- Sampah masih jadi persoalan besar di Kota Banjarmasin. Sampah-sampah banyak mengapung maupun berserakan di perairan maupun daratan. Di daratan banyak muncul tempat pembuangan sampah (TPS) liar dengan sampah meluber ke jalanan.
- Kondisi beberapa TPS resmi di Banjarmasin juga tak jauh lebih baik seperti TPS Kelurahan Gadang, Kecamatan Banjarmasin Tengah. Sejumlah pengendara yang melintas dengan bebas melempar sampah semau mereka. Di TPS resmi lainnya, sampah meluber sampai ke jalanan sampai menimbulkan bau tak sedap.
- Alive Yoesfah Love, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Banjarmasin mengatakan, persoalan sampah di kota ini kian sulit. Perilaku masyarakat yang mau serba ringkas, katanya, jadi salah satu faktor masalah. Sampah di sungai, luberan sampah TPS, dan banyak TPS-TPS liar menjadi sederet contoh kalau warga enggan membuang sampah di tempat dan waktu yang ditentukan.
- Hamdi, ahli Tata Kota dan Lingkungan di Banjarmasin, menilai, Pemerintah Kota Banjarmasin masih setengah hati menangani soal sampah.Pemerintah Kota Banjarmasin saat ini tidak punya road-map jelas. Pemerintah Banjarmasin dianggap tidak konsisten terhadap beberapa langkahnya mengenai sampah.
Perahu bermesin—biasa disebut kelotok– melintas di perairan Sungai Martapura, Kelurahan Basirih, Banjarmasin Barat, Kalimantan Selatan, sore itu awal Juni lalu. Tiba-tiba dari atas perahu, seorang pria membuang satu bundelan sampah terbungkus plastik kecil ke aliran sungai.
“Bubuhan (orang-orang) di kapal itu biasa buang bekas bungkusan makanan ke air,” kata Muhammad Yusuf, warga di bantaran Sungai Martapura, Kelurahan Basirih.
Sampah-sampah itu terbawa larut, tak sedikit yang mengendap di kolong-kolong rumah warga di bantaran sungai.
“Kalau kami, warga di sini kada wani (tidak berani). Kada pernah melihat. Kami biasa buang ke tempatnya. Bayar iuran juga Rp15.000 tiap bulan,” kata Yusuf, sembari menambahkan sungai yang begitu luas bisa saja sampah datang dari mana saja.
Sampah jadi satu persoalan di Kota Banjarmasin. Potret sungai dengan jejalan sampah bisa didapati di aliran-aliran di sudut kota ini.
Seperti sungai di sepanjang Achmad Yani Banjarmasin, sungai di Alalak Banjarmasin maupun Antasan Kecil Timur Banjarmasin.
Edo, warga di Antasan Kecil Timur Banjarmasin, mengatakan, kalau sampah-sampah itu bawaan dari tempat lain.
“Kalau warga sini, saya gak pernah lihat buang sampah ke sungai. Tapi kurang tahu kalau pas tidak ada yang lihat. Kalau kami biasanya menaruh sampah di depan rumah dan mengupah tukang angkut untuk membuang ke TPS,” katanya.
Untuk membersihkan sampah di sekitar mereka, kata Edo, warga punya kemampuan terbatas. Kebanyakan warga hanya bergerak ketika ada komando. Dia pun meminta, pemerintah turut turun tangan mengorganisir warga bergotong-royong membersihkan sampah-sampah di sungai.
“Amun (bila) pemerintah diam, ya warga juga tidak bergerak. Jika pun bergerak, tidak semua.”
Tak hanya di sungai, di darat sampah banyak berserakan. Sejumlah TPS liar mudah ditemukan di sudut-sudut Kota Banjarmasin. Sampah-sampah di TPS liar biasa ditaruh warga pada malam hari. Satu contoh di sekitar Kompleks Persada, Kelurahan Alalak Tengah, Kecamatan Banjarmasin Utara ada dua TPS liar.
Meski sudah terpasang spanduk larangan membuang sampah, saban hari ada saja warga yang tak menghiraukan imbauan dari Dinas Lingkungan Hidup itu.
TPS liar juga ditemui di sekitar Jalan Pramuka (Kecamatan Banjarmasin Timur), Jalan Sutoyo S (Kecamatan Banjarmasin Tengah), Jalan Japri Zam-Zam (Kecamatan Banjarmasin Tengah) dan Jalan Tembus Mantuil (Kecamatan Banjarmasin Selatan).
TPS liar juga ada di Jalan Gubernur Soebardjo, Banjarmasin Barat. Di tempat ini, kalau sampah sudah terlalu banyak dan tak terangkut, malah ada yang membakarnya.
“Karena sampah terlalu banyak, tadi ada yang bakar,” ujar pengepul sampah.
Kondisi beberapa TPS resmi di Banjarmasin juga tak jauh lebih baik seperti TPS Kelurahan Gadang, Kecamatan Banjarmasin Tengah.
Sejumlah pengendara yang melintas dengan bebas melempar sampah semau mereka.
Dalam Perda Kota Banjarmasin Nomor 21/2011 tentang Pengelolaan Persampahan atau Kebersihan dan Pertamanan, dengan tegas mengatur warga hanya boleh membuang sampah ke TPS dari pukul 20.00-06.00.
TPS ini bersisian dengan dua sekolah, SMP Negeri 10 Banjarmasin dan SD Negeri Gadang 2 Banjarmasin serta satu puskesmas pembantu.
Nia, perdagang sekitar TPS prihatin. Dia menyinggung peletakan bak sampah portabel yang memakan hampir sebagian badan jalan.
“Jika seperti ini terus, kasihan anak-anak sekolah, orang berobat dan pengendara. Karena selain memakan jalan, bau TPS itu juga sangat mengganggu,” katanya.
Kapasitas bak TPS bahkan akan makin penuh menjelang pukul 22.00.
“Bisa empat kali lipat lebih banyak dari kapasitas bak. Sampahnya hampir menutup jalan. Bahkan, berserakan sampai ke depan gerbang sekolah.”
Kapasitas TPS Gadang penuh lantaran bukan hanya warga sekitar yang membuang sampah di sana, tetapi dari Kelurahan Melayu, Kelurahan Seberang Masjid, dan kelurahan lain yang terdekat.
Air sampah keluar dan menggenang di jalan membuat aspal di sekitar TPS rusak. “Jalan jadi berlubang. Berkali-kali ditambal, tetap saja rusak lagi,” katanya.
Nia mendesak Pemerintah Kota Banjarmasin, punya solusi konkret hingga warga bisa tetap membuang sampah tetapi terkelola dengan baik dan tak menimbulkan polusi di lingkungan sekitar.
TPS resmi lain dengan kondisi miris seperti di kawasan Lingkar Dalam Selatan, Kelurahan Pekapuran Raya, Banjarmasin Timur. Tumpukan sampah hingga menjorok ke jalan raya mudah terlihat pada siang hari.
“Saya sebagai pengendara terganggu, karena sampah yang meluber ke jalan itu sering sebabkan macet,” ujar Hans, pengendara motor.
Hans juga meminta, Pemerintah Kota Banjarmasin punya solusi untuk persoalan ini.
Kondisi demikian juga bisa dilihat di TPS yang ada di kawasan Cemara Raya, Banjarmasin Utara. Serakan sampah hampir menutupi separuh ruas jalan, terlebih pada dini hari. TPS ini hanya berjarak beberapa meter dari sungai, yang memperbesar kemungkinan beberapa sampah terjatuh ke aliran air.
Tempat Pembuangan Sampah (TPA) Basirih pun tak kalah menyedihkan. TPA Basirih yang jadi satu-satunya tempat pembuangan akhir sampah di Kota Banjarmasin, diperkirakan sekitar 400-450 ton sampah dikirim ke area seluas 39 hektar itu.
Berbagai upaya
Alive Yoesfah Love, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Banjarmasin mengatakan, persoalan sampah di kota ini kian sulit. Perilaku masyarakat yang mau serba ringkas, katanya, jadi salah satu faktor masalah.
Sampah di sungai, luberan sampah TPS, dan banyak TPS-TPS liar menjadi sederet contoh kalau warga enggan membuang sampah di tempat dan waktu yang ditentukan.
Dinas, katanya, melakukan beberapa upaya penanganan sampah ini, antara lain, surung sintak. Program ini sudah berjalan sejak November 2020. Konsepnya, warga dengan tempat tinggal jauh dari TPS, sampah dikelola kelurahan.
Ada 11 titik layanan di sembilan kelurahan dengan mengerahkan 200 petugas gerobak, dan enam mobil konvektor untuk mengangkut sampah yang rata-rata berkisar 22 ton per hari ke TPA Basirih.
Alive mengatakan, program ini bisa mengurangi ketergantungan terhadap TPS. Buktinya, kalau dahulu ada 100 TPS yang tersebar di lima kecamatan di Banjarmasin, kini tersisa 80 TPS.
Program lain, katanya, pemanfaatan sampah-sampah organik, yang mencapai 60% dari produksi sampah per hari di Banjarmasin.
“Meski terus terang, belum maksimal, tapi kita berupaya, seperti yang dilakukan di TPS3R dan bank sampah untuk pembuatan pupuk dan budidaya maggot,” katanya.
Dari hasil pemanfaatan ini, dapat mengurangi satu ton sampah yang dibawa ke TPA Basirih setiap hari.
