- Namanya Kucing tandang. Kucing liar yang langka ini dalam keterancaman. Ia jadi incaran para kolektor binatang peliharaan eksotis.
- Meskipun cukup sulit ditemui pada habitat asli, para pencari ikan yang kerap memasuki Taman Nasional Berbak-Sembilang di Jambi tak asing dengan kucing liar ini. Mereka seringkali masuk perangkap ikan karena berupaya ambil ikan tangkapan nelayan.
- Dalam riset yang diterbitkan di Oryx pada 15 September 2021 itu, peneliti memasang dan menyebar 350 kamera jebak dalam rentang luas 925 kilometer persegi selama empat tahun dan merekam satwa liar melintas. Selama 2015-2019, peneliti berhasil mendokumentasikan 11 kucing tandang.
- Riset Andreas Wilting dan rekan yang dipublikasikan di PLOS ONE pada 2010, mengungkap, ada 50 titik penyebaran kucing tandang di Sumatera, Kalimantan, Sarawak (Borneo wilayah Malaysia), Semenanjung Malaya hingga Thailand. Sumatera dan Kalimantan merupakan dua titik penyebaran utama kucing tandang.
Kucing tandang dalam keterancaman. Kucing langka ini jadi incaran para kolektor binatang peliharaan eksotis. Hasil penelusuran Mongabay via media sosial Komunitas Pencinta Kucing Hutan, kucing tandang termasuk jenis kucing liar yang sangat diminati para penggemar kucing hutan.
Menurut admin media sosial Komunitas Penggemar Kucing Hutan selama tiga tahun terakhir setidaknya terpantau ada enam kucing tandang yang diperjualbelikan di Jakarta. Lima kucing berasal dari Sumatera dan satu dari Kalimantan.
Pola penjualan berbeda dengan penjualan kucing kuwuk yang secara terbuka.
Penjualan kucing tandang sangat tertutup, langsung menyasar pada kolektor binatang peliharaan eksotis dan tak dari permintaan tetapi lebih ketersediaan kucing tandang di level pemburu atau penadah.
Jadi tak ada patokan usia kucing yang diperjualbelikan, dari anakan hingga dewasa semua dibandrol Rp12 juta per ekor. Dari enam kucing tandang yang berhasil tiba dalam keadaan hidup di Jakarta, lima mati ditangan pembeli, hanya satu masih hidup hingga kini.
Penyebab utama kematian kucing, katanya, biasanya salah penanganan karena sangat sedikit informasi tentang perilaku dan pola makan tandang.
Meskipun cukup sulit ditemui pada habitat asli, para pencari ikan yang kerap memasuki Taman Nasional Berbak-Sembilang di Jambi tak asing dengan kucing liar ini. Mereka seringkali masuk perangkap ikan karena berupaya tangkap ikan tangkapan nelayan.
Ahmad, pencari ikan dari Desa Pematang Raman, Kecamatan Kumpeh, Muaro Jambi mengatakan, kadang pencari ikan karena kesal tangkapan dicuri kucing hingga mereka sengaja menenggelamkan kucing karena dianggap merugikan.

Perangkap ikan Ahmad pun pernah dimasuki kucing tandang tetapi dia memilih membawa kucing pulang. “Saya dan beberapa kawan pernah mencoba membawa kucing ini pulang dan memelihara di rumah. Saya coba untuk kawinkan dengan kucing saya di rumah tapi tidak berhasil,” katanya. Kucing itu tak berumur panjang.
Pada 2009, International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan spesies yang biasa disebut flat-headed cat dengan bentuk kepala panjang dan datar ini dalam status endangered (terancam punah).
Upaya mendata populasi dan distribusi serta pelestarian habitat ini bisa jadi langkah penting bagi konservasi suatu spesies, tetapi tak mudah dalam konteks kucing tandang.
Pendataan populasi dan distribusi menemui kesulitan karena jenis kucing dengan rentang ukuran 40-70 centimeter dan berat 1,5 – 2,75 kilogram ini menghuni habitat sangat spesifik.
Meski berbagi wilayah dengan warga sekitar hutan—misal dalam memperoleh ikan–, spesies ini sangat sulit dijumpai.
Catatan penting yang mengkonfirmasi keberadaan kucing tandang di Indonesia ditulis Mark Bezuijen dari Wildlife Management International, terbit da;am jurnal Oryx pada 3 Juli 2000. Dalam catatan itu, Bezuijen menguraikan perjumpaan dengan kucing tandang periode 1995-1996 di sekitar Sungai Merang, Sumatera Selatan dan Taman Nasional Berbak, Jambi.
Kucing tandang yang ditemui di Berbak sudah bangkai. Ia jantan dan berukuran 1,8 kilogram sepanjang 52,1 centimeter. Di Merang, dijumpai dua tandang di sekitar hutan yang terbakar dan dikonversi.
Catatan Bezuijen memperkaya hasil rekam kamera jebak yang dirilis di majalah Fauna and Flora News International pada 1998. Hasil kamera jebak itu mengonfirmasi, tandang ada di Taman Nasional Way Kambas dan Kerinci Seblat.
Hasil riset terbaru Chela Powell dan Muhammad Iqbal dari Restorasi Ekosistem Riau menambah data baru penampakan kucing tandang.
Dalam riset yang diterbitkan di Oryx pada 15 September 2021 itu, peneliti memasang dan menyebar 350 kamera jebak dalam rentang luas 925 kilometer persegi selama empat tahun dan merekam satwa liar melintas. Selama 2015-2019, peneliti berhasil mendokumentasikan 11 kucing tandang.
Menurut Sunarto, peneliti yang tergabung dalam ragam riset kucing tandang, sebagian besar data di lapangan dari kamera jebak ketika survei spesies lain, misal, harimau.
“Sejauh ini belum ada penelitian lebih spesifik mengenai kucing tandang. Beberapa penelitian baru sebatas mengidentifikasi ada berapa jenis kucing liar di habitat aslinya saja” katanya.

Keberadaan kucing tandang
Pendataan dan penampakan kucing tandang yang sangat jarang membuat distribusi populasi mereka sulit diketahui pasti. Riset Andreas Wilting dan rekan yang dipublikasikan di PLOS ONE pada 2010, bisa memberi gambaran.
Wilting menggunakan algoritma maximum entropy untuk memodelkan penyebaran kucing tandang.
Wilting mendasarkan pemodelan pada penyebaran 88 tandang yang didapatkan lewat survei, catatan literatur dan koleksi museum,
Dia memperkirakan distribusi dan status konservasi.
Data itu dianalisis dan dibandingkan dengan variabel bioklimatik, ketinggian wilayah, dan jarak dengan sumber air.
Bioklimatik adalah zona iklim yang jadi pertimbangan dari hubungan organisme hidup dan pola penyebarannya. Jarak menuju air teridentifikasi sebagai kunci utama penentu keberadaan kucing tandang mengingat kucing ini membutuhkan ikan air tawar sebagai makanan.
Berdasarkan pemodelan itu, Wilting mengungkap, ada 50 titik penyebaran kucing tandang di Sumatera, Kalimantan, Sarawak (Borneo wilayah Malaysia), Semenanjung Malaya hingga Thailand. Sumatera dan Kalimantan merupakan dua titik penyebaran utama kucing tandang.
Meski wilayah pasti penyebaran kucing tandang belum bisa dikatakan jelas, Wilting menyebut, tandang menghuni wilayah dengan ketinggian sangat rendah, dekat dengan pantai. Lahan basah dan gambut adalah habitat favorit spesies itu.
Sejumlah keberhasilan merekam kucing tandang di luar Indonesia turut mendukung argumen itu. Jamie Wadey dari University of Nottingham Malaysia di Tropical Conservation Science pada 1 Juni 2014 menemukan dua kucing tandang di lahan basah, berbatasan dengan area perkebunan sawit.
Jayasilan Mohn-Azlan dari Universiti Malaysia Sarawak dalam publikasi di Journal of Threatened Taxa pada 2020 juga menemukan kucing tandang di wilayah serupa.

***
Pada 2013, tim patroli Taman Nasional Berbak menemukan satu kucing tandang dalam perangkap ikan warga. Kucing itu langsung dilepaskan tim tak jauh dari tempat dia terperangkap. Lalu pada 2021, seorang warga menyerahkan bayi kucing tandang pada tim patroli Taman Nasional Berbak Sembilang.
Kucing tandang ini ditemukan warga yang berladang di Sungai Aur– berbatasan langsung dengan Taman Nasional Berbak Sembilang.
Menurut Rio Desrinaldi, polisi hutan yang sedang patroli di sekitar kawasan, warga mengaku baru menemukan anak kucing itu di ladang mereka dan setuju menyerahkan pada tim.
Kucing diserahkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi untuk proses rehabilitasi di Tempat Penitipan Satwa milik BKSDA Jambi.
