- Situasi awak kapal perikanan Indonesia dan asing dinilai masih buruk, rentan eksploitasi tanpa pemenuhan hak-haknya.
- Hasil penelitian DFW menemukan berbagai bentuk pelanggaran terhadap awak kapal perikanan, misal tidak mendapat pelatihan, gaji, tidak ada jaminan kesehatan, dan tak ada kontrak kerja.
- DFW juga menemukan potensi dan kasus-kasus pada pekerja perikanan migran di kapal-kapal asing.
- Regulasi dan panduan internasional pekerja kapal perikanan sudah ada, namun tak banyak negara meratifikasinya.
Walau sudah ada regulasi terkait peningkatan kesejahteraan pekerja kapal perikanan, masih ada yang tidak mendapat upah dan jaminan kesehatan, atau jam kerja berlebih.
Sebuah diskusi membahas hasil survei, standar pekerja perikanan global, dan bagaimana media mengungkap berbagai masalah yang terjadi di tengah laut ini. Diskusi itu bertajuk suara dari laut: membuka realitas pekerja perikanan di Indonesia yang diselenggarakan Destructive Fishing Watch (DFW) secara daring dan diikuti sejumlah pihak termasuk penanggap dari lembaga internasional pada 8 Agustus 2022 lalu.
Testimoni dua anak buah kapal (ABK) di Muara Baru, Jakarta secara anonim diperlihatkan lewat video. Mereka dijanjikan upah Rp12 juta, pinjaman, dan keuntungan lain. Semua didapatkan dari informasi di media sosial yang diunggah calo. Setelah masuk mes, mereka menunggu 1,5 bulan tanpa training atau pembekalan apa pun. Akhirnya berangkat 14 April 2022 dengan situasi buruk selama beberapa bulan di tengah laut, seperti susah air minum layak dan obat-obatan. Situasi ini identik dengan perdagangan manusia di kapal penangkap ikan karena tanpa kontrak kerja dan perlindungan.
DFW melakukan riset atau studi kasus di 4 lokasi usaha perikanan yakni Muara Baru-Jakarta, Benoa-Bali, Dobo-Maluku, dan Bitung-Sulawesi Utara. Felicia Nugroho dari DFW Indonesia mengatakan menemukan banyak masalah di perusahaan, kapal, dan rantai lainnya setelah mewawancarai 318 orang responden. Kebanyakan pelaut yakni hampir 70%, sisanya pekerja pabrik, kapten, dan petugas pelabuhan.
Ada pelanggaran mekanisme rekrutmen merujuk Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.33/2021 tentang Log Book Penangkapan Ikan, Pemantauan di Atas Kapal Penangkap Ikan dan Kapal Pengangkut Ikan, Inspeksi, Pengujian, dan Penandaan Kapal Perikanan, Serta Tata Kelola Pengawakan Kapal Perikanan.
baca : Bagaimana Mencegah Perdagangan Orang Berkedok Perekrutan Awak Kapal Perikanan?
Diagram dalam Permen KP itu menunjukkan ada tiga jalur informasi awal rekrutmen yakni informasi di internet, teman atau kerabat, dan agen. Pekerja harus mendapatkan kontrak kerja dan pelatihan sebelum bekerja di kapal atau unit pengolahan. Pekerja juga harus mendapat jaminan kesehatan, bonus, dan gaji atau pembagian hasil.
Hasil riset DFW menunjukkan pekerja yang tidak mendapat hak apa pun 1,5%; hanya mendapat pembagian keuntungan dan BPJS 1,9%; hanya mendapat pembagian keuntungan 16%; mendapat gaji, BPJS/jaminan kesehatan, ketenagakerjaan, dan asuransi 28%; serta terbanyak hanya mendapat gaji yakni 52%.
Sebelum bekerja, baru 35% responden mengaku tahu tentang kesepakatan kerja. Proses rekrutmennya dari agen dan lowongan perusahaan, sisanya medsos. Sementara untuk waktu kerja, sebanyak 63% durasinya 8-12 jam per hari, namun ada juga lebih 15 jam (3%).
Penyebab kondisi itu adalah implementasi regulasi yang lemah, kurangnya penegakan hukum dan supervisi. “Salah satunya karena kurangnya anggaran,” ujar Felicia. Selain itu karena rendahnya pemahaman hak dan kewajian, agen yang tidak teregulasi, dan rendahnya upah.
Rekomendasi dari temuan ini antara lain, menegakkan standarisasai rekrutmen dan mekanismenya, memastikan transparansi dan mekanisme berbagi keuntungan, dan standarisasi sertifikasi. Selain itu perlu mewujudkan forum multistakeholder dengan pemerintah, dan memberikan hak untuk membentuk serikat pekerja.
baca juga : Kisah Para AKP yang Masih Terjebak di Kapal Perikanan Tiongkok
Ha Phung, Project Coordinator, Business and Human Rights United Nations Development Programme (UNDP) memaparkan berbagai panduan global untuk pekerja kapal perikanan.
Pemerintah Indonesia sudah memulai regulasi untuk penegakan hak asasi manusia (HAM) pekerja. UN Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) sudah diadopsi Pemerintah Indonesia pada 2011 dengan tiga pilar yakni protect, respect, dan remedy framework.
Pemerintah dan perusahaan dinilai harus memastikan HAM dengan membuat mekanisme hukum untuk mencegah perusahaan melanggar HAM pekerjanya. Perusahaan tidak boleh membuat sistem yang melanggar HAM. Ada juga akses pemulihan dari pencegahan dan dampak dari pelanggaran. Penyelesaiannya melalui mekanisme judisial dan non judisial.
