- Para pemodal terus mengincar pesisir Pulau Madura, antara lain untuk tambak garam. Warga pun was-was pesisir pantai mereka, terlebih masih ada tutupan mangrove, akan habis dan lingkungan mereka pun bakal rusak. Penolakan dan protes warga seperti terjadi di Desa Gersik Putih, Kecamatan Gapura, Sumenep, Madura, Jawa Timur.
- Warga Gersik Putih sudah berkali-kali menolak para investor yang datang untuk mengeksploitasi alam Gersik Putih. Wilayah pesisir tersisa tinggal 45 hektar dengan sebagian bertutupan mangrove. Kini, ada pengusaha datang untuk eksploitasi pantai terakhir itu untuk jadi tambak garam.
- Warga melawan dengan berbagai cara dari menghadang alat berat, audiensi dengan pemerintah desa, camat, pemerintah kabupaten, maupun DPRD Sumenep. Juga, demonstrasi ke depan Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumenep.
- Iskandar Dzulkarnain, penulis buku Sosiologi Garam, bilang seharusnya lahan-lahan tersisa itu tidak usah dibuat tambak garam lagi. Lahan itu, katanya, biarkan untuk keperluan masyarakat. Bila hanya ingin meningkatkan perekonomian masyarakat lewat industri garam, dengan memfungsikan lahan-lahan garam yang tak tergarap PT Garam.
Para pemodal terus mengincar pesisir Pulau Madura, antara lain untuk tambak garam. Warga pun was-was pesisir pantai mereka, terlebih masih ada tutupan mangrove, akan habis dan lingkungan mereka pun bakal rusak. Penolakan dan protes warga seperti terjadi di Desa Gersik Putih, Kecamatan Gapura, Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Warga Gersik Putih sudah berkali-kali menolak para investor yang datang untuk mengeksploitasi alam Gersik Putih. Wilayah pesisir tersisa tinggal 45 hektar dengan sebagian bertutupan mangrove. Kini, ada pengusaha datang untuk eksploitasi pantai terakhir itu untuk jadi tambak garam.
Penolakan setidaknya terjadi dari 2012, 2013, 2018, maupun tahun ini.
“Hari ini, kita menolak lagi karena akan dilakukan [pembangunan] tambak garam oleh pemdes (pemerintah desa) bersama investor dan pemilik sertifikat tanah. Kita lakukan penolakan karena itu akan merusak lingkungan,” kata Ahmad, warga Desa Gersik Putih, awal Juni lalu kepada Mongabay.
Dia bilang, dari 45 hektar itu, 41 hektar akan digarap jadi tambak garam, sekitar 21 hektar ada sertifikat hak milik (SHM).
Lahan seluas 45 hektar berada di bibir laut. Dia merasa aneh, karena perairan bisa ada SHM terbit 2009.
Sisi lain, pantai itu tempat mata pencaharian masyarakat, juga satu-satunya cara mereka akses laut. Selebihnya, hanyalah tambak garam.
Warga mencari ikan, kerang, kepiting, di sana.
Bila rencana pembuatan tambak garam itu tetap lanjut, kata Ahmad, akan berdampak buruk pada kampungnya. Abrasi tidak lagi bisa dihindari. Saat ini saja, kampung ini sudah rawan banjir rob.
Setiap enam bulan sekali, selalu banjir ketika air laut pasang, apalagi dengan ada tambak garam. Dampak ekonomi, sosial, lingkungan, katanya, tidak sepadan dengan laba industri garam.
Alat berat dan sebagian material telah sampai ke Desa Gersik Putih tetapi warga kompak menolak. Mereka menghadang dan mengusir alat-alat berat itu untuk tak beroperasi di laut mereka.
Warga melawan dengan berbagai cara dari menghadang alat berat, audiensi dengan pemerintah desa, camat, pemerintah kabupaten, maupun DPRD Sumenep. Juga, demonstrasi ke depan Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumenep.
“Lahan yang kita tolak itu satu-satunya yang harus kita pertahankan. Dari barat sampai ke ujung Gersik Putih habis. Itu tinggal satu-satunya yang tersisa,” kata Ahmad.
Di lokasi itu juga ada tutupan mangrove, tangkis laut alami untuk menahan banjir dan abrasi serta tempat hidup beberapa jenis biota laut. Bagi masyarakat setempat, mereka mempertahankan itu untuk para generasi mereka nanti.
Iskandar Dzulkarnain, penulis buku Sosiologi Garam, bilang seharusnya lahan-lahan tersisa itu tidak usah dibuat tambak garam lagi. Lahan itu, katanya, biarkan untuk keperluan masyarakat.
Bila hanya ingin meningkatkan perekonomian masyarakat lewat industri garam, katanya, dengan memfungsikan lahan-lahan garam yang tak tergarap PT Garam.
“Lebih baik desa minta ke PT Garam untuk menggarap lahan-lahan yang tidak produktif di Gersik Putih yang kebetulan milik PT Garam,” katanya Mei lalu.
Rekomendasi itu juga Iskandar usulkan saat audiensi masyarakat dengan pemerintah desa. Jadi, selain melindungi pantai tersisa, masyarakat juga bisa lebih ringan dan desa dapat keuntungan tanpa harus merusak alam.
Pemerintah perlu belajar pada sejarah pergaraman di Madura dan tak terus mengeksploitasi alam karena berbagai dampak buruk bisa muncul.
Dosen Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya, Universitas Trunojoyo Madura (UTM) ini mengatakan, lingkungan Madura tampak setelah ada Jembatan Suramadu yang diresmikan pada 10 Juni 2009 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Jembatan sepanjang 5.438 meter itu menghubungkan Pulau Jawa (Surabaya) dengan Pulau Madura (Bangkalan).
Sejak ada jalan itu, investasi ke Madura mulai masuk karena akses makin mudah.
“Ketika belum ada Suramadu mungkin belum ada yang untuk investasi di Madura karena akses jalan, transportasi sangat terbatas karena harus menyeberang [dengan] kapal,” katanya.
Banyak area pesisir di Madura mengalami alih fungsi lahan, antara lain jadi tambak udang dan tambak garam.
Dia bilang, para investor tambak udang itu kebanyakan dari luar Madura.
Sejalan dengan alih fungsi lahan untuk industri, katanya, makin marak juga bencana alam di Madura seperti banjir, longsor, angin puting beliung, dan cuaca ekstrem.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur, bencana alam berupa banjir dan cuaca ekstrem pada 2022 terjadi 15 kali, banjir delapan kali dan cuaca ekstrem tujuh kali.
Amir Mahmud, periset agrarian, pernah jadi Direktur Eksekutif Pusat Studi dan Dokumentasi Agraria Indonesia Sajogyo Institut, mengatakan, nanyak aspek yang berkontribusi terhadap peristiwa ekstrem atau bencana dampak ulang manusia ini.
“Anehnya, bencana ini dianggap sebagai peristiwa alam. Ini yang saya lihat berbahaya, harusnya itu peristiwa (akibat) manusia,” katanya, Mei lalu.
******