- Buntut warga mengkonsumsi bangkai sapi, antraks mewabah di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Gunung Kidul, sebanyak 87 orang positif terjangkit antraks, satu meninggal dunia.
- Dewi Irawaty, Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Gunung Kidul, mengatakan, terungkap puluhan warga itu diketahui dari hasil uji laboratorium oleh Balai Besar Veteriner. Dari sekitar 125 orang diperiksa, 87 orang dinyatakan positif.
- Kementerian Pertanian menyebut, antraks merupakan kelompok penyakit zoonosis yang menular dari hewan ke manusia. Di Indonesia, penyakit ini pertama kali dilaporkan muncul pada 1832 di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.
- Penyakit antraks disebabkan bakteri Bacillus anthracis (B. anthracis). Bakteri ini jamak menyasar hewan pemakan rumput herbivora, seperti sapi, domba, kambing bahkan satwa liar sekalipun.
Buntut warga mengkonsumsi bangkai sapi, antraks mewabah di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Gunung Kidul, sebanyak 87 orang positif terjangkit zoonosis ini, satu meninggal dunia.
Dewi Irawaty, Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Gunung Kidul, mengatakan, terungkap puluhan warga itu diketahui dari hasil uji laboratorium oleh Balai Besar Veteriner. Dari sekitar 125 orang diperiksa, 87 orang dinyatakan positif.
Dia bilang, tidak semua warga yang terkonfirmasi antraks memiliki gejala. Sebagian besar justru tidak alami gejala apapun hingga tak memerlukan perawatan intensif di rumah sakit.
“Kalau saat ini tidak ada yang dirawat di rumah sakit karena hampir semua tanpa gejala,” katanya saat dihubungi Mongabay, Rabu (5/7/23) siang.
Dewi katakan, mencuatnya kasus antraks ini bermula dari warga asal Dusun Jati, Kecamatan Semanu, meninggal dunia awal Juni lalu. Dari diagnosa terungkap yang bersangkutan positif antraks.
Dari hasil penelusuran juga mendapati bila pasien bersangkutan baru mengonsumsi bangkai sapi yang sebelumnya telah dikubur.
Mereka lantas melakukan surveilance hingga mendapati 125 warga yang ikut mengkomsumsi daging itu.
“Awal kami pemeriksaan ada dua yang positif. Kemudian pemeriksaan kedua ada 85, total 87 orang positif,” katanya.
Dewi bilang, korban meninggal simpang siur. Sejauh ini, katanya, data mortalitas (pasien meninggal) kasus antraks masih satu orang, berdasar diagnosa rumah sakit.
“Untuk dua orang lainnya memang berasal dari kluster yang sama (mengkonsumsi daging). Karena sebelumnya tidak dilakukan diagnosa antraks, jadi kami tidak berani menyebutnya karena antraks.”

Bukan kasus pertama
Kementerian Pertanian menyebut, antraks merupakan kelompok penyakit zoonosis yang menular dari hewan ke manusia. Di Indonesia, penyakit ini pertama kali dilaporkan muncul pada 1832 di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.
Penyakit antraks disebabkan bakteri Bacillus anthracis (B. anthracis). Bakteri ini jamak menyasar hewan pemakan rumput herbivora, seperti sapi, domba, kambing bahkan satwa liar sekalipun.
Tantangan paling besar pada penyakit ini adalah kemampuan B. anthracis untuk membentuk endospora yang betahan di dalam tanah hingga puluhan tahun. Dengan begitu, dia dapat jadi sumber infeksi sepanjang waktu yang dapat menganggu kesehatan hingga kematian bukan hanya pada hewan, juga manusia.
Mencuatnya kasus antraks di Gunung Kidul, tepatnya di Kecamatan Semanu sebenarnya bukan kali pertama terjadi. Merujuk data yang Kementerian Kesehatan, kasus serupa pernah terjadi dalam beberapa tahun terakhir, 2019, 2020, 2021, dan 2022.
Pada Mei-Juni 2019, Kemenkes menemukan tiga warga yang terkonfirmasi antraks. Lalu, pada Desember 2019-Januari 2020, ada 21 orang juga alami gejala klinis antraks. Satu meninggal dunia.
Wibawanti menuturkan, Kepala Dinas Peternakan Gunung Kidul, mengatakan, sebelumnya ada kasus serupa tahun lalu.
Kala itu, enam sapi warga mati mendadak juga dinyatakan positif antraks. “Sekarang, ada empat yang kena. Lokasi sama persis dengan yang dulu, di dusun yang sama,” katanya.
Wibawanti bilang, menyusul temuan kasus itu, mereka segera melakukan surveilance dan memberikan antibiotik pada seluruh ternak warga. Dua minggu kemudian, vaksinasi anti antraks.
“Kami juga berkoordinasi dengan kepala dusun agar tidak ada ternak yang dibawa keluar supaya antraks ini tidak menyebar kemana-mana,” kata Wibawanti.
Dia tak mengelak, sebagai daerah endemi, antraks menjadi ancaman tiap tahun. Karena itu, upaya penanganan dan pencegahan mengikuti protap berlaku. Dia contohkan, penanganan pada sapi mati.
Berdasar protap, ternak mati harus dikubur dengan kedalaman minimal dua meter. Itu pun pada bagian atas harus ditutup dengan semen guna menghindari penyebaran. Sebab, spora dalam bakteri antraks mampu bertahan hingga puluhan tahun meski berada dalam tanah.
“Masalahnya, ternak ini sudah mati. Bukan dikubur dengan lapisan semen, tapi di-porak (dipotong-potong untuk dibagikan dagingnya). Jadinya ya kemana-mana,” jelas Wibawanti.
Sejauh ini, total ada 77 sapi dan 286 domba yang diberikan antibiotik pasca temuan kasus antraks itu. Kemudian, di beberapa lokasi yang sebelumnya ditemukan kasus, dilakukan penyiraman cairan dengan kandungan formalin 10%. Sampai saat ini, total 150 liter formalin dihabiskan untuk penyiraman.
“Selama dua bulan ini kami minta ternak-ternak dari daerah endemik sementara waktu tidak dilalulintaskan keluar dulu,” kata Wibawanti.
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik sejatinya menerbitkan petunjuk teknis perihal pencegahan dan pengendalian antraks. Termasuk dengan tidak boleh menyembelih hewan sakit antraks.
Penyembelihan hewan hanya boleh di rumah potong hewan. Atau, bila pun dilakukan di luar rumah potong hewan, harus mendapat izin dari Dinas Peternakan.
Selain itu, daging dari ternak yang terkonfirmasi antraks juga dilarang dikonsumsi. Larangan juga berlaku untuk pembuatan barang dari bahan atau material hewan terjangkit antraks. Misal, kerajinan dari tanduk, kulit, tulang atau bulu.
Kemudian, hewan yang rentan terhadap antraks seperti sapi, kerbau, kambing, domba, kuda, harus dilakukan vaksinasi secara rutin.
Dokumen itu juga mengungkap potensi penularan antar manusia, meski tidak terlalu serius. Kendati demikian, kewaspadaan standar (baku) tetap perlu dalam penanganan penyakit antraks di fasilitas kesehatan. Terutama guna mencegah penyebaran melalui inhalasi.
Sumber penularan antraks pada manusia biasanya akibat dari kontak dengan produk atau kontak dengan hewan pemamah, seperti sapi, kerbau, kambing dan domba yang terinfeksi bakteri antraks.
Beberapa upaya penanganan yang bisa dilakukan adalah tak mengonsumsi ternak sakit atau mati mendadak. Hewan positif antraks harap segera dikubur dengan kedalaman minimal dua meter.
Baca juga: Penyakit Mulut dan Kuku Hewan Mewabah, Pemerintah Kecolongan?

Masa inkubasi
Munawaroh, Ketua Umum Persatuan Dokter Hewan (PDHI), mengatakan, antraks merupakan penyakit oleh bakteri dengan cara penyebaran melalui spora.
Yang menjadi masalah, katanya, spora ini bisa bertahan hingga puluhan tahun di dalam tanah atau rerumputan yang potensial dimakan ternak, seperti sapi atau kambing. “Jadi kalau ternak makan rumput ada sporanya, pasti akan terpapar.”
Dia bilang, spora ini cukup kuat dan kemampuan bertahan bisa sampai puluhan tahun hingga kasus berulang. “Itu yang memyebabkan muncul lagi-muncul lagi,” katanya,
Potensi penyebaran akan makin besar ketika terjadi hujan. Sebab, spora yang ada dalam tanah atau media tertentu berpeluang ikut terbawa arus. “Ini tidak mudah ditangani karena spora mampu bertahan hidup sangat lama,” katanya.
Hal itu pula yang membuat antraks berbeda dengan penyakit mulut dan kuku (PMK) yang banyak menyerang sapi. PMK karena virus, sedang antraks itu bakteri.
“Bedanya, kalau PMK itu tidak bisa menular ke manusia. Tetapi kalau antraks ini bisa menular ke manusia, bahkan menyebabkan kematian.”
Bakteri yang masuk ke tubuh manusia akan menyebar. Organ-organ yang terserang bakteri antraks pada akhirnya tak berfungsi, seperti limpa kemudian menghitam.
Serangan antraks berlangsung cepat. Pada sapi, serangan antraks biasa ditandai dengan gejala peningkatan suhu di atas normal. Setelah itu, darah keluar dari lubang-lubang pada tubuh sapi, seperti telinga, lubang hidung atau lubang kotoran.
Menurut Munawaroh, keluarnya darah itu sebagai indikasi organ dalam rusak alias infeksi. Jika sudah begitu, sapi akan sulit diobati yang akhirnya mati.
Hal itu sedikit berbeda dengan gejala pada manusia. Seseorang yang terindikasi terkena antraks, katanya, biasa kulit gatal-gatal diikuti gangguan pernapasan.
Ada beberapa penyebab penularan antraks pada manusia. Pertama, mengonsumsi daging sapi atau ternak yang terkonfirmasi terkena penyakit ini. Karena itu, cara pencegahan dengan TAK mengonsumsi daging dimaksud.
“Makanya, (mengonsumsi) itu sangat dilarang, karena cepat menularkan. Da, gejalanya biasanya tidak lama untuk bisa menyebabkan kematian,” ujar Munawaroh. Bahkan, sekalipun daging dimasak dengan suhu tinggi, tidak menyebabkan spora dalam daging mati.

Dia bilang, bakteri antraks memiliki masa inkubasi relatif cepat, antara 14-30 hari. Seseorang yang terpapar bakteri ini, katanya, kemungkinan tak akan bertahan dalam waktu sebulan bila tak ditangani.
Pada 14 hari pertama, katanya, masa inkubasi awal dengan gejala ringan. Pada 14 hari kedua, biasa sudah tahap parah karena bakteri yang masuk menyebar dan merusak organ dalam tubuh.
Selain dengan mengonsumsi daging, antraks juga dapat menular lewat sentuhan atau kontak badan. “Misal, ini ada seseorang yang punya luka dan luka mengenai daging atau sapi positif antraks, itu juga bisa tertular.”
Untuk pencegahan, Munawaroh meminta pemerintah segera memeriksa seluruh sapi dan vaksinasi yang masih sehat.
Selain itu, pencegahan dapat dengan memberi antibiotik dosis tepat. “Vaksinasi ini seharusnya secara rutin. Minimal setahun dua kali.”
Yang tak kalah penting, kata Munawaroh, lakukan lokalisas. Sapi-sapi dari daerah endemik, dilarang dibawa keluar.
Karena itu, katanya, penjagaan di pintu-pintu keluar atau perbatasan antar daerah harus dilakukan. “Kalau ini tidak dilakukan dan menyebar kemana-mana, dampaknya akan luar biasa baik secara ekonomi maupun sosial.”
Wayan Tunas Artama, pakar zoonosis Universitas Gadjah Mada (UGM) menyabut, penanganan antraks sejatinya dapat dikendalikan dengan mudah.
“Itu jika gejalanya dapat diketahui sejak dini. Cukup antibiotik, ternak akan sembuh. Kalau tidak, ya dampaknya akan luar biasa. Baik secara ekonomi maupun sosial. Ketahanan pangan pun terganggu, karena daging menjadi sumber pangan,” katanya.
Antraks yang berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 4026/2013 ditetapkan sebagai satu dari 25 penyakit hewan menular strategis (PHMS).
Penyebaran penyakit ini, dapat mengakibatkan kematian dan kerugian ekonomi tak sedikit. Karena itu, pengendalian penyakit ini mesti jadi prioritas Kementerian Kesehatan maupun Kementerian Pertanian.

******