- Di tengah perubahan iklim, perempuan memilik peran strategis. Selain mengurusi rumah tangga juga membantu suami mereka membudidayakan rumput laut.
- Pekerjaan mereka berkali lipat, mulai mengikat bibit, membersihkan lahan hingga mengawal sampai rumput laut dikeringkan. Ada juga yang tiap hari, menghabiskan waktu lokasi budidaya.
- Dampak perubahan iklim tak sekedar membuat cuaca tak menentu, tetapi juga mempengaruhi kesuburan perairan termasuk merubah pola tanam dari pada biasanya.
- Penyakit bulu kucing merebak dan sulit terkendali di alami sebagian pembudidaya. Penyakit ini disebabkan semacam epifit yang menyerap nutrisi dari rumput laut. Akibatnya, tanaman tidak bisa berkembang dan produktif.
Tulisan sebelumnya:
[1] Saat Dampak Pergeseran Musim Mencemaskan Pembudidaya Rumput Laut Pulau Seram
[2] Nasib Pembudidaya Rumput Laut di Seram: Hidup Pas-Pasan di Tengah Perubahan Iklim
Dua sosok ibu dan seorang remaja perempuan terlihat meriung di teras rumah. Meski berhadapan, di antara mereka tak saling mengobrol. Masing-masing, sibuk mengikat bibit rumput laut dengan seutas tali nilon.
Pemandangan itu lazim terlihat di Dusun Wael, Desa Piru, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku. Sementara, ada pula ibu-ibu yang ikut memanen, mengeringkan dan rutin ke lahan budidaya membantu suami. Dari sekian ibu–ibu, salah satunya Wa Kalsum.
Kepada Mongabay, dia bercerita kerap kali bolak–balik Dusun Wael dan Perairan Pulau Buntal memantau lahan rumput laut. Dengan jukung, dia biasa menemani suaminya, La Yaman.
“Membersihkan lumut dan sampah yang menempel di rumput laut,” jelasnya, mendeskripsikan tujuannya.
Baginya, cara membersihkan rumput laut amat sederhana. Cukup mengangkat bentangan tali pengikat rumput laut ke permukaan, digoyang-goyangkan hingga lumut dan sampah terlepas, lalu talinya dijatuhkan lagi. Jika lumut tidak segera dibersihkan, sebutnya mengganggu pertumbuhan rumput laut.
”Nanti berubah warna menjadi pucat dan mudah terserang penyakit ice-ice.”
Aktivitas serupa sudah dilakukannya sejak 2004, -meski sempat berhenti di tahun 2016 saat limbah pabrik pengelolaan sagu mencemari perairan di dusunnya, namun sekarang menjadi rutinitasnya
Namun dia mengakui bahwa di tahun 2022 ini, kendala cuaca tak menentu jadi masalah yang menyebabkan bergesernya pergantian angin musim barat ke angin musim timur. Akibatnya dia dan suaminya semakin sering ke lokasi budidaya. Dalam seminggu bisa dua kali atau lebih.
Aktivitasnya sekarang, tak hanya membersihkan sampah dan lumut, tapi juga menurunkan tali bentangan di kala hujan.
Setidaknya, rumput laut harus ada pada posisi 50 cm di bawah air. Sebaliknya saat panas terik dan berangin, perlu dinaikkan hingga menyentuh permukaan, saat air bergerak tergoyang.
Di luar aktivitas itu, Wa Kalsum pun terlibat saat panen. Hasil panen tidak semuanya dia keringkan, juga dia sisakan untuk bibit. Waktu panen biasanya 45 hari untuk bibit rumput laut dengan bobot 150-200 gram, sedangkan bibit berbobot 100 gram, 2 bulan.
Pekerjaan serupa juga dilakukan Safiana. Dia bilang, awal budidaya rumput laut pada 2022, sering membantu suaminya Syahidin Ali Maruf. Safina bertugas mengikat pelampung ketika bibit rumput laut hendak dipasang di perairan.
Setahun berlalu, dia mengakui suaminya kerap mengeluhkan dampak perubahan iklim. Dari cuaca yang berubah tak menentu, terkadang panas selama tiga hari dan begitu sebaliknya hujan.
Keluhan Wa Kalsum dan Safiana, adalah potret kecil perubahan iklim yang dialami mayoritas istri para pembudidaya rumput laut.
Merawat Ekstra di Tengah Cuaca yang Berubah
Dalam laporan Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK) di Maluku sepanjang 2016–2020 yang diterbitkan The United States Agency for International Development (USAID) disebutkan bahwa iklim di Seram memiliki kategori berbeda, dibandingkan wilayah lain Maluku seperti Kepulauan Aru.
Kajian Kerentanan dan Resiko Iklim Provinsi Maluku yang diterbitkan ini berbasis data historis menyebut, jika di wilayah Provinsi Maluku terdapat Iklim C [lokal] dan sebagian lagi A [monsunal].
Merujuk peta zona iklim, Maluku memiliki klasifikasi iklim tropis. Pola hujan lokal, monsunal, dan ekuatorial. Sebagian besar wilayah Maluku beriklim lokal, saat berada di puncak musim hujan pada Juli dan Januari. Ini merupakan fenomena El Nino dan La Nina selama 1901-2000. Sedangkan hujan monsunal, bergeser ke awal musim hujan dan musim kemarau.
Adapun suhu, kepulauan Maluku memiliki suhu rata-rata 26,9 C. Suhu terpanas terjadi pada Maret tiap tahun dan Juli. Adapun suhu lebih rendah adalah 22,9 C.