Menurutnya beberapa isu yang banyak terjadi di pekerja perikanan adalah pekerja anak, larangan berserikat, dan mendapatkan lingkungan yang sehat dan aman. Tak heran muncul perdagangan manusia, perbudakan, dan lainnya. “Mereka lebih rentan pelanggaan HAM,” sebut Ha Phung.
Urmila Bhoola, pelapor kasus perbudakan modern untuk PBB pada 2014-2020 memberikan respon pada hasil survei ini dengan menyimpulkan ada pelanggaran mendasar yakni rendahnya regulasi pada rekrutmen pekerja dan pelanggaran HAM ekstrem di darat dan laut. Pelanggaran hak seperti ketiadaan kontrak kerja mendorong eksploitasi, sampai situasi kerja yang buruk mengarah perbudakan. Bahkan sudah banyak liputan pekerja seperti terpenjara di kapal laut. Hal ini dialami pekerja dari negara-negara Asia lainnya.
Perbudakan modern masih ada di usaha perikanan terutama pekerja kapal. Rekomendasinya adalah penegakan hukum dan konvesi ILO terkait pencegahan pelanggaran HAM.
baca juga : Perjalanan Panjang Awak Kapal Perikanan Indonesia Menuntut Hak yang Hilang
Tantangannya Implementasi Panduan ILO
Indonesia belum meratifikasi konvensi ILO 188 untuk pekerja kapal perikanan. Dikutip dari laman ILO, ilo.org, Kementerian Luar Negeri Indonesia, didukung oleh ILO, sudah mengadakan webinar pada 5 Maret 2021 untuk mengkaji tantangan dan peluang bagi Indonesia dalam meratifikasi Konvensi ILO No. 188 tentang Bekerja di Perikanan.
Penangkapan ikan diakui sebagai pekerjaan berbahaya dengan insiden kecelakaan dan kematian tertinggi. Nelayan di berbagai operasi penangkapan ikan komersial biasanya harus menghadapi jam kerja yang panjang, kerja di tempat terpencil, terpapar kondisi cuaca berbahaya dan secara umum pekerjaan yang memaparkan bahaya di lingkungan laut.
Pemerintah, dalam laman ILO ini meyakini ratifikasi merupakan langkah dari awal tindakan perlindungan nelayan migran. Konvensi ini menetapkan persyaratan yang mengikat terkait dengan pekerjaan di kapal perikanan, termasuk keselamatan dan kesehatan kerja, perawatan medis di laut dan darat, waktu istirahat, perjanjian kerja tertulis, perlindungan sosial dan kondisi kehidupan yang layak. Thailand merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi ILO No. 188 pada 2019 dan menjadi negara pertama di Asia yang meratifikasinya.
Mongabay juga pernah mengulas upaya negara-negara ASEAN untuk meratifikasi konvensi ILO No.188 itu.
perlu dibaca : Kerja Sampai Mati: Siksaan terhadap ABK Indonesia di Kapal Tuna Tiongkok
Pada kesempatan diskutsi itu, Basten Gokkon, jurnalis Mongabay.com yang berpengalaman menulis kekerasan pada awak kapal perikanan ini mengakui isu ini sangat kompleks.
Dua topik kelautan terbanyak adalah konservasi dan perikanan berkelanjutan. Untuk perikanan berkelanjutan, menurut Basten, tak hanya soal populasi ikan tapi manusianya seperti awak kapal perikanan (AKP). Salah satu liputan tentang kondisi mematikan pekerja migran di kapal perikanan illegal dipublikasikan pada 2020 di Mongabay. Menurutnya saat itu belum banyak regulasi yang melindungi ABK.
Disusul berita pekerja Indonesia meninggal di kapal perikanan China. Cerita ini dilanjutkan dengan peliputan investigasi kejahatan di kapal laut yang melintasi lautan lintas negara yakni aktivitas illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing.
“Ada rantai internasional memasok pekerja migran, sebagian agensi dan calon pekerja tidak berhubungan langsung. Tenaga kerja Indonesia banyak tertarik bekerja di kapal ikan asing karena dinilai menghasilkan lebih banyak uang. Tapi ternyata tidak sebanyak yang diduga,” cerita Basten.
Hal ini juga dialami pekerja perikanan di sejumlah negara Asia lain namun dengan beragam modus, bahkan ada yang direkrut paksa seperti penculikan.
Pembelajaran peliputan isu ini di antaranya, jurnalis harus memberikan tempat pada kisah atau narasi dari orang-orang yang terlibat karena mereka dieksploitasi secara fisik dan jiwa. Fokus peliputan di laut karena kebanyakan AKP seperti tidak punya jam kerja karena 24 jam di kapal. Catatan lain, jurnalis harus memastikan keamanan diri saat liputan, dan menelusuri temuan di lapangan karena bisa berbeda dengan rencana.
Dalam sesi diskusi, Syofyan, dari Serikat Awak Kapal dan Transportasi Indonesia (SAKTI), serikat pekerja melihat ada paradoks misalnya banyak sekolah perikanan di Indonesia tapi alumninya tidak terserap oleh pasar. Selain itu, sektor upah perikanan tidak adil, hanya bagus untuk pemilik kapal. Ia berharap pemerintah memperbaiki sistem registrasi sebagai pekerja perikanan.
Sedangkan Bernard Selfry, sebagai pedagang ikan juga ingin berkontribusi, apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi situasi buruk AKP ini.