Belakangan ini ramai diberitakan mengenai pencemaran udara kota Jakarta dengan kenaikan pencemar partikel debu di udara. Kenaikan pencemaran udara ini dideteksi melalui kenaikan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).
ISPU adalah angka yang menggambarkan kondisi kualitas/mutu udara ambien di lokasi tertentu, yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No.14 tahun 2020 tentang ISPU, Indeks ini ditentukan berdasarkan 7 parameter utama yaitu: Partikulat (PM10), Partikulat (PM2.5), Karbon monoksida (CO), Nitrogen dioksida (NO2), Sulfur dioksida (SO2), Ozon (O3) dan Hidrokarbon (HC).
PM10 merupakan partikulat debu dengan ukuran sebesar 10 mikron atau lebih kecil, sedangkan PM2.5 merupakan partikulat debu berukuran sebesar 2,5 mikron atau lebih kecil.
Parameter pencemar tersebut didapat dengan pemantauan udara di berbagai lokasi yaitu di pusat kota; latar kota; sub-urban; industri; pedesaan; dan lokasi lainnya yang mengarah kepada sumber pencemar tertentu. Misalnya daerah kemacetan lalu lintas, daerah industri, atau daerah lain yang dinilai ada pencemaran udara.
Pemantauan udara dengan ISPU harus dilakukan selama 24 jam, dengan dipasangnya alat pemantau kualitas udara di stasiun-stasiun pemantauan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memiliki 46 stasiun pemantauan ISPU di kota-kota besar di Indonesia, dengan 5 lokasi pemantauan di DKI Jakarta. Stasiun-stasiun ini sejumlah 37 stasiun dimiliki oleh KLHK dan 7 lokasi merupakan stasiun integrasi yang dimiliki pemerintah daerah.
baca : Kemenangan Warga atas Gugatan Pencemaran Udara Jakarta
Berdasarkan ke-7 parameter diatas, ISPU dikategorikan menjadi 5 kategori, yaitu:
Dalam Permen LHK No.14/2020 terdapat formula untuk menghitung ISPU dan tabel konversi antara nilai ISPU dengan kandungan ke-7 parameter pencemar, sebagai berikut:
Pemantauan ISPU ini bermanfaat untuk mengetahui seberapa baik atau buruknya kualitas udara di suatu lokasi, supaya kondisi udara bisa terjaga kualitasnya bagi kesehatan masyarakat, dengan harapan ISPU selalu pada kategori hijau dengan nilai dibawah 50.
Jika nilai ISPU sudah diatas nilai baik, maka dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk dilakukannya upaya-upaya pengendalian pencemaran udara untuk menurunkan jumlah parameter pencemar yang melebihi ambang batas yang ditentukan.
Dampak pada Manusia
Dampak pencemar yang ada di udara dapat berpengaruh terhadap kesehatan manusia, hewan maupun tumbuhan. Debu halus dan bahan pencemar lainnya dapat memasuki mata, hidung, tenggorokan, paru-paru dan aliran darah. Dampak jangka pendek antara lain adalah pusing, batuk, munculnya dahak, mual, memicu gejala penderita asma dan alergi.
Sedangkan dampak jangka panjang antara lain masalah pada pernafasan, kanker, kardiovaskuler (jantung, pembuluh darah), dan otak dan syaraf (stoke, demensia). Semakin tinggi dampak parameter pencemar, maka semakin tinggi nilai ISPU, yang mengakibatkan dampak terhadap kesehatannya semakin buruk.
Kondisi kualitas udara atau nilai ISPU di kota-kota besar di Indonesia dapat dipantau melalui stasiun-stasiun pemantauan ISPU milik KLHK yaitu ISPU Net, yang bisa dilihat melalui website ispu.menlhk.go.id. Untuk kondisi ISPU di DKI Jakarta bisa dilihat melalui aplikasi JAKISPU. Pada ISPU Net bisa dilihat nilai ISPU untuk kota-kota besar di Indonesia.
Pantauan ISPU Net untuk seluruh Indonesia, tanggal 23 Juni 2022 pukul 14.05, menunjukkan bahwa sebagian besar kota-kota masih pada kategori sehat (hijau) dengan ISPU dibawah 50. Ada beberapa kota yang berada pada kategori sedang (biru) dengan ISPU 51-100 yaitu kota Medan, Batam, Bengkulu, Bandar Lampung, Jakarta Pusat, Karawang, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Malang, Mataram, Pontianak, Balikpapan, Samarinda, dan Manado. Ada 7 lokasi dengan ISPU antara 101-200 dengan kategori tidak sehat (kuning), yaitu Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Serang, Tangerang dan Bekasi, seperti terlihat sebagai berikut:
baca juga : Polusi Udara Jakarta Parah, Desak Pemerintah Serius Atasi Pencemaran
Penyumbang pencemaran udara di kota-kota besar adalah dari sektor transportasi dan industri. Berdasarkan studi di DKI Jakarta tahun 2020, penyumbang pencemaran udara terbesar di Jakarta adalah sektor transportasi, karena kemacetan lalu lintas.
Sektor industri yang ada dan disekitar kota-kota besar juga dapat menyumbang pencemaran udara, jika emisi udara dari cerobongnya tidak dikelola dengan baik dan mengemisikan pencemar diatas baku mutu yang ditentukan. Pencemar udara ini bisa memberikan pencemar ke lokasi yang lebih jauh karena tiupan angin.
Berdasarkan studi Bank Dunia dan Bappenas yang telah banyak diberitakan, kerugian Jakarta karena kemacetan pada tahun 2019 mencapai Rp65 triliun, meskipun kerugian ini menurun saat pandemik Covid-19, karena berkurangnya mobilitas manusia.
Penyebab kerugian ini antara lain karena konsumsi bahan bakar yang lebih tinggi, biaya perawatan kendaraan lebih tinggi, produktivitas tenaga kerja berkurang, lebih banyak waktu di perjalanan yang menyebabkan kelelahan, juga kerugian karena lebih lamanya distribusi/pengiriman barang.
Dampak pencemaran secara umun dapat memberikan beban ekonomi masyarakat. Perkiraan biaya yang disebabkan oleh polusi udara dengan jenis-jenis penyakit tersebut mencapai Rp.60,8 triliun pada tahun 2020. Nilai tersebut belum termasuk estimasi biaya terkait cacat seumur hidup, kematian dini, serta penurunan produktivitas tenaga kerja.
Dalam kajian berbeda, paparan PM2.5 diperkirakan telah mengakibatkan 2.626 kasus perawatan rumah sakit, 320.852 kasus serangan asma, 26.000 kasus kunjungan ke IGD, 19.544 kasus bronkitis akut pada anak-anak, 3.075 kasus bronkitis kronis, respiratory symptom days sebanyak 20,25 juta hari, dan berkurangnya hari kerja sebanyak 1,72 juta hari. Berbagai dampak kesehatan tersebut telah menimbulkan kerugian sebesar 0,86% dari produk domestik regional bruto (PDRB) DKI Jakarta tahun 2019 atau setara dengan Rp.24,35 triliun. (Prakoswa, 2020)
Pemantauan kondisi kualitas udara yang baik, berkelanjutan serta menggunakan peralatan yang baik dan akurat, dapat memonitor kualitas udara di suatu lokasi dengan baik, sehingga kesehatan masyarakat terjaga.
perlu dibaca : Ternyata Udara Tidak Sehat di Jakarta Lebih Tinggi Setelah PPKM Darurat. Kok Bisa?
Sedangkan untuk menjaga supaya nilai ISPU selalu pada kategori baik (hijau), perlu didorong penggunaan kendaraan bermotor dengan kinerja pembakaran bahan bakar yang efisien, sehingga emisi udara yang dikeluarkan lebih bersih. Uji emisi untuk semua jenis kendaraan bermotor, dapat memantau dan menjaga emisi gas buangnya selalu memenuhi baku mutu emisi yang ditetapkan sesuai peraturan KLHK. Penggunaan mobil listrik juga merupakan salah satu opsi, karena tidak mengeluarkan emisi udara.
Sektor industri sudah diwajibkan untuk mendapatkan izin lingkungan Persetujuan Teknis Emisi (Pertek Emisi) dan diwajibkan untuk melakukan pemantauan emisi cerobongnya secara berkala minimal 2 kali per tahun. Jika kewajiban ini dilakukan secara ketat oleh kalangan industri, maka emisi dari sektor industri dapat dihindari.
Penggunaan peralatan pengendalian pencemaran udara yang tepat untuk membersihkan/menyaring polutan yang ada pada gas buang industri sebelum dibuang melaui cerobong dapat menjamin terpenuhinya baku mutu emisi cerobong.
Untuk mengurangi beban peralatan pengendali pencemaran udara, industri dapat melakukan upaya efisiensi pada proses produksinya, supaya mengeluarkan bahan pencemar emisi udara yang lebih sedikit, sebelum masuk peralatan pengendali pencemaran udaranya, sehingga beban peralatan pengendali pencemaran udaranya lebih ringan.
BRIN sebagai Lembaga Riset dan Inovasi Nasional memiliki fasilitas dan tenaga ahli yang dapat mendukung tercapainya kualitas udara ambien yang baik. BRIN memiliki Laboratorium Mobil yang dapat digunakan untuk melakukan pemantauan parameter kualitas udara di berbagai lokasi.
BRIN juga memiliki tenaga ahli emisi udara, baik untuk pementauan maupun pengendaliannya. Tenaga ahli BRIN juga mampu melakukan pemantauan kinerja proses produksi pada industri, untuk dilakukan efisiensi proses, sehingga mengeluarkan pencemar yang lebih kecil. Juga dalam melakukan pemilihan teknologi pengendalian pencemaran udara yang tepat, dan melakukan pemantauan kinerjanya.
***
*Dr. Ir. Widiatmini Sih Winanti M.Si,
**Dr. Sasa Soyan Munawar, S.Hut., MP,
***Iif Miftahul Ihsan, S.Si. M.Si.
Ketiganya merupakan peneliti pada Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih, Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRLTB – BRIN)