- Persoalan batas negara di wilayah laut zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia yang melibatkan antara Indonesia dan Vietnam, masih saja belum selesai meski tahun sudah berganti dari 2022 ke 2023
- Kedua negara masih mempertahankan argumentasinya tentang batas negara yang secara geografis ada di wilayah laut Natuna Utara, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Itu kenapa, perundingan tersebut belum berhasil, walau sudah dilakukan sejak 2010
- Namun merujuk pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia berhak untuk mengklaim kawasan perairan ZEE sepanjang 200 mil dari garis pantai yang ada di Kepulauan Natuna
- Pada perundingan terakhir di pengujung 2022, Vietnam mengajukan usulan equal pada remaining area dari ZEE Indonesia. Namun, usulan tersebut dinilai hanya akan merugikan Indonesia, utamanya nelayan skala kecil dan tradisional
Kekhawatiran akan nasib nelayan skala kecil dan tradisional dalam menghadapi era persaingan masa sekarang semakin hari semakin kuat. Ancaman itu, utamanya dirasakan oleh nelayan yang ada di wilayah laut seperti Provinsi Kepulauan Riau.
Di sana, nasib nelayan terancam karena adanya kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan Vietnam tentang pemanfaatan ruang laut. Kedua negara sedang mempertimbangkan penggunaan laut Natuna Utara yang masuk wilayah Indonesia oleh nelayan dari kedua negara.
Pertimbangan itu muncul setelah Indonesia dan Vietnam melakukan perundingan teknis tentang penetapan batas wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) kedua negara. Pertemuan tersebut digelar di Hanoi, Vietnam menjelang akhir 2022 lalu.
Pertemuan tersebut bukan menjadi yang pertama bagi kedua. Sebelum itu, sudah ada 15 kali pertemuan yang dimulai sejak 2010 lalu. Pertemuan yang masih berlanjut sampai sekarang diharapkan bisa menemukan titik temu dan menyelesaikan persoalan batas ZEE kedua negara.
Bagi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), bahasan tentang konsesi laut tersebut, menjadi salah satu bahasan yang mengkhawatirkan. Penyebabnya, karena jika konsesi dikabulkan, iu berarti nelayan dari Vietnam akan mencari ikan lebih leluasa lagi, dan dinilai legal.
Padahal menurut KIARA, jika konsesi dikabulkan, maka nelayan skala kecil dan tradisional akan menderita kerugian yang ternilai dan akan berlangsung dalam jangka waktu tak terhingga. Kerugian itu muncul karena nelayan akan kehilangan ruang dan klaim atas sumber daya alam yang terkandung dalam konsesi tersebut.
baca : Catatan Akhir Tahun: Angan-angan Menyelamatkan Laut Natuna
Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati memberikan analisisnya tentang ancaman tersebut belum lama ini. Menurut dia, pertimbangan Indonesia untuk memberikan konsesi laut kepada Vietnam memang menjadi poin krusial dalam perundingan kedua negara.
Namun, jika konsesi tersebut tidak dikabulkan, KIARA menilai itu sebagai langkah yang tepat. Tetapi jika sebaliknya, maka itu menjadi diplomasi yang mengecewakan, karena kedaulatan teritorial laut Indonesia sudah seharusnya dijaga dan itu sudah dilindungi oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
Selain akan merugikan nelayan, dia menyebut jika Indonesia mengabulkan konsesi, maka secara langsung Indonesia memberikan karpet merah kepada negara komunis itu. Nelayan dari Vietnam akan lebih leluasa dan tidak lagi harus mencuri ikan di perairan Indonesia.
Alasan kedua kenapa KIARA tidak sepakat jika konsesi diberikan kepada Vietnam, adalah karena Indonesia akan mengalami penyempitan kedaulatan di laut, karena ada ZEE Indonesia yang bisa dimanfaatkan oleh negara lain.
Selain itu, di saat yang sama, justru Vietnam akan mendapatkan keuntungan besar karena wilayah teritorial lautnya justru mengalami perluasan. Itu juga akan memberi negara tersebut keleluasaan untuk memanfaatkan ruang laut tambahan itu secara langsung.
“Pemerintah Indonesia harus bisa menunjukkan sikap yang tegas kepada Pemerintah Vietnam berkaitan dengan kedaulatan teritorial Indonesia,” tutur dia.
