- Jenis burung kangkong [cuckoo], cikrak [flycatcher/warbler], anis [thrush], emberesia [bunting], dan beberapa jenis burung laut lainnya, merupakan jenis yang melakukan perjalanan migrasi malam hari
- Burung yang bermigrasi pada malam hari menggunakan kelompok bintang atau rasi bintang sebagai navigasi/arah.
- Cahaya buatan yang terpancar di tengah kota dari gedung, dapat berakibat fatal untuk burung bermigrasi dikarenakan burung menganggap cahaya tersebut sebagai petunjuk arah.
- Sosialisasi tentang burung bermigrasi di perkotaan kepada pemerintah, perencana dan perancang kota, arsitek, ahli buka bangunan, serta masyarakat perlu dilakukan untuk mengurangi kematian burung saat bermigrasi pada malam hari.
Banyak jenis burung yang melakukan perjalanan migrasi malam hari, seperti jenis kangkong [cuckoo], cikrak [flycatcher/warbler], anis [thrush], emberesia [bunting], dan beberapa jenis burung laut.
Tentu saja, migrasi yang dilakukan malam hari ini ada keuntungannya. Predator seperti elang tidak ada, karena kebanyakan elang bersifat diurnal atau aktif siang hari. Udara juga lebih sejuk, energi panas yang dihasilkan selama terbang dapat cepat terlepas karena suhu lebih dingin.
Namun, kelemahannya adalah navigasi yang digunakan tidak bervariasi dibandingkan migrasi siang hari, seperti adanya tanda alam berupa gunung, sungai, bukit, garis pantai, serta arah matahari. Burung yang melakukan migrasi malam hari terbatas pada ribuan bintang dan kelompok bintang atau rasi bintang sebagai panduannya.
Baca: Burung Laut Ternyata Punya Jalur Migrasi
Bagaimana burung bisa melihat kelompok bintang saat bermigrasi?
Peneliti burung dari Universitas Cornell, Stephan Emlin, melakukan percobaan tahun 1967 pada 15 jenis pipit Indigo Bunting [Passerina cyanea] yang berbiak di Amerika bagian utara dan saat bermigrasi bisa terbang hingga 3.200 kilometer ke Bahama, Mexico Selatan dan Panama.
Emlin menempatkan burung muda dalam suatu sangkar khusus berbentuk kerucut dengan bagian bawah diberikan bantalan berisi tinta. Kerucut tersebut terbuat dari kertas dengan bagian lebar di bagian atas yang ditutupi kawat.
Sangkar itu terdiri satu individu yang ditempatkan pada planetarium dengan memperlihatkan rasi bintang cassiopeia yang menunjukkan arah utara. Sangkar burung dewasa lain menunjukkan arah selatan.
Hasil bantalan tinta menunjukkan, pada burung muda saat malam tiba, mereka tetap ke arah utara. Saat diubah menjadi rasi bintang arah selatan, hasil bantalan tinta juga menunjukkan arah selatan. Ini menggambarkan, burung menggunakan rasi bintang atau kumpulan bintang sebagai jalur navigasi mereka.
Bagaimana bila ribuan bintang tidak bisa dilihat burung saat bermigrasi? Polusi asap hingga cahaya buatan yang berada di kota tentunya mengalahkan terangnya sinar bintang.
Saat bintang tidak terlihat karena digantikan cahaya buatan, burung akan mendatangi cahaya tersebut sebagai panduan terbang. Dampaknya, burung akan mengikuti petunjuk yang salah dan lebih fatal sumber cayahaya itu akan ditabrak. Keadaan ini disebut polusi cahaya.
Hasil rapat Conference of the Parties ke-13 Convention on Migratory Species tahun 2020 mengungkapkan, hingga kini cahaya buatan meningkat secara global sekitar dua persen per tahun.
Baca: Menghitung Burung Pemangsa Migrasi, Bagaimana Caranya?
Polusi cahaya
Dari hasil pencarian e.bird jenis burung bermigrasi yang ditemui di tengah kota Jakarta adalah cikrak kutub [Phylloscopus borealis] dan sikatan bubik [Muscicapa dauurica] di Taman Margasatwa Ragunan, Hutan Kota Monas, Hutan Lindung Angke Kapuk, higga Kawasan Ekowisata Mangrove Pantai Indah Kapuk pada 2016 hingga 2019.
Sikep-madu Asia atau elang-alap nipon juga masih sering terpantau melintas di Taman Margasatwa Ragunan, Hutan Kota Monas, dan Hutan Kota Universitas Indonesia.
Sementara, jenis yang terpantau pada 2020 adalah cerek asia [Charadrius veredus], cerek kernyut [Pluvialis fulva], kedidi-leher merah [Calidri ruficolis], kedidi golgol [Calidri ferruginea], trinil bedaran [Xenus cinereus], dan kicuit kerbau [Motacilla flava] yang memanfaatkan Waduk Pluit di Penjaringan, Jakarta Utara, sedang mencari makan dan beristirahat.
Menurut Dewi Malia Prawiradilaga, peneliti senior ornitologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional [BRIN], hutan kota sangat berperan sebagai tempat bertengger, berteduh, dan penyedia pakan untuk burung yang bermigrasi.
“Bila ditemukan jenis burung bermigrasi di tengah kota, ada kemungkinan tutupan lahan kota itu dulunya habitat burung bermigrasi. Ini dikarenakan data lokasi GPS sudah tertanam dalam otak navigasi nenek moyang burung bermigrasi, yang diturunkan dalam benak keturunannya,” terangnya baru-baru ini.
Dewi menambahkan, cahaya yang dipancarkan dari bangunan tinggi pada malam hari bisa menarik perhatian burung bermigrasi dan mempengaruhi perilakunya.
“Terlebih lagi, berbahaya untuk burung bermigrasi yang biasa aktif di siang hari.”
Data di Amerika pada 23 penelitian memperkirakan, antara 365 hingga 988 juta burung mati akibat tertabrak bangunan dengan sekitar 55% kematian pada gedung rendah, 44% di tempat tinggal, dan 1% di gedung-gedung tinggi.
Baca juga: Burung Bermigrasi, Apa yang Dicari?
Bangunan ramah burung
Di Indonesia, penelitian mengenai bagaimana burung menabrak bangunan akibat polusi cahaya belum ada. Namun, bila dilihat hadirnya jenis burung bermigrasi di hutan kota, di antara gedung pencakar langit, kondisi ini harus diwaspadai.
Menurut Margareth Arni Bayu Murti, pengamat arsitektur kota, pada dasarnya setiap pembangunan sebuah gedung, apalagi bertingkat banyak, ada persyaratan mengenai dampak lingkungan yang harus dipenuhi.
“Selama ini saya belum pernah mendapati aturan mengenai bangunan ramah burung, khususnya burung migrasi. Di dalam dokumen rencana detail tata ruang [RDTR] atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan [RTBL], terdapat arahan mengenai ketentuan tata bangunan. Kedua rencana tersebut dapat menjadi jembatan untuk arahan bangunan ramah burung,” terangnya.
Arni menambahkan, untuk mewujudkan arahan bangunan ramah burung, perlu komunikasi antara dinas terkait, perencana, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan warga mengenai burung migrasi di Indonesia.
“Jika memang di sebuah kota memiliki jalur burung migrasi, tentu pihak yang berwenang wajib memberikan saran tentang penanganan bangunan.”
Saat ini, perkembangan bentuk bangunan di Indonesia semakin variatif. Tidak hanya persegi, namun perpaduan dengan oval, lengkung, lingkaran, atau segitiga. Fasad atau muka bangunan juga bervariasi, seperti kaca, perpaduan kaca dan dinding, atau Aluminium Composite Panel [ACP]. Bahkan, penggunaan videotron LED dengan gambar tiga dimensi semakin sering digunakan di kota saat malam hari.
“Untuk mendukung perlindungan burung bermigrasi di perkotaan, bangunan ramah burung dapat menjadi solusi dan ditetapkan melalui peraturan daerah. Tujuannya, setiap pembangunan gedung-gedung di perkotaan dapat berjalan beriringan dengan kegiatan konservasi. Untuk itu, sosialisasi perlu dilakukan,” jelas Arni.
Referensi:
- Loss, S.R., Will, T., Loss, S.S., Marra, P.P. 2014. Bird–building collisions in the United States: sstimates of annual mortality and species vulnerability. The Condor. Volume 116: pp. 8–23
- Emlen, S. T. 1975. The stellar-orientation system of a migratory bird
- https://sustainablecitycode.org/brief/bird-friendly-window-and-lighting-standards/
- https://www.worldmigratorybirdday.org/
- 2022. eBird: An online database of bird distribution and abundance [web application]. eBird, Cornell Lab of Ornithology, Ithaca, New York. Available: http://www.ebird.org. [Diakses April 2022].