- Warga Kelurahan Payo Selincah, Kecamatan Paal Merah, Kota Jambi, Jambi, yang hidup dekat dengan beberapa PLTU susah merasakan ketenangan. Suara bising terdengar kala pembangkit listrik beroperasi.
- Parah lagi, rumah mereka rusak diduga karena getaran pembangkit. Warga pun hidup dalam kekhawatiran karena tinggal di rumah rusak.
- Sekitar 10 warga Kelurahan Payo Selincah minta pembebasan lahan karena kalau renovasi rumah bakal sia-sia kemungkinan rusak lagi. Pembahasan mandek, bahas berulang kali hingga kini tak ada kejelasan.
- Ardi, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Jambi mengaku perlu pengujian untuk memastikan getaran dari mesin pembagkit listrik menyebabkan rumah warga rusak.
Sudah lima tahun ini Hera dan anak-anaknya tidak lagi tidur di kamar. Mereka takut rumah tiba-tiba ambruk. Hera menunjukkan dinding rumah retak, lebar hampir dua jari orang dewasa. Dinding kamar mandi, ruang tengah juga rusak. Kusen pintu hampir copot. Pondasi rumah bagian depan mulai terbelah dari dinding.
“Kalau hujan angin kami tidak biso tidur, rtakut oboh. Nanti ado apo-apo, kato PLN gara-gara kondisi alam pula,” katanya Juni lalu.
Rumah Hera di Kelurahan Payo Selincah, Kecamatan Paal Merah, Kota Jambi, Jambi. Keempat anak beranak itu memilih tidur di ruang tengah, dekat pintu. Kalau dinding rumah runtuh, mereka bisa langsung lari keluar.
“Lihat kondisi rumah sudah kayak gitu. Kalau retak cuma depan bae, kami bisa pindah ke tengah. Kalau retak di dapur kami bisa pindah ke tengah. Ini retaknya dari ujung ke ujung, pindahnya kemano?” tanya Hera retoris.
“Sudah nggak ada tempat lagi.”
Rumah Era berdiri persis 100 meter dari dinding pagar pembangkit listrik tenaga PT Eramas Persada Energi yang dibangun 2010. Keduanya terpisah tanah kosong milik PLN yang mulai semak. Sebelumnya, tanah itu berdiri banyak rumah warga. Mulai 2013, PLN membebaskan karena jarak aman antara mesin pembangkit listrik dengan rumah warga minimal 100 meter.
Dalam RTRW Kota Jambi 2013 dan terbaru 2021, Payo Selicah merupakan kawasan industri. Di RT 24, Kelurahan Payo Selincah, Kecamatan Paal Merah, Kota Jambi, terbangun gardu induk dan empat pembangkit listrik.
Ada PLTMG 30 MW dikelola konsorsium PT BBC, PT STS, PT MEP. PLTMG 50MW milik PT VPower, lalu PLTG BOT 2 x 50 MW punya PT Eramas Persada Energi. Kemudian, PLTU Biomassa PT. Rimba Palma Sejahtera Lestari (RPSL) 2 x 15 MW. Lokasinya hampir mengelilingi pemukiman warga RT 24.
Seiring waktu dinding rumah Era mulai retak. Dia menduga, penyebab geratan dari mesin pembangkit Eramas karena jarak paling dekat dengan pemukiman. Dia minta PLN dan Eramas bertanggung jawab.
Akhir 2015, Eramas pernah mendatangi, dan bilang akan beli rumah mereka. Ada 10 rumah akan dibebaskan, termasuk rumah Hera dan Teti.
“Besoknya mau bayaran, tiba-tiba batal. Kata orang perusahaan ‘kamu tanya sama PLN’,” kata Teti jengkel.
Kabar beredar, warga lain protes, minta tanah dan rumah ikut dibebaskan.
“Orang-orang seberang [jalan] sana itu meraso ditinggal. Padahal yang kena dampak hanya 10 rumah. Mungkin PLN nganggap semua warga di RT 24 minta dibebaskan, maka nggak jadi.”