Sikap tegas diperlukan, karena itu bisa memperlihatkan kekuatan laut Indonesia di mata negara lain. Terlebih, selama ini nelayan dari Vietnam sering sekali melakukan kegiatan penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan melanggar regulasi (IUUF).
baca juga : Nasib Nelayan Natuna: Terusir Dari Laut Sendiri, Ditangkap di Laut Malaysia
Sikap Tegas
Karena itu, Susan Herawati menilai kalau Indonesia harus melakukan penguatan pertahanan dan mengamankan batas wilayah di semua pulau terdepan. Termasuk, dengan menindak tegas semua aktivitas pencurian ikan oleh asing.
Dengan kata lain, dia menilai kalau kedaulatan teritorial ZEE laut Natuna Utara sudah tidak bisa untuk ditawar lagi, oleh siapa pun dan negara mana pun. Seharusnya, Pemerintah Indonesia menjadikan perundingan yang sudah dilakukan itu sebagai momentum penegasan terhadap wilayah lautnya tanpa bentuk toleransi apa pun.
“Penegasan tersebut akan menjadi pengumuman kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan patuh pada penetapan batas ZEE dalam UNCLOS 1982,” terang dia.
Mewakili KIARA, dia menegaskan bahwa klaim kepemilikan Vietnam atas kawasan laut di perairan Natuna Utara tidak berdasar dan bertentangan dengan UNCLOS 1982. Salah satu alasannya, karena Vietnam bukan merupakan negara kepulauan.
“Merujuk aturan UNCLOS 1982, pemerintah Indonesia berhak untuk mengklaim kawasan perairan ZEE sepanjang 200 mil dari garis pantai yang ada di Kepulauan Natuna,” tambah dia.
Ketegasan Pemerintah Indonesia dalam bernegosiasi dengan Vietnam, atau negara lain dalam memperjuangkan kedaulatan negara di laut, menjadi sangat penting bagi para nelayan dan pegiat pesisir lainnya di wilayah Kepulauan Riau, khususnya di sekitar perairan laut Natuna Utara dan laut Anambas.
Negosiasi yang tegas juga menjadi bukti bahwa Negara hadir di laut untuk memberikan perlindungan penuh kepada para nelayan dan wilayah laut. Tanpa negosiasi tegas, kedaulatan Negara akan terus ditekan, dan pencurian ikan akan terus ada.
baca juga : IOJI: Ada Dugaan Kapal Patroli Vietnam Lindungi Illegal Fishing di Natuna
Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Laurentius Amrih Jinangkung pada kesempatan sebelumnya sudah menegaskan bahwa Indonesia tidak akan mengikuti keinginan Vietnam di wilayah landas kontinen (ZEE) wilayah Laut Natuna Utara.
“Mengikuti keinginan Vietnam hanya akan merugikan kepentingan Indonesia,” ucap dia tegas.
Dia menerangkan, perundingan sudah berjalan hingga 16 kali, karena belum ada titik temu antara kedua negara. Indonesia tegas bahwa garis batas Negara di laut merujuk pada UNCLOS 1982. Namun, Vietnam menginginkan batas negara sejajar dengan garis batas landas kontinen.
Dari perundingan terakhir, diketahui kalau Vietnam mengusulkan adanya pembagian remaining area yang mereka sebut dengan istilah equal. Namun, usulan tersebut dilakukan Vietnam untuk mencari keuntungan yang maksimal.
Itu kenapa, jika usulan tersebut diterima, maka Indonesia kehilangan wilayah laut yang cukup luas dan potensi sumber daya ikan. Itu bukan menjadi usulan Vietnam dalam menyelesaikan persoalan batas kedua negara dan dinilai akan menguntungkan mereka.
“Kalau kita ikuti maunya Vietnam, kita yang rugi. Makanya dari dulu tidak selesai masalah batas wilayah ini. Kendalanya hanya itu saja,” ungkap dia.
Seperti diketahui, perairan laut Natuna Utara sudah dimanfaatkan oleh 5.590 rumah tangga perikanan tangkap lokal. Namun, pemanfaatan ruang laut masih belum maksimal, karena jumlah kapal ikan tidak sebanding dengan banyaknya nelayan lokal.