- Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) merupakan kerja-kerja penanggulangan bencana yang dimulai dari tingkatan keluarga untuk melindungi asetnya.
- Beberapa aspek yang diperlukan untuk menunjang konsep PRBBK di antaranya, pengetahuan tentang sejarah bencana, kondisi lingkungan, analisa perubahan iklim dan kemampuan adaptasi masyarakat.
- Salah satu kisah sukses PRBBK adalah pengalaman warga di sekitar Gunung Lokon dan Gunung Soputan, Sulawesi Utara. Mereka menanam pohon aren yang disebut tahan pada abu vulkanik. Sehingga, ketika terjadi peristiwa gunung meletus, pendapatan ekonomi mereka masih terjaga.
- Gagasan tadi tertuang dalam diskusi bertajuk “Refleksi Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas di Sulawesi Utara dan Gorontalo”. Diskusi itu diselenggarakan oleh Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI), lembaga yang menghimpun pegiat dan peneliti kebencanaan.
Sebagai wilayah yang terletak di lingkar cincin api, kemampuan masyarakat Indonesiaa dalam mengantisipasi dan menanggulangi risiko bencana sangat diperlukan. Salah satu konsep yang bisa diterapkan adalah Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK).
Penilaian tersebut tersaji dalam diskusi “Refleksi Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas di Sulawesi Utara dan Gorontalo”, Selasa (14/9/2021). Penyelenggaranya adalah Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI), suatu lembaga yang menghimpun pegiat dan peneliti kebencanaan.
Dalam diskusi terungkap kondisi geologis Sulawesi Utara dan Gorontalo yang memiliki beberapa gunung api aktif, wilayah gempa intensitas tinggi, serta sejumlah titik banjir dan tanah longsor. Selain itu disampaikan pula aksi mitigasi dan penanggulangan bencana di beberapa wilayah.
Eko Teguh Paripurno, Peneliti Pusat Studi dan Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta mengatakan, PRBBK merupakan kerja-kerja penanggulangan bencana yang dimulai dari tingkatan keluarga untuk melindungi asetnya.
Menurutnya, pengalaman masyarakat di sekitar Gunung Lokon dan Soputan, Sulawesi Utara, dapat menjadi pelajaran penting bagi praktik PRBBK. Di kedua lokasi itu, selain menamam produk musiman, warga juga memanfaatkan tanaman aren yang disebut tahan pada abu vulkanik. Sehingga, ketika terjadi fenomena letusan gunung, keberlanjutan ekonomi masyarakat setempat masih terjaga.
“Kalau bicara PRBBK itu bermula dari produk komunitas, yang bergeser ke arah penguatan mandat. Kadang tanpa sadar kita menggeser praktik-praktik yang genuin ada di komunitas. Menariknya lagi, pengelolaan risiko bencana itu berpotensi risiko, hilangnya aset karena bencana, dan memastikan bahwa kita harus hadir dalam sebuah sistem pengelolaan risiko,” ujar Eko.
baca : Mitigasi Berbasis Vegetasi untuk Redam Tsunami
Samuel Angkouw, pegiat dari Yayasan Bumi Tangguh menambahkan, pengetahuan terkait sejarah bencana di lokasi rentan maupun terdampak menjadi bekal untuk penyusunan rencana kerja, koordinasi lintas sektor dan pelatihan siaga bencana berbasis masyarakat.
“Kami juga introduksi analisa perubahan iklim dan adaptasi masyarakat. Sedangkan, penguatan kapasitas bisa dilakukan untuk manusia maupun alam di sekitar, sesuai analisa yang digali bersama,” terang Samuel.
Djufry Hard, pegiat lingkungan dari Perkumpulan Jaringan Pengelola Sumber Daya Alam (Japesda) Gorontalo menjelaskan, upaya penguatan kapasitas dan kampanye kebencanaan dilakukan dengan melibatkan diri dalam pembentukan Posko Organisasi Masyarakat Sipil.
Melalui posko itu, pegiat dan relawan bencana di Gorontalo mendistribusikan sekitar 12ribu masker, 6ribu paket bantuan pangan untuk keluarga terdampak pandemi, serta melakukan penyemprotan di 1500 rumah dan rumah ibadah.
“Menariknya, di masa pandemi, ketika kami merespon kejadian di Bone Bolango, semua relawan harus bersepakat dengan protokol. Harus menggunakan masker dan sarung tangan, pakaian disortir dan dicuci terlebih dahulu, sehingga warga menerima dalam keadaan bersih,” masih diterangkan Djufry.