Baca juga: Kala Rumah Rusak dan Sumur Tercemar, Siswi SMP di Jambi Cari Keadilan untuk Neneknya
Teti sudah 16 tahun tinggal di RT 24 Payo Selincah, sebelum pembangkit listrik dibangun. Dulu, suasana tenang, tidak ada suara gemuruh, tak ada rumah retak.
Semua berubah total setelah pembangkit listrik beroperasi. Dia mengeluh bising dan bau gas. Seiring waktu satu per satu rumah warga mulai retak.
Warga menduga, penyebabnya getaran dari mesin pembangkit yang membuat tanah disekitar bergetar.
“Kalau lagi buang gas itu, [rumah] sampai getar, karena hantaman itu dari bawah, sampai bunyi di plafon,” kata Teti.
“Pokoknya sekarang sudah tidak nyaman lagi. Sewaktu-waktu meledak—terdengar suara gemuruh seperti mesin pesawat. Waktunya nggak nentu, kadang jam 8.00 malam, jam 6.00, setengah 6.00.”
Sekitar 2016, PLN UPDK Jambi pernah kirim tukang bangunan untuk memperbaiki rumah warga di sekitar gardu induk Payo Selincah yang rusak.
“Tukang bingung masuk rumah kami, ‘buk banyak nian yang mau direhab. Mending ganti baru’. Lha tukang saja bingung, apolagi sayo?” kata Hera.
Perempuan 43 tahun itu menolak rumah direhab. Dia minta pembebasan karena PLN pernah bilang, jarak aman minimal 100 meter dari dinding pembangkit. PLN menolak.
Pada 12 Mei 2016, warga mengirim surat ke DPRD Kota Jambi mengadukan masalah rumah mereka yang rusak. Ketua Komisi I, Muhili Amin dan Setiono sempat turun menemui warga.
Sekitar 2017, ada pertemuan di Kantor PLN Pembangkit Sumbangsel masalah pembebasan lahan. Juli 2018, PLN sepakat melanjutkan pembebasan lahan. Mereka melibatkan KJPP untuk pengukuran dan validasi surat kepemilikan tanah warga. PLN menargetkan September 2018 ganti rugi rampung.
“Pada 2018 akhir yang dibebasin justru gudang beras, Alex Sejahtera. Sudah itu warga ngangak [tak dapat apa-apa],” kata Hera.
DPRD Kota Jambi kembali menggelar rapat 13 September 2022. Teti ngotot minta 10 rumah dibebaskan. Muhili minta warga bersabar.
“Muhili minta tenggang waktu satu bulan PLN lapor ke atasan, bahwa kami ini minta pembebasan lahan,” kata Teti.
Pertemuan kedua 31 Oktober 2022, di Kantor DPRD Kota Jambi. Bukan melanjutkan masalah pembebasan lahan, yang dibahas justru beasiswa anak sekolah. “Kan nggak nyambung,” katanya, dongkol.
PLN berkeras menolak membebaskan lahan, mereka bersedia merehab rumah warga yang rusak. Syaratnya, tukang dan semua pembiayaan PLN yang atur.
Setiap rumah mendapat jatah sekitar Rp20 juta, bisa kurang dan lebih tergantung tingkat kerusakan. Hera menolak kalau perbaikan sebatas menambal dinding retak.
Dia minta rumah dibongkar sampai pondasi. Mesin pembangkit Eramas juga harus berhenti operasi.
“Kalau mesin masih beroperasi, kami minta dibebasin. Percuma dibaiki kalau PLTG itu masih beroperasi, nanti rusak lagi.”
Dari 10 orang, sekarang tinggal delapan minta rumah dibebaskan. Cik Nah dan Yuliana, bersedia rumah mereka direhap. “Tapi sampai sekarang tidak ada kabarnya lagi,” kata Cik Nah.
Operasi lagi
Bujang Ramli tampak gusar. Suara mesin PLTU kuping pekak. Yang membuatnya emosi, istrinya yang lagi sakit migrain harus mengungsi ke rumah tetangga, lantaran tak tahan dengan suara gemuruh PLTU.
“Kami tidak punya tempat lagi, masak kami harus ngungsi biar perusahaan bisa operasi terus. Kito yang saro—susah.”
Ramli dan keluarga susah istirahