplot persemaian di Resort Lautan Pasir. Usaha itu terbukti tak mudah. Perlu sekitar 7-8 tahun sebelum berhasil pada 2014. Kini, lokasi yang berdampingan dengan Lautan Pasir itu sekaligus menjadi unit percontohan budiaya Taman Edelweis TNBTS.
Setahun kemudian, TNBTS mencoba budidaya edelweiss ek-situ (di luar TNBTS). Kala itu, di enam sekolah dasar (SD) dan satu SMP di Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo itu dipailih sebagai lokasi dan berhasil.
KLHK merespon inisiatif ini. Pada 2016, Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, melihat langsung demplot persemaian edelweis di SD 1 Ngadisari dan meresmikannya.
Desa Wisata Edelweis
Inisiatif memperluas jangkauan konservasi edelweis yang digagas sejak 2006 terus menunjukkan keberhasilan. Pada 2017, bersama KLHK, TNBTS meluncurkan program Desa Edelweis.
Program ini sebagai bentuk kolaborasi dan sinergi antara TNBTS dan masyarakat setempat. Bukan hanya dalam konteks pelestarian edelweis juga budaya dan ekonomi.
Program ini dikemas dalam bentuk pemberdayaan masyarakat di desa penyangga, yakni, Desa Ngadisari di Kabupaten Probolinggo, yang melibatkan Kelompok Tani Kembang Tana Layu dan Desa Wonokitri di Kabupaten Pasuruan dengan Kelompok Tani Hyang Hulun.

Teguh Wibowo, Ketua Kelompok Tani Hyang Hulun menuturkan, di fasilitas ini pengunjung tidak hanya bisa belajar bagaimana membudidayakan bunga abadi ini. “Juga disediakan suvenir bagi yang ingin memiliki bunga ini,” katanya.
Kala Mongabay berkunjung ke Desa Edelweis di Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, deretan edelweis tumbuh subur di sudut-sudut permukiman dan pinggir jalan.
Bagi Teguh, edelweis sejatinya tidak mengenal musim. Gradasi suhu di Bromo belakangan membuat bunga ini lebih masif berkembang antara Mei hingga September. Meski di luar bulan-bulan itu edelweis masih dapat dijumpai.
Bukan hanya di pekarangan dan pinggir-pinggir jalan. Pengunjung bisa datang ke Taman Edelweis di ujung perkampungan. Atau kalau dari kantor kecamatan, sekitar setengah jam perjalanan.
Di lokasi ini, pengunjung disuguhi edelweis menghampar di lahan seluas 1.196 meter persegi. Ada cafe dengan konsep terbuka akan membuat pengunjung betah berlama-lama.
Tentu, pengunjung yang gemar berswafoto pun tak perlu khawatir. Lokasi ini juga memiliki banyak sudut bisa jadi tempat swafoto foto.
Bagi Teguh, Taman Edelweis– bagian dari program Desa edelweiss—ini memberi banyak keuntungan. “Yang paling penting, bunga abadi ini bebas dari ancaman kepunahan. Itu tujuan awalnya.”
Keperluan ritual bisa terpenuhi dari taman ini. Secara ekonomi, program ini juga banyak membantu ekonomi warga. Taman Edelweis kini bukan hanya sebagai tempat budidaya. Juga tempat kunjungan wisatawan.
Teguh mengatakan, di tempat ini, para pengunjung bisa belajar banyak hal mulai teknik budidaya hingga merangkai edelweis jadi buket menarik.
“Tentu, sebelum memetik, pengunjung harus menanam terlebih dahulu bibit edelweis yang disediakan pengelola,” katanya.
Atraksi tanam dan merangkai edelweis ini cukup banyak digemari pengunjung. Wisatawan ingin merasakan sensasi menanam dan merangkai bunga abadi ini termasuk sesaji dalam adat Tengger yang menggunakan edelweis.
****
Foto utama: Bunga Edelweis yang sudah di bentuk menjadi aneka macam bentuk souvenir. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia