- Perdagangan monyet ekor panjang kembali diprotes organisasi pecinta satwa di Bali.
- JAAN meminta pemerintah daerah dan lembaga karantina menindak dan menyita monyet yang diperdagangkan.
- Walau bukan kategori satwa dilindungi, satwa liar dinilai tak layak dipelihara dan diperlakukan tanpa memperhatikan kesejahteraan hewan.
- BKSDA Bali menilai sulit menindak dan biaya razia tidak efisien, dibandingkan nilai konservasi dan biaya operasional dan perawatan apabila disita.
Pasar Burung Satria di Kota Denpasar, Bali, pada Sabtu (02/10/2021) pagi cukup lengang. Walau namanya pasar burung, tapi ada satwa lain yang diperdagangkan. Termasuk satwa liar jenis monyet ekor panjang.
Sedikitnya ada 3 kios yang memajang kandang monyet yang dominan berusia kecil atau remaja. Kaki atau lehernya diikat di kandang. Kandangnya berdampingan dengan satwa lain seperti kucing, burung, dan lainnya.
Monyet berbulu abu-abu atau Macaca fascicularis ini adalah pembawa kesejahteraan di sejumlah desa yang mengelola objek wisata hutan monyet di Bali. Misalnya Pura Uluwatu dan Monkey Forest Ubud. Para monyet berkumpul di sebuah hutan kecil dan pura ini jadi salah satu atraksi. Pengelola objek wisata memberikan makan tiap hari dan menyediakan pemandu untuk berjaga-jaga. Tak sedikit model-model foto selfie bersama monyet yang dipromosikan di objek wisata tersebut.
Para monyet di Monkey Forest kini dengan mudah ditemui di pinggir jalan, rumah, toko suvenir, sampai masuk hotel. Lebih satu tahun hutan di Desa Padangtegal, Ubud ini tak dikunjungi turis. Ketika melewati jalan raya depan Monkey Forest pada Agustus lalu, seekor monyet besar dengan sigap menaiki pundak.
Dengan cekatan ia merogoh kantung tas yang tidak terkunci, dan segera lari menjauh membawa hand sanitizer dan minyak kayu putih dalam kantung tas. Tingkah polah yang bisa bikin gugup tapi menandakan kecerdasannya karena sangat cepat mengidentifikasi peluang. Ia tak menyentuh badan, hanya mengambil sesuatu yang dipantaunya.
baca : Terlarang, Mengapa Topeng Monyet Masih Beraksi di Jawa Timur?
Di sisi lain, monyet ekor panjang ini juga bisa dianggap hama bagi sejumlah area pertanian dan perkebunan. Warga berusaha mengusir gerombolan yang makan tanaman pangan seperti jagung dan buah. Misalnya di beberapa area Kabupaten Karangasem dan Pulau Nusa Penida. Biasanya warga hanya mengusir tidak membunuh.
Habitat monyet lainnya tersebar di bebukitan dekat Danau Buyan, Bedugul ke arah Singaraja. Para monyet mudah ditemui di pinggir jalan raya jalur wisata ramai ini. Tak sedikit warga memberikan makan seperti buah sampai minuman bersoda. Apalagi para monyet juga berkeliaran di sekitar dagang-dagang di pinggir jalan, lokasi makan dan istirahat para pengendara.
Jakarta Animal Aid Network (JAAN) kembali membuat siaran pers mengecam penjualan monyet ekor panjang di Pasar Burung Satria, Denpasar, 24 September lalu. Monyet ekor panjang dinilai spesies primata yang sangat sosial, hidup berkelompok dan cerdas. “Mereka tidak layak untuk dipelihara sebagai hewan peliharaan,” sebut Femke den Haas, Pendiri, JAAN Divisi Satwa Liar.
Menurutnya monyet yang dipelihara dapat meningkatkan risiko penularan penyakit dari hewan ke manusia maupun sebaliknya (zoonosis), misal penyakit TBC, rabies dan virus lainnya. Seperti dugaan kemunculan virus SarsCov-2 atau COVID-19 yang kini merebak di seluruh dunia dari pasar hewan hidup di Wuhan, Tiongkok pada 2019 lalu.
Kondisi hewan yang stres dan trauma juga disebut dapat mengakibatkan serangan gigitan terhadap manusia. Praktik perdagangan monyet ekor panjang ini menurutnya melanggar prinsip-prinsip kesejahteraan hewan.
Monyet ekor panjang di Indonesia masih belum mendapatkan perlindungan. Namun, daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN) menyebut status spesies Macaca di alam dinaikan menjadi tingkat “Rentan”.
baca juga : Ramai-ramai Desak Setop Perdagangan Monyet
Dari penelusuran JAAN, salah satu pedagang menyebut membeli monyet dari Sumatera. Di sisi lain, memasukan hewan penular rabies (HPR) ke dalam Pulau Bali dilarang, mengacu pada Keputusan Menteri Pertanian RI No.1696/2008 tentang larangan memasukan anjing, kucing, kera dan sebangsanya ke Provinsi Bali.
Selain itu JAAN menilai penjualan hewan primata di pasar burung berpotensi besar melanggar KUHP Pasal 302 tentang penyiksaan hewan, UU No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan PP No.95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veterniner dan Kesejahteraan Hewan. Kemudian cara memperoleh dan mengangkut monyet-monyet ini juga melanggar Peraturan Menteri Kehutanan No. P-63/Menhut-II/2013, tentang tata cara pengambilan spesimen tumbuhan dan satwa liar.