Pemkot Banjarmasin juga punya Perwali Nomor 18/2016 yang meregulasi pengurangan penggunaan sampah plastik di minimarket. Aturan ini juga dianggap berhasil mengurangi 12 ton sampah perhari.
Untuk sampah di sungai, Dinas Lingkungan Hidup Kota Banjarmasin punya program lomba maharagu (memelihara) sungai yang diselenggarakan tiap setahun sekali.
“Harapannya, masyarakat bisa terpacu membersihkan sungai di sekitar tempat tinggalnya.”
Ada juga program b’babasah (bawah barumahan barasih sampah) sekitar satu tahun terakhir. Ia dikerjakan masyarakat, kelurahan, kecamatan, danpara pihak lain.
Pada 2023, program b’babasah ini menyasar 100.000 kolong rumah warga di pinggiran sungai, bersih dari sampah.
“Dari data 2022, pengurangan sampah di Banjarmasin mencapai 25,99%. Di 2023, kita targetkan 30%.”
Untuk persoalan TPA, kata Alive, usia teknis sudah lewat sejak 2020. Namun, dengan sejumlah program pengurangan sampah ini, kini TPA Basirih masih bisa dipakai untuk beberapa tahun ke depan.
Dari total 39 hektar luasan TPA Basirih, hanya 30 hektar yang terpakai. Sisanya, gedung perkantoran dan masih ada lahan belum tergarap.
Namun, katanya, mereka akan mengusahakan bisa menambah sekitar 4 hektar luasan TPA pada 2023 ini.
“Kita juga sedang lakukan kajian untuk mencari formula pengelolaan sampah di TPA.”
Pemerintah Kota Banjarmasin katanya, juga akan menekan pengembang perumahan agar menyiapkan lahan khusus untuk penampungan sampah. Kalau tidak, izin pembangunan takkan diterbitkan.
“Setiap pengembang wajib menyediakan tempat atau lahan untuk TPS3R atau TPS dengan kapasitas yang sesuai dengan jumlah penduduk yang tinggal,” katanya.
Marzuki, Kepala Bidang Kebersihan dan Pengelolaan Sampah, Dinas Lingkungan Hidup Banjarmasin, mengusul revisi Perda Nomor 21/2011.
Menurut pria yang akrab disapa Jack itu, perlu ada klausul khusus mengenai aturan manajemen sampah dari masyarakat sebelum dibuang ke TPS.
“Di perda saat ini tidak ada klausul spesifik yang mengatur manajemen sampah dari masyarakat ke TPS. Revisi perlu supaya bisa mengatur soal manajemen sampah itu mesti diapakan, dikelola oleh siapa, dikoordinir oleh siapa. Kita mau pertajam sampai ke sana. Ini sudah kita usulkan juga ke dewan.”
Afrizaldi, Wakil Ketua Komisi III di DPRD Banjarmasin, mengatakan, penanganan sampah di kota ini bukan semata tanggung jawab Dinas Lingkungan Hidup. Semua sektor, katanya, dari seluruh satuan perangkat kerja daerah (SKPD), kepala daerah bahkan masyarakat harus punya kesadaran mengenai tugas ini.
“Semua lintas sektor harus bahu membahu dan bekerja sama menanganinya.”
Pemerintah kota, katanya, wajib punya gagasan mengenai program yang terfokus penanganan sampah. Sebagai pimpinan, Wali Kota Banjarmasin, Ibnu Sina, kata Afrizaldi, mesti punya cara jitu dalam mengambil suatu kebijakan yang berkelindan dengan penanganan sampah.
Pemerintah Kota Banjarmasin, katanya, mesti bisa jadi contoh untuk masyarakat dalam upaya pengurangan sampah.
Dia contohkan, dalam kegiatan yang digelar dari tingkat lurah, kecamatan, SKPD, jangan lagi pakai produk-produk yang bisa menghasilkan sampah, seperti minuman kemasan sekali pakai.
“Begitupun event-event yang diselenggara Pemerintah Kota Banjarmasin… pikirkan juga soal sampah yang dihasilkan dan bagaimana cara menanganinya,” katanya seraya bilang, kalau satu kegiatan dinilai tak mendukung penanganan sampah, kepala daerah bisa tak setuju.
Kemudian, di bagian pengarsipan, ujar Afrizaldi, Pemerintah Kota Banjarmasin harus sudah meminimalisir bahkan tidak lagi pakai kertas. “Saatnya bermigrasi dari arsip manual ke digital.”
Berikutnya, para wirausaha baru atau UMKM di bawah naungan Pemerintah Kota Banjarmasin, harus ada edukasi agar menghasilkan produk minim sampah.
Contoh lain, katanya, dari Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin, harus bisa menumbuhkan kesadaran kepada anak-anak usia sekolah untuk tak menghasilkan sampah.
Begitu juga, para PNS di lingkup pemerintahan diwanti-wanti untuk tak membeli barang yang berpotensi menghasilkan sampah.