Dalam catatannya, di Provinsi Gorontalo sepanjang 2020 terjadi 10 kali banjir, 2 kali banjir bandang dan 2 kali longsor. Tapi, wilayah yang menjadi konsentrasi adalah kota Gorontalo yang dilintasi Sungai Bone dan Sungai Bolango.
“Saat ini sedang dirampungkan Rencangan Peraturan Presiden (Ranperpres) tentang Penanggulangan Banjir di Provinsi Gorontalo. Ini menarik untuk melihat posisi Gorontalo, sebab wilayah lain yang frekuensinya cukup tinggi, tidak ada Ranperpres. Yang ada hanya semacam surat keputusan gugus tugas atau tim kerja penanggulangan banjir,” jelas Djufry.
perlu dibaca : Sebulan Dua Kali Banjir, Pengelolaan Lingkungan Gorontalo Salah Arah?
Tantangan PRBBK
Berdasarkan pengalaman penanggulangan bencana, konsep dan praktik PRBBK tidak lepas dari sejumlah tantangan. Misalnya pengetahuan lokal terkait narasi sejarah kebencanaan hingga ketimpangan dalam aspek gender pada program-program penanggulangan bencana.
Rignolda Djamaluddin, Direktur Perkumpulan Kelompok Pengelola Sumber Daya Alam (Kelola) menilai, terdapat sejumlah tantangan yang harus dipecahkan khususnya terkait pelibatan komunitas dalam upaya penanggulangan bencana. Misalnya, putusnya narasi kultural-historis terkait bencana di suatu wilayah. Serta, fenomena perubahan iklim yang turut mendistorsi pengetahuan lokal.
“Community based, kita bisa menggunakan kearifan lokal. Tetapi ada peristiwa yang tidak terjangkau, misalnya kalau mereka pakai pendekatan cuaca itu bisa meleset,” terangnya. “Karena itu, kita tidak bisa beromantika pada sesuatu yang memang harus kita ubah. Masyarakat harus adaptif, pendekatannya juga harus adaptif,” jelasnya.
Maka, selain adaptasi nilai-nilai tradisional, Rignolda memandang pentingnya pengembangan dan integrasi kajian-kajian akademik terkait kebencanaan di Sulawesi Utara, salah satunya dengan membangun pusat studi bencana. Sedangkan dalam advokasi kebijakan, dibutuhkan komitmen untuk melindungi dan memulihkan lingkungan hidup.
Sedangkan Mun Djenaan, Program Manajer Swara Parangpuang mengatakan, pelibatan perempuan dan kelompok rentan merupakan aspek yang tidak boleh dipisahkan dalam PRBBK. Penilaian itu berdasarkan data bahwa perempuan berisiko 14 kali lebih tinggi menjadi korban bencana. Sebabnya, program penyelamatan dan sosialisasi yang belum memperioritaskan perempuan.
Pada saat penyelamatan, perempuan memiliki beban ganda. Di samping sebagai korban, mereka juga harus bertanggungjawab pada logistik. Ditambah lagi, seringkali perempuan memilih untuk menyelamatkan keluarga terlebih dahulu, sehingga mengabaikan keselamatan diri sendiri.
“Dampak lain dari kerentanan bencana tadi adalah minimnya akses bantuan pada kelompok perempuan dan kaum rentan. Kemampuan memulihkan trauma juga lebih sulit,” ujar Mun Djenaan.
baca juga : Para Perempuan Penjaga Kinipan
Diskusi bertajuk “Refleksi Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas di Sulawesi Utara dan Gorontalo”, merupakan rangkaian kegiatan dari Konferensi Nasional Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (KN PRBBK) XIV.
Fredy Chandra, Wakil Ketua Panitia KN PRBBK XIV menjelaskan, konferensi itu merupakan kegiatan tahunan bagi semua komunitas untuk bertukar pikiran dan memperkuat jejaring, bahkan mengeluarkan inovasi untuk perbaikan PRBBK. Tujuannya, mendokumentasikan pembelajaran, praktik baik maupun tantangan dari Aceh sampai Papua dan memperkuat jejaring.
“Penguatan itu didukung kerja-kerja advokasi dan rekomendasi, contohnya tata kelola yang berkelanjutan. Pasca konferensi nanti ada tugas besar yaitu mengadvokasi tata kelola yang lebih baik dalam praktik-praktik PRBBK,” pungkas Fredy.
***