Femke menyatakan membeli monyet dari pedagang di pasar hanya akan melanggengkan perdagangan satwa liar. Terlebih menjadikan monyet sebagai konten media sosial, karena merebaknya para influencer melakukan hal tersebut juga memicu tingginya pembelian bayi-bayi monyet ini.
“Monyet ekor panjang hidup dalam kelompok dan keluarga yang solid. Untuk bisa mendapatkan anak atau bayi monyet biasanya para pemburu akan membunuh induknya,” demikian pernyataan sikap ini.
Lokasi penampungan monyet sitaan pun makin penuh. Di fasilitas rehabilitasi satwa JAAN di Sumatera, baru-baru ini ada sekitar 36 ekor bayi monyet yang disita pihak berwenang. Semuanya diselamatkan dalam perjalanan menuju Pulau Jawa dan Bali.
JAAN berharap pemerintah Bali melalu Dinas Peternakan, Pemerintah Kota Denpasar dan Balai Karantina Denpasar dapat menghentikan perdagangan monyet ekor panjang di pasar burung.
menarik dibaca : Ada Monyet Kegemukan Di Bali
Merespon hal ini, Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Bali membuat rilis. R. Agus Santoso, Kepala BKSDA Bali menyatakan species kera ini populasinya relatif melimpah karena termasuk mamalia yang sangat mudah survive. Mudah menyesuaikan diri di lingkungan manusia, makan apa pun yang dimakan manusia, produktif berkembang biak seperti manusia, tidak ada saingan dengan spesies jenis kera lain, dan tidak ada hewan pemangsanya.
Menurutnya bayi kera abu-abu ini mungkin lebih aman dan sejahtera dipelihara manusia daripada kekurangan pakan dan dibunuh sesama kera di alam liar. Ia meyakini sangat jarang ditemukam penyiksaan terhadap satwa kera jenis ini di Bali karena banyak yang percaya bahwa kera ini adalah titisan/keturunan Dewa Hanoman yang patut dihormati.
Satwa ini tidak dilindungi Undang-undang dan cenderung jadi hama apabila populasinya tidak terkontrol. Ia mengatakan UU KSDAE tidak bisa diterapkan untuk menghukum pelaku perdagangan satwa ini. Pelaku perdagangan satwa kera ini hanya bisa dikenakan pasal penyiksaan hewan sesuai pasal KUHP. “Itu pun kalau jelas terbukti disiksa dan delik penyiksaannya terpenuhi. Untuk perdagangan bayi kera jenis ini, BKSDA sulit memantau karena ukuran satwa kecil, jinak, dan mudah disembunyikan,” sebutnya.
Ia mengakui penyayang hewan memang terlihat kasihan dengan nasib bayi-bayi kera ini. Namun menurut aturan pelaku perdagangan satwa kera ini tidak bisa dikenai hukuman berat karena satwa tidak dilindungi UU.
“Razia satwa kera jenis ini tidak efisien, tidak sebanding antara nilai konservasi dan bobot kesalahan dibanding dengan biaya operasional dan biaya perawatan apabila satwa disita,” tukasnya.
Peredarannya bisa diatur dengan Perda, masuk kategori tindak pidana ringan dan sanksinya lebih condong sanksi administrasi.
baca juga : Video: Monyet yang Ditanam Chip Buatan Elon Musk Bisa Bermain Game Komputer. Apa Kata Pecinta Satwa?
Iwan Kurniawan dari Javan Langur Project-The Aspinall Foundation Indonesia Program yang diwawancara Mongabay, 3 Oktober 2022, mengatakan persoalan ini dilematis. Ada yang berusaha memperjuangkan satwa bebas, terkait kesejahteraan satwa. Di sisi lain Macaca mudah berkembang biak dalam kondisi apapun, termasuk hewan adaptif.
Karena termasuk primata mirip manusia, bisa jadi ada jenis penyakit parasit, bakteri, virus menularkan ke manusia dan sebaliknya dari manusia ke monyet ketika berinteraksi. Namun, habitatnya seperti hutan terus berkurang.
Pengalamannya menangani Lutung Jawa, jika ada konflik dengan masyarakat berusaha diminimalisir. Ia mencontohkan suaka margasatwa Pulau Nusa Barong, Jember, Jawa Timur yang menampung macaca dan perkembangbiakannya dikendalikan dengan sterilisasi. Kontrol ini menurutnya bisa jadi solusi, selain seleksi alam.
“Daripada melukai, membunuh, bisa diimbangi dengan tempat suaka. Terutama macaca yang keluar dari habitatnya. Kalau di habitatnya kan ada seleksi alam,” urai Iwan.
Ia menambahkan, jika memungkinkan pemerintah bisa mengalokasikan tempat terisolir atau pulau untuk suaka monyet ini. Karena daya dukung Suaka margasatwa Pulau Nusa Barong terbatas dan punya ekosistem asli sendiri yang punya ambang batas untuk ‘menerima’ introduksi satwa lain.
***
Keterangan foto utama : Ilustrasi. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) berpose dibalik jeruji besi saat dijual di pasar splendid, Kota Malang, Jatim. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia