- Puluhan dokter hewan yang tergabung dalam Indonesia Aquatic Megafauna (IAM) Flying Vet membuat unit rehabilitasi satwa laut Sealife Rehabilitation Unit (SRU) di Bali.
- Mereka juga merilis buku-buku panduan penanganan satwa laut seperti penyu dan mamalia meliputi anatomi, diagnosis penyakit, panduan nekropsi, dan rehabilitasi.
- Buku-buku ini dinilai langka karena para mahasiswa kedokteran hewan tidak diajari spesifik soal megafauna akuatik.
- Indonesia masih mengalami banyak hambatan menangani megafauna terdampar terkait fasilitas dan kemampuan penanganan medis.
Puluhan dokter hewan membuat sepuluh seri buku panduan penanganan satwa laut dilindungi dan sebuah fasilitas Sealife Rehabilitation Unit (SRU) di Bali. Buku-buku panduan ini dinilai langka karena tidak jadi bahan ajar kuliah, seperti anatomi fisiologi penyu, mamalia, teknik diagnosis laboratorium, pengambilan sampel, pedoman nekropsi, mengenal penyakit dan perawatannya, serta pedoman rehabilitasi bayi Dugong (duyung).
Sementara itu SRU merupakan sebuah akuarium rehabilitasi yang dapat digunakan para dokter hewan untuk melakukan perawatan dan mengamati kondisi kesehatan satwa sebelum dilepaskan kembali ke laut. Lokasi SRU ini di areal klinik Kedonganan Veterinary, Badung, Bali, sehingga dekat dengan para dokter hewan yang berpraktik. Ini juga alasan kenapa SRU dibuat, untuk memudahkan pemantauan kasus-kasus penanganan satwa yang harus diawasi intensif.
Dalam tayangan launching fasilitas ini dan diskusi pada Selasa (21/12/2021), nampak sebuah akuarium kaca berisi beberapa penyu yang sedang dirawat. Mereka dipindahkan dari Turtle Conservation and Education Center (TCEC) di Serangan, Denpasar, yang biasanya menjadi lokasi titipan penyu-penyu hasil penyitaan atau terdampar dan sedang dalam tahap rehabilitasi.
Ida Ayu Dian Kusuma Dewi, Koordinator IAM Flying Vet, bilang SRU ini bagian dari mimpi untuk memudahkan dokter hewan memantau satwa terdampar yang sedang perawatan medis.
“(Satwa terdampar) biasanya dititip ke TCEC, namun dokter jaga tidak bisa mengawasi secara intensif. Sekarang memudahkan karena bekerja di klinik Kedonganan Vet dan sekitarnya,” sebutnya. Juga memudahkan satwa dilakukan rontgen, tes darah, dan lainnya untuk menunjang rehabilitasi dan peluang hidup lebih tinggi. Akuarium itu bisa menampung satwa kecil sampai sedang.
baca : Mencari Strategi Tepat untuk Pengelolaan Satwa Laut Terdampar
Dian mengakui bidang megafauna akuatik belum populer sehingga tak banyak kolaborator. Sampai akhirnya mulai ada kolaborasi dokter hewan yang berkomitmen menangani satwa laut terdampar dengan terbentuknya Indonesia Aquatic Megafauna (IAM) Flying Vet. Sebuah koalisi dokter hewan penanganan satwa laut terdampar.
Tim ini diharapkan bisa mengidentifikasi kenapa satwa laut itu terdampar atau mati, karena peristiwa penanganan terdampar tak selalu melibatkan dokter hewan untuk menelitinya. Juga kurangnya kompetensi medis dalam penanganannya.
Asosiasi dan gerakan dokter hewan yang akan “terbang” ke lokasi untuk penanganan satwa laut terdampar ini disepakati usai seminar dan pelatihan dokter hewan dalam penanganan medik kejadian mamalia terdampar di Indonesia, 30 April-3 Mei 2018 di Denpasar.
Acara itu diikuti sekitar 19 orang dokter hewan dari sejumlah daerah dengan kasus-kasus terdampar seperti Kupang-NTT, Bali, Sorong-Papua, Pontianak-Kalimantan, Aceh, dan lainnya.
IAM Flying Vet dan SRU ini juga didukung sejumlah pihak seperti Yayasan WWF Indonesia, Persatuan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), dan dukungan legalitas dari pemerintah.
“Semoga makin banyak yang tertarik bekerjasama dan berkembang lebih besar,” harap Dian terkait peminatan di megafauna akuatik ini.
perlu dibaca : Terbentuk Asosiasi Dokter Hewan ‘Terbang’ untuk Penanganan Satwa Laut Terdampar. Apa Perlunya?
Sedangkan Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Andi Rusandi yang hadir secara online mengatakan pihaknya sebelumnya sudah ada perjanjian kerjasama dengan IAM Flying Vet, kelompok dokter hewan yang berkomitmen dalam penanganan hewan laut terdampar yang berjumlah sekitar 60 orang dari seluruh Indonesia.
Ia berharap bisa bertambah dan tersebar di 34 provinsi berjejaring dengan fakultas kedokteran hewan. Terutama daerah dengan kasus satwa terdampar seperti Sulawesi, Sumatera, dan Papua. “Tantangannya fasilitas penanganan masih kurang,” ujarnya. Di sisi lain ada 308 spesies terancam punah termasuk sejumlah mamalia dan megafauna.
Andi berharap SRU ini mampu menunjukkan kemampuannya menyelamatkan satwa dilindungi. Misalnya saat ini sudah dapat kasus penanganan Penyu Hijau yang siripnya putus, lalu diamputasi, dan dibuatkan flip palsu.
Sementara Pengurus Besar Persatuan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), Munawaroh mengakui, mahasiswa kedokteran hewan saat kuliah tidak diajari penyakit mamalia laut padahal Indonesia lebih dominan laut. “Syukurnya sejumlah dokter hewan mampu belajar mandiri dan tertarik menangani mamalia laut. Flying Vet termasuk organisasi non teritorial (ONT) di bawah naungan PDHI, saat ini jumlahnya 20 organisasi sesuai peminatan,” urainya.
Ia berharap muncul lagi SRU lain di daerah-daerah dengan kasus megafauna akuatik terdampar. Karena satwa laut ini mengalami ancaman kepunahan. Misalnya penyu perlu dilestarikan, tapi masih ada yang konsumsi.
baca juga : Hiu Mulut Besar yang Paling Langka Mati Terdampar di Adonara dan Dikonsumsi Warga
Buku Penanganan Satwa Laut
Dalam acara ini juga diluncurkan 10 buku panduan untuk spesies penyu dan mamalia laut. Buku panduan seperti ini diakui jarang ada, karena tidak spesifik ke spesies tertentu. Munawaroh mengapresiasi para dokter hewan dengan keterbatasan literatur masih bisa mempelajari dan membuat buku panduan anatomi penyu dan mamalia laut, teknik nekropsi, rehabilitasi bayi dugong dan teknik nekropsi.
PDHI mendorong program satu buku satu dokter hewan, misal ada 20 ribu dokter hewan, akan ada 20 ribu buku. “Buku-buku ini langka karena belum ada referensi untuk penanganan penyu dan mamalia laut. Semoga bisa didistribusikan ke kampus dan toko buku,” harapnya.
Pada kesempatan yang sama, I Wayan Yustisia Semariana, anggota IAM Flying Vet dan dokter di Kedonganan Veteriner menyebut sejak 2018, ada 385 kasus yang ditangani Flying Vet, dengan dominan penyu. Lainnya adalah lumba-lumba, dugong, dan paus. Dari jumlah itu, masih 30% kasus yang belum selesai ditangani. Sekitar 120-an satwa terdampar mati, sisanya hidup. Dari yang ditemukan hidup, sekitar 93% bisa diselamatkan.
SRU ini dinilai jadi salah satu solusi meningkatkan peluang penyelamatan satwa karena sejumlah kendala selama ini. Di antaranya terlalu banyak kasus dan pendekatan medis belum jadi prioritas. “Kami kan awalnya fokus ke hewan komersial. Lalu menangani nonkomersial, kesulitan obat, dan fasilitas penanganan tindakan. Fasilitas untuk satwa darat seperti kucing, anjing, tidak bisa diaplikasikan,” tuturnya.
Selain itu ada risiko saat penanganan karena aspek legal dan kesehatan hewan. Unit rehabilitasi ini menurutnya bisa membantu karena beberapa kasus perlu penanganan intensif, dan dokter jaga tidak bisa ke lokasi penitipan sementara setiap saat.
Syarat satwa yang bisa ditangani adalah sesuai dengan besar kolam dan satwa dengan trauma tanpa penyakit menular. Jika menular, harus menggunakan kolam disposal, sekali pakai. Karena ukurna kolam tak terlalu besar, saat ini bisa merawat bayi dugong, bayi lumba-lumba, dan penyu.
baca juga : Benarkah Badai Matahari Menyebabkan Satwa Laut Terdampar?
Sedangkan Kepala Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar Permana Yudiarso menyebut dari sisi regulasi pemerintah, perlindungan dan penyelamatan satwa laut dilindungi ini sudah cukup banyak. Sudah ada UU dan turunannya dari sisi konservasi, perikanan, dan kesehatan. Untuk meningkatkan respon cepat dan penanganan, pelaporan melalui kontak darurat. Informasi juga kerap didapatkan dari grup chat jejaring, lalu mengirim perespon pertama.
Imam Musthofa dari Yayasan WWF Indonesia menyebut megafauna akuatik adalah spesies kunci penyeimbang ekosistem, kalau hilang maka ekosistem laut bisa terganggu termasuk berdampak pada perikanan. Karena itu, dalam upaya perlindungan satwa laut megafauna ini tak hanya menyelamatkan ekosistem, juga mengurangi perdagangan ilegal, dan meningkatkan kemampuan bertahan hidup jika tertangkap seperti tangkapan sampingan. Ia berharap keberadaan unit rehabilitasi makin banyak dan didukung sumberdaya mumpuni.
Indonesia dengan dengan 17-an ribu pulau, perlu jaringan sukarelawan luas dalam penyelamatan satwa terdmpar. “Megafauna aalah top predator yang sangat sulit berkembang biak. Anaknya sedikit, 1-2 ekor. Kondisinya rentan jika populasi tertekan,” ujarnya.
Sedangkan Made Sukanta, pengelola TCEC membagi pengalamannya dalam upaya konservasi dan kaitannya dengan kebutuhan adat karena Bali masih menggunakan penyu sebagai sarana upacara agama. Sebagai solusi mengurangi eksploitasi dan perdagangan penyu, TCEC menyediakan penyu untuk sarana upacara. Sebelumnya, penyu diambil di alam, sedangkan di TCEC disiapkan penyu yang dibesarkan. “Misal dari 100 ekor menetas, 10 dibesarkan,” katanya. Setelah dapat rekomendasi dari organisasi payung umat Hindu, PHDI, baru desa mengajukan permintaan misalnya 1-2 ekor, dengan ukuran 5-15 cm.
Ia mengingat masa lalu, saat kecil, biasa melihat pedagang penyu depan rumahnya di Pulau Serangan. Pulau yang kini sudah direklamasi ini adalah kawasan perdagangan penyu terbesar di Bali. “Satu kapal bisa menangkap puluhan ekor,” ingat Sukanta.