- Dua kelompok tani hutan di Gunungkidul, Yogyakarta, sedang jadi pilot project penerapan sertifikasi kayu berkelanjutan lewat Regional Forest Stewardship Standar (RFSS).
- Standar baru berasal dari Forest Stewardship Council (FSC) khusus petani ini untuk luas lahan kecil, seperti banyak lokasi di Jawa, punya luas hutan ada yang lebih kecil dari satu hektar.
- Noki Purwaka, auditor turut melakukan pemeriksaan berharap, apa yang dilakukan di Gunungkidul, bisa jadi percontohan dan rujukan bagi unit manajemen lain. Dari sisi masyarakat, ekonomi bisa terangkat karena kebutuhan pasar kayu bersertifikasi luar biasa.
- Sistem sertifikasi yang dievaluasi merupakan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari dari 10 prinsip yang dikembangkan FSC. Yaitu, prinsip kepatuhan hukum, ketentuan kerja dan hak pekerja, hak masyarakat adat, hubungan masyarakat, dan pengelolaan aspek kelestarian dari manfaat hutan. Juga, nilai dan dampak lingkungan, rencana pengelolaan, pemantauan dan penilaian, nilai konservasi tinggi, serta implementasi kegiatan pengelolaan.
Pohon jati lokal tumbuh rapat. Jarak tanam 4×2 meter. Kini, jati yang ditanam tahun 2000 ini lingkar batang pohon kisaran 60-100 cm. Tanaman jati ini milik Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (KTHKm) Sido Maju.
Luas lahan kelompok ini tak terbilang luas, hanya 10 hektar. Tiga tahun lagi, kelompok tani yang mempunyai anggota 64 orang di Dusun Cangkring, Karangasem, Paliyan, Gunungkidul, Yogyakarta ini bakal panen kayu. Sesuai kontrak kredit tunda tebang, seharusnya mereka baru panen pada 2028. Namun para petani ingin mempercepat masa panen untuk melunasi kredit.
“Tidak ada penjarangan, supaya jati tumbuh lurus,” kata Mitro Pawiro, Ketua KHTKm Sidomaju 1 kepada tim auditor memberi alasan.
Pada Rabu, 14 Desember lalu, mereka menerima dua orang auditor dari SCS Indonesia. Selama beberapa hari auditor memeriksa administrasi, lacak balak, dan audit hutan. Mereka juga mengunjungi koperasi, unit penggergajian kayu, kelompok tani, dan ke tapak andil.
Selain memverifikasi kelengkapan surat perjanjian, auditor juga menanyakan soal pengelolaan lahan, juga aspek lingkungan seperti keberadaan satwa di dalam hutan jati.
“Binatang yang sering terlihat yaitu musang, ayam alas, ular, perkutut. Pemburu ada, tapi nyari tupai yang di sini dianggap hama,” kata petani. “Di sini aman, tidak ada pencurian kayu. Ada jadwal ronda. Kayu yang roboh karena pohon tersambar petir pun aman.”
Ada juga Kelompok Tani Hutan Sedyo Lestari dari desa sama, auditor antara lain menanyakan cara pengelolaan hutan kemasyarakatan. Berdiri sejak 2004, hutan seluas 14,2 hektar itu mayoritas ditanami jati. Anggota 124 orang, terbagi dalam enam blok.
“Pada 2021 sudah melakukan penebangan. Kami membentuk panitia tebang, dan membayar tukang potong, angkut, dan pencatat. Semua dibayar oleh kelompok,” kata Sardi, Ketua Kelompok Sedyo Lestari.
“Tukang pakai alat pengaman. Rompi, kacamata, sarung tangan, helm, sepatu booth,” jawabnya, saat auditor menanyakan apakah mereka melengkapi dengan alat pelindung diri saat penebangan.
Dua kelompok tani itu merupakan mitra Koperasi Wana Manunggal Lestari (KWML), berlokasi di Dengok, Playen, Gunungkidul. Koperasi ini mewadahi para petani hutan kemasyarakatan (HKm) dan petani hutan tanaman rakyat (HTR).
“Yang diaudit adalah data-data kelompok, juga aturan-aturan apakah dilaksanakan atau tidak. Misal, kita tidak boleh membuang sampah plastik, tidak boleh menembak. Nah, apakah di dalam kawasan yang mereka audit itu sesuai tidak dengan aturan yang tertera di situ,” kata Sudarmi, Ketua KWML.
“Ini suatu kesempatan baik. Karena sertifikasi ini secara internasional nilainya lebih tinggi dibanding yang lain. Kami berharap bisa lolos hingga koperasi punya kesempatan membuka akses ke pasar lebih luas.”
Kali ini, Sudarmi ingin sertifikasi dapat memberikan dampak positif terutama meningkatkan kesejahteraan anggota. Sebab, bukan kali ini saja koperasinya disertifikasi.
Saat ini, koperasi membeli kayu mentah dari HKm, selanjutnya diolah jadi barang setengah jadi maupun jadi. Papan dan balok kayu terlihat di tempatkan pada rak-rak khusus. Ada pula kusen, dan satu set mebel setengah jadi di salah satu ruang koperasi.
Pertama kali
“Di Indonesia Koperasi Wana Manunggal Lestari merupakan unit manajemen pertama yang dievaluasi menyeluruh dengan standar baru ini,” kata Medita Hermawan, auditor, 14 Desember lalu, di kantor koperasi.
Standar baru berasal dari Forest Stewardship Council (FSC) yang disebut Regional Forest Stewardship Standar (RFSS). Standar baru ini untuk luas lahan kecil, seperti banyak lokasi di Jawa, dengan luas hutan rakyat ada yang lebih kecil dari satu hektar.