Gede Junaedhi dan Joko Trilaksono dalam laporan tersebut pada tahun 2017, melakukan statistical downscaling dari IPCC Global Climate Model yang menunjukan kenaikan suhu udara antara 0,5 C sampai 1,5 C.
Dalam proyeksi rata-rata yang dilakukan maka suhu di kepulauan Maluku pada 2025, yang diambil dari data suhu minimum cenderung telah mengindikasikan terjadinya perubahan iklim. Trennya akan meningkat pada 2026 -2035, dicirikan dengan potensi kekeringan di musim kemarau dan banjir saat penghujan meningkat.
+++
Sejak Januari 2023, Wa Ima lebih banyak menghabiskan waktu di lokasi budidaya, perairan Dusun Air Pessy. Istri La Samiun ini sedang meratakan gundukan rumput laut setengah basah di tempat penjemuran. Di halaman rumahnya, rumput laut berwarna ungu terpapar di bawah terik matahari.
“Kalau tidak ada hujan, rumput laut kering cumah butuh tiga hari saja,” jelasnya kepada Mongabay (17/5/2023).
Rutinitasnya selain menjemur rumput laut, juga turut membersihkan lumut dari tali bentangan di lokasi budidaya. Dia juga kerap memasang bibit di saat bentangan berada di air.
Wa Ima menyebut, meski di tengah cuaca yang tak menentu, panen rumput lautnya terbilang bagus.
Kelabakan Bulu Kucing
Di luar tantangan perubahan iklim, ada juga kendala yang dihadapi oleh para pembudidaya ini. Selain penyakit ice-ice, ada juga penyakit bulu kucing.
Itu pula yang sedang dihadapi oleh Ramli, seorang pembudidaya rumput laut. Serangan penyakit bulu kucing menjangkiti rumput laut di lokasi budidayanya, sudah sekitar seminggu dia berkutat untuk menanganinya.
Bulu kucing sendiri adalah penyakit yang menyerang rumput laut yang disebabkan oleh epifit yang menempel pada thalus rumput laut. Dalam sebuah penelitian, disebut bahwa endapan lumpur dari terbawa perairan menjadi penyebab merebaknya bulu kucing.
Meski ada rentetan kejadian, Ramli enggan untuk mengaitkannya dengan perubahan iklim. Dia hanya menduga semakin seringnya hujan, telah membawa arus air sungai masuk ke perairan laut.
Lelaki 44 tahun, warga Dusun Wael itu bilang agar tidak cepat menular, dia mencabuti satu per satu rumput laut yang terkena penyakit. Namun, jika serangannya masif, tali bentangan itu perlu dilepaskan dari ikatan tali utama, dilepaskan rumput laut yang terjangkit, dan sisakan yang tidak.
“Makanya harus rutin periksa rumput laut secara detil tiap hari. Kalau rumput lautnya sudah besar-besar lalu terjangkiti penyakit, sayang sekali kalau harus di buang,” keluhnya.
Serangan penyakit bulu kucing selain dialami Ramli juga oleh pembudidaya di Dusun Pulau Osi. Cirinya, ada seperti rambut halus dan berwarna kecoklatan. Saat rumput laut terjangkit, kondisi thalus menjadi kasar dan produktivitasnya menurun.
Situasi ini pun pernah dihadapi oleh Wa Ima. Rumput lautnya pun pernah terkena bulu kucing. Tapi, dia punya kiat sendiri, berdasarkan hasil percobaaan lapangannya.
Bila ada rumput lautnya yang terjangkiti bulu kucing, dia rendam dalam wadah berisi deterjen sekitar 10-15 menit. Setelah itu diangkat lalu di bilas dengan air sampai bersih. Cara ini, baginya sudah dipraktekkan sekian lama.
”Biasanya reaksi rumput laut ketika di rendam berubah warga menjadi merah,” jelasnya.
Berulang kali melakukan cara itu, tidak satupun rumput laut yang mati. Beda lagi kalau terserang penyakit ice-ice. ”Saya biasa langsung potong thalus yang rusak dengan pisau khusus.”
Menurutnya, cara-cara demikian bagi sebagian pembudi daya berisiko tinggi. Namun baginya, tidak ada salahnya mencoba hal baru yang dampaknya baik untuk rumput laut, meski ada risikonya.
Suami Wa Ima, La Samiun pun terus tegar dalam berbagai cobaan yang ada. Risiko membudidaya rumput laut memang layaknya pasang dan surut. Dia pernah merugi Rp 10 juta akibat gagal panen, beberapa tahun silam. Hal itu tak membuatnya kapok.
Dari loteng rumahnya, ternyata masih ada 10 bal tali nilon sisa hasil budidaya terdahulu. Dia pun lalu membeli 500 kg bibit rumput laut. Dia optimis meski perubahan iklim ada di depan mata, tanamannya bakal menghasilkan.
Dia pun yakin dapat menyelamatkan rumput lautnya jika terserang penyakit. “Sebab istri saya, telaten dan rajin pergi ke lokasi budididaya rumput laut untuk bersih -bersih,” jelasnya.
Keberhasilan budidaya rumput laut, memang tidak bisa dipisahkan dari peran perempuan. Mereka sabar, rajin dan telaten mengurus tanaman. Wa Kalsum, Safiana dan Wa Ima adalah contohnya. Bagi mereka, kuncinya rumput laut harus rajin dirawat dan dibersihkan tiap hari, meski tetap berjuang dengan iklim yang terus berubah.