Dari pantauan Mongabay, pada Juli 2021 kucing berjenis kelamin jantan ini tak takut akan manusia bahkan berusaha berinteraksi.
Menurut Yuli Akmal, dokter hewan yang menangani kucing ini selama berada di TPS BKSDA Jambi, awalnya Ia mengira kucing ini jenis kucing kuwuk (Prionailurus bengalensis) yang sering ditangkap untuk dipelihara atau diperdagangkan ilegal.
“Karena bentuk unik dan tidak memiliki belang loreng seperti kucing kuwuk hingga saya mencoba mengidentifikasi. Ternyata, kucing ini adalah kucing tandang” kata Yuli.
Meskipun terlihat jinak tetapi kemampuan berburu masih baik. Hal ini terbukti kelihainya menangkap ikan dalam kolam kecil yang terdapat enklosurnya.
“Kami sering menaruh lele hidup dalam kolam agar naluri berburu kucing ini tetap ada hingga dapat segera dilepasliarkan” kata Yuli.
Kalau sudah ada ikan, kucing tandang itu segera menangkapnya. Hal ini membuktikan, naluri berburu masih bagus dan kondisi kesehatan juga baik.
“Dari observasi kami selama dapat dipastikan kucing ini siap dikembalikan ke habitat aslinya.”
Pada Februari 2022, kucing tandang ini kembali ke habitat aslinya ke Taman Nasional Berbak–Sembilang. Menurut tim, ketika dilepas kucing langsung berenang, menyelam di sungai dan segera menjauh dari tim.
Taman Nasional Berbak–Sembilang pernah memasang kamera perangkap pada beberapa titik dalam kawasan untuk merekam pergerakan satwa yang hidup disana.
“Sejauh ini belum ada individu yang tertangkap kamera. Harimau, macan dahan dan kucing batu saja yang sering terlihat,” kata Nurazman, Kepala Seksi Wilayah III Taman Nasional Berbak– Sembilang. Namun dia perkirakan, kucing ini mendiami kawasan rawa resort Air Hitam.
Sejak 2020, Taman Nasional Berbak – Sembilang mendorong para pencari ikan untuk membentuk kelompok dan menjalin kemitraan yang diikat dengan perjanjian kerjasama agar mereka menjaga keragaman hayati dalam kawasan.
Kalau mereka kedapatan merusak perjanjian kerjasama akan dibatalkan dan tak boleh memasuki wilayah konservasi itu.

Kunci pelestarian
Dari studi awal para ahli memprediksi, ancaman utama terhadap kucing tandang adalah kerusakan habitat seperti polusi, kebakaran dan alih fungsi kawasan.
Meskipun belum ada penelitian khusus mengenai kucing ini, namun, kata Sunarto, tandang memiliki peran penting dalam ekosistem mengingat habitat sangat spesifik. “Semoga di masa depan ada penelitian fokus memahami keberadaan, ancaman dan upaya konservasi kucing tandang.”
Taman Nasional Berbak–Sembilang luas lebih 142.000 hektar, merupakan hutan konservasi rawa terluas di Asia Tenggara. Ekosistem kawasan ini juga unik merupakan gabungan dari hutan rawa air tawar dan hutan rawa gambut yang terbentang di pesisir timur Sumatera. Karena keunikan ekosistem taman nasional ini jadi situs Ramsar pertama di Indonesia.
Ramsar adalah sebuah konvensi internasional untuk konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara berkelanjutan.
Merujuk data CIFOR, luas lahan basah tropis Sumatera 6,3 juta hektar atau 33% dari luas lahan basah di Indonesia. Lahan basah ini terdiri dari kawasan bakau, gambut, rawa, sungai, danau dan daerah dataran banjir—di mana dalam penelitian terungkap beberapa kawasan itu teridentifikasi sebagai habitat kucing tandang.
Alih fungsi lahan dan kebakaran adalah ancaman utama terhadap kelestarian ekosistem lahan basah.
Rudi Syaf, Direktur Eksekutif KKI-Warsi mengatakan, kondisi lahan basah dan gambut pada 2019 hingga kini cukup baik meskipun ada beberapa titik mengalami kebakaran. “Sudah tak ada izin konsesi baru dan para pemegang izin hanya menggarap lahan yang merupakan konsesi mereka sendiri,” kata Rudi.
Meskipun demikian, kondisi lahan basah masih rentan kebakaran karena banyak kanal-kanal yang tak terkelola dengan baik. Ketika musim kemarau, risiko kebakaran masih tinggi.