Wali Kota Banjarmasin juga, mesti menjalin koordinasi dengan Pemerintah Kalimantan Selatan dan kabupaten tetangga, seperti Kabupaten Banjar mengenai persoalan ini.
“Masyarakat dari Kabupaten Banjar yang diduga menambah buangan sampah ke kota ini juga harus dikontrol oleh pemerintah kota,” katanya.
Tak ada peta jelas atasi sampah
Hamdi, ahli Tata Kota dan Lingkungan di Banjarmasin, menilai, Pemerintah Kota Banjarmasin masih setengah hati menangani soal sampah.
“Pemerintah Kota Banjarmasin saat ini tidak punya road-map jelas,” kata mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Banjarmasin ini.
Pemerintah Kota Banjarmasin dianggap tidak konsisten terhadap beberapa langkahnya mengenai sampah. “Dulu, saat rapat, peserta diminta untuk membawa botol minum sendiri, dilarang memakai produk minuman kemasan. Saat ini, sudah tidak jalan lagi,” katanya.
Dari pernyataan-pernyataan pemerintah kota biasa beralasan selalu kekurangan petugas, dan armada pengangkutan, hingga TPA yang penuh.
“Pola pikir kumpul, angkut, buang itu sudah tidak relevan lagi. Jika ini terus dilakukan, ujung-ujungnya, persoalan sampah tidak akan habis,” katanya.
Dia sarankan, bagaimana cara pemerintah melakukan pencegahan timbulan sampah.
Mengenai Perwali Nomor 18/2016 perihal larangan penggunaan sampah plastik di minimarket, Hamdi, merupakan salah satu motor penggagas waktu masih menjabat Kepala Dinas Lingkungan Hidup. Langkah itu, katanya, sudah cukup baik.
Namun, katanya, aturan itu mestinya sudah lebih maju lagi saat ini, misal, pelarangan pakai kantong plastik sekali pakai bisa dicoba di pasar-pasar tradisional.
“Tak hanya di minimarket. Kika kita bicara sampah plastik, itu penghasil paling banyak di pasar tradisional.”
Hamdi menyadari, pelarangan di pasar tradisional ini memang tak mudah, tetapi bukan tidak bisa dilakukan. “Ini akan memakan waktu lama. Kalau tidak dari sekarang kapan lagi?”
Untuk langkah awal, katanya, pemerintah kota bisa jadikan satu pasar sebagai uji coba. Adakan pertemuan dengan pengurus pasar, petakan, ada pedagang klontong, pedagang basah, pedagang sembako dan bagi jadi beberapa kelompok.
“Sebagai uji coba, karena pedagang klontong dinilai lebih jarang pakai plastik, buat satu komitmen bersama untuk tidak menggunakan lagi. Setelah itu, belakangan ke pedagang basah dan lainnya. Kalau berhasil di satu pasar, bisa jadi contoh di pasar lain. Ini harus dimulai dari sekarang!”
Pemerintah Kota Banjarmasin juga diminta aktif sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait sampah-sampahnya.
“Ini upaya mengurangi sampah dari sumber, yang kebanyakan dari rumah tangga, perkantoran dan pusat niaga.”
Dia bilang, perlu ada penyadaran kepada masyarakat agar memilah sampah bahkan mengelola sampah mereka. Misal, katanya, masyarakat diajarkan memanfaatkan sampah basah dan kering, seperti kertas, karton dijual ke pengepul atau bank sampah.
Caranya bagaimana? Hamdi bilang, Pemerintah Kota Banjarmasin bisa membuat satu kawasan percontohan. Misal, Dinas Lingkungan Hidup memberikan pelatihan kepada beberapa kelompok masyarakat di tiap kecamatan di Banjarmasin.
Anggap saja sebagai penjajakan, kata Hamdi, ada lima kelompok di tiap kecamatan. Kelompok masyarakat ini dapat edukasi untuk mengolah kompos dari sampah organik mereka. Kegiatan masyarakat itu kemudian dikerjasamakan dengan Dinas Pertanian untuk memberikan bibit tanaman.
“Tiap satu kelompok diberikan bibit beragam, misal satu kelompok ada tomat, di kelompok lain terong, dan lain-lain. Nah, hasil olahan kompos tadi dimanfaatkan untuk media tanam bibit,” katanya.
Kalau satu kecamatan ada lima kelompok, akan ada 25 kelompok di lima kecamatan. “Hasil kerja mereka itu bisa dilihat oleh masyarakat lain. Harapannya bisa dicontoh.”
Pemerintah Kota Banjarmasin, katanya, juga bisa merangkul semua kalangan, dari perguruan tinggi bahkan media. “Kawan-kawan media bisa dirangkul untuk menjadi provokator positif, untuk memotivasi masyarakat lain.”
********