Sistem sertifikasi yang dievaluasi merupakan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari dari 10 prinsip yang dikembangkan FSC. Yaitu, prinsip kepatuhan hukum, ketentuan kerja dan hak pekerja, hak masyarakat adat, hubungan masyarakat, dan pengelolaan aspek kelestarian dari manfaat hutan. Juga, nilai dan dampak lingkungan, rencana pengelolaan, pemantauan dan penilaian, nilai konservasi tinggi, serta implementasi kegiatan pengelolaan.
Dalam implementasi di lapangan, beberapa penyesuaian tanpa mengurangi prinsip. Medita contohkan, tenaga kerja dalam praktik pengelolaan hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan kerap melibatkan keluarga. Begitupun dengan masyarakat adat yang memiliki ciri khas masing-masing lokasi.
“Soal mata air itu juga salah satu aspek yang dinilai. Mereka harus mengidentifikasi, melindungi, bahkan meningkatkan nilai. Misal, dalam hutan ada mata air, dimanfaatkan untuk air bersih desa. Di sebelahnya ada pohon besar-besar, saat panen harus tidak merusak.”
Noki Purwaka, auditor turut melakukan pemeriksaan berharap, apa yang dilakukan di Gunungkidul bisa jadi percontohan dan rujukan bagi unit manajemen lain.
“Dari sisi masyarakat, ekonominya bisa terangkat karena kebutuhan pasar akan kayu bersertifikasi luar biasa. Pasar luar negeri minta bahan baku banyak, tapi Indonesia belum mampu menyiapkan,” katanya.
Bahkan, katanya, perusahaan mau mendidik petani hutan rakyat untuk mendapatkan sertifikasi dan seluruh proses dibiayai mereka. Hal ini karena kayu bersertifikasi dari hutan rakyat diminati pasar. Dengan begitu, ia jadi peluang peningkatan pendapatan petani.
Strandar bagi pelaku usaha kecil atau petani ini sejak Juli 2022. RFSS sebelum berlaku penuh harus uji coba di beberapa negara termasuk Indonesia.
Rainforest Alliance bersama Javlec, katanya, berinisiatif uji coba RFSS ini di Indonesia. “Javlec melakukan pendampingan kepada Koperasi Wana Manunggal Lestari untuk pemenuhan standar RSFF,” kata Zainuri Hasyim, Manajer Community and Smallholder Forestry Rainforest Alliance.
Lokasinya, Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan di Gunungkidul, dengan total 416 hektar. Ia melibatkan 874 keluarga di 18 kelompok petani hutan, terdiri dari 13 hutan rakyat luas 196 hektar dan lima hutan kemasyarakatan 220 hektar.
Exwan Novianto dari Javlec mengatakan, jika lolos maka merupakan sertifikasi RFSS pertama untuk perhutanan sosial di Indonesia.
FSC disebut-sebut sebagai lembaga sertifikasi hutan paling ketat di dunia. Organisasi nirlaba yang berdiri 1993 dan berkantor pusat di Bonn, Jerman ini diinisasi LSM dan kalangan bisnis yang ingin memastikan hutan tetap lestari sembari memperoleh manfaat dari hasil hutan.
RFSS untuk Asia Pasifik ini diterapkan bagi unit manajemen yang luasan kurang dari 20 hektar, baik produk kayu kasar maupun hasil hutan nonkayu. Standar baru ini berlaku untuk empat negara yaitu Indonesia, Thailand, Vietnam, dan Indiati .
Perwakilan FSC Indonesia ini mengatakan, standar baru ditulis dalam bahasa yang lebih sederhana, dengan indikator lebih realistis dan tak menyulitkan petani. Dari segi biaya pun lebih murah karena proses dirampingkan.
“Kami lalu diskusi dengan beberapa stakeholders di Asia Pasifik. Akhirnya muncul ide, bagaimana menyederhanakan standar khusus petani, disesuaikan dengan kondisi, kapasitas, dan skala yang relevan dengan mereka.”
Dia bilang, faktor-faktor yang dihadapi usaha kecil pasti berbeda dengan perusahaan skala besar seperyang memiliki hak pengusahaan hutan (HPH) atau hutan tanaman industri (HTI).
Petani hutan rakyat maupun hutan kemasyarakatan, katanya, rata-rata masih manual, dengan investasi skala kecil, luasan terbatas, dan risiko minimal.
“Harapannya ke depan, biaya implementasi dan biaya audit FSC ini bisa berkurang. Ketika mereka bisa menjual kayu ke industri, mereka mendapatkan harga lebih. Hingga dengan berkurangnya biaya operasional ada nilai tambah lagi di situ,” kata Thesis Budiarto, Manajer Kebijakan FSC Asia Pasifik.
Potensi hutan rakyat di Jawa cukup besar, yang bisa jadi pemasok industri furnitur maupun industri lain. Terlebih, ada kecenderungan industri furnitur beralih mencari kayu ke hutan rakyat. Ditambah isu perubahan iklim, para petani makin sadar nilai penting hutan mereka.
Standar RFSS ada 211 indikator, kini tinggal 145 indikator. Uji coba di Gunungkidul ini guna menyelaraskan standar sebelumnya ke konteks lokal tanpa harus merusak integritas lembaga. Selain itu, sertifikasi standar baru diharapkan mendorong penyerapan kayu dari hutan rakyat makin besar, dan biaya sertifikasi petani terjangkau.
Standar baru uji coba selama lima tahun. Kalau berjalan lancar, pada tahun ketiga akan kaji lagi untuk terapkan global setelah tahun ke lima.
Kerangka kerja RFSS akan melibatkan lembaga sertifikasi, unit manajemen yang akan disertifikasi, organisasi pendukung seperti Rainforest Alliance yang memberikan pendanaan dan turut mendukung perhutanan sosial di Gunungkidul.
*********