- Paus pertama muncul 50 juta tahun yang lalu, jauh setelah kepunahan dinosaurus, tetapi jauh sebelum kemunculan manusia pertama. Nenek moyang mereka kemungkinan besar adalah artiodactyl kuno, yaitu mamalia darat berkaki empat, yang memiliki kemampuan untuk berlari.
- Nenek moyang paus saat ini diyakini sebagai Pakicetus. Itu adalah hewan berkaki empat berukuran panjang 1 hingga 2 meter. Kerangka yang ditemukan di Pakistan menunjukkan bahwa hewan itu memiliki pergelangan kaki yang khas dan tengkorak cetacea yang khas pula.
- Selama ribuan tahun, tulang panggul paus terlepas dari tulang belakangnya agar mereka bisa berenang dengan lebih efisien.
- Penemuan fosil-fosil tentang paus masih terus dilakukan untuk mengonfirmasi bagaimana transisi mereka dari hewan berkaki empat menjadi mamalia raksasa di muka bumi.
Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar Paus? Mamalia laut terbesar di dunia, hewan purba yang masih hidup, atau hewan dengan suaranya yang khas? Ya, itulah beberapa keunikan yang sering disematkan kepada mamalia raksasa tersebut. Namun dari fakta-fakta yang ada, belum banyak orang yang mengetahui bahwa keluarga Cetacea ini mempunyai nenek moyang hewan darat berkaki empat!
Selama lebih dari satu abad, pengetahuan kita tentang catatan fosil spesies Cetacea masih terbatas sehingga tak ada yang bisa memastikan seperti apa nenek moyang mereka. Paus yang kita kenal sekarang sangat beradaptasi dengan baik terhadap kehidupan di dalam air. Namun nenek moyang mereka ternyata adalah hewan berkaki empat. Hal tersebut diperkuat dengan fakta penemuan fosil paus kuno yang hidup di darat dan laut dalam Jurnal Current Biology.
Seperti manusia, paus adalah mamalia. Mereka memiliki paru-paru dan menghirup nafas. Jan Hoole seorang Dosen Biologi dari Universitas Keele, Inggris, menjelaskan dalam The Conversation, bahwa awalnya nenek moyang paus menyerupai rusa kecil, dengan empat jari kaki, masing-masing mempunyai kuku kecil.
Buktinya, satu fosil “mata rantai yang hilang” yang ditemukan di India menunjukkan bahwa nenek moyang paus turun ke air pada saat bahaya datang dan mereka pergi ke darat untuk melahirkan dan makan. “Mereka akan menghabiskan banyak waktu mengarungi air dangkal, mencari makan untuk vegetasi air dan invertebrata, dan akhirnya ikan kecil dan amfibi,” tulisnya dikutip pada Selasa (2/8/2022).
Fosil paus prasejarah tertua berasal dari 53 juta tahun yang lalu, dan ditemukan di situs-situs di Himalaya, India Utara (sekarang Pakistan). Catatan fosil menceritakan kisah evolusi bertahap dari kehidupan darat ke kehidupan di air.
baca : Ini 9 Fakta Unik Paus, Hewan Penyerap Karbon Terbesar Dunia
Dikutip baleinesendirect.org, nenek moyang paus saat ini, cetacea pertama, diyakini sebagai Pakicetus. Itu adalah hewan berkaki empat berukuran panjang 1 hingga 2 meter. Kerangka yang ditemukan di Pakistan menunjukkan bahwa hewan itu memiliki pergelangan kaki seperti rusa yang khas dan tengkorak paus yang khas. Tidak seperti paus saat ini, spesies ini tidak akuatik dan pergelangan kakinya adalah bukti tentang kemampuan berlarinya. Bentuk giginya menunjukkan bahwa Pakicetus adalah karnivora, seperti paus modern.
Selain itu, masih kata Jan Hoole, selama ribuan tahun, tulang panggul paus terlepas dari tulang belakangnya agar mereka bisa berenang yang lebih efisien. Tungkai depan berubah menjadi sirip, sementara tungkai belakang yang semakin vestigial menyusut dan menghilang.
Migrasi ke daerah Amerika
Dari wilayah sekitar India dan Pakistan, nenek moyang paus modern kemudian bermigrasi untuk akhirnya mencapai bentuk seperti cetacea yang kita kenal saat ini. Jalan apa yang mereka ambil dan kapan? Catatan fosil dapat menjawab pertanyaan ini, tetapi saat ini terlalu terfragmentasi untuk mendapatkan gambaran yang jelas.
Penemuan fosil paus berkaki empat di Peru pada tahun 2011 menjelaskan perjalanan para cetacea. Paus leluhur ini mendukung hipotesis migrasi ke barat yang mendahului migrasi ke utara, kurang dari 10 juta tahun setelah munculnya paus pertama di wilayah sekitar India dan Pakistan.
Gingerich, D, Philip, seorang Paleontologis dari University of Michigan, Amerika Serikat dalam jurnal yang ia tulis meyakini bahwa keturunan cetacea pertama yang berkeliaran di darat semakin tertarik pada lingkungan akuatik, yaitu untuk mencari perlindungan dari bahaya.
Ambulocetus, seekor paus berkaki empat yang kakinya berselaput, kemungkinan bisa berjalan dan berenang, sementara analisis tulang telah mengungkapkan bahwa ia dapat hidup di air tawar dan air asin. Telinga bagian dalamnya disesuaikan dengan kehidupan di lingkungan akuatik.
baca juga : Penelitian: Hiu Paus Mampu Menyembuhkan Lukanya Sendiri
Evolusi Paus Jadi Raksasa
Dalam catatan yang ditulis baleinesendirect.org, mysticetes pertama berukuran panjang 5 hingga 9 meter. Sementara itu, Paus diyakini telah mencapai ukuran yang kita kenal saat ini hanya sekitar 4,5 juta tahun yang lalu. Pertumbuhan Mysticetes yang tiba-tiba berkaitan dengan pendinginan iklim dan pembentukan lapisan es besar di belahan bumi utara. Di musim semi dan musim panas, nutrisi yang terperangkap es dilepaskan ke perairan terbuka dan menumpuk di dekat pantai.
Didorong oleh arus, plankton menumpuk di daerah-daerah ini dan tumbuh secara substansial ketika mereka bersentuhan dengan perairan yang kaya nutrisi. Plankton – sampai saat itu tersebar luas di lautan – mulai membentuk konsentrasi musiman, kadang-kadang dipisahkan oleh ribuan kilometer. Hal itulah yang menjadi penjelasan mengapa paus makan plankton hingga sekarang.
Kenyataannya, paus masih berevolusi saat ini dipengaruhi oleh ekosistem yang terus berubah secara teratur dan interaksi antar spesies yang bersifat dinamis. Oleh karena itu, selalu ada kebutuhan untuk beradaptasi dengan perubahan kondisi. Paus modern hidupnya dipengaruhi pada beberapa tekanan evolusioner seperti perubahan iklim, penurunan kelimpahan mangsa dan polusi laut. Ukurannya yang besar membuat mereka sangat rentan terhadap kehilangan sumber makanan.
baca juga : Hiu Paus, Termasuk Kelompok Ikan atau Mamalia?
Sumber : theconversation.com, baleinesendirect.org
Gingerich, Philip D. “Evolution of whales from land to sea.” Proceedings of the American Philosophical Society 156.3 (2012): 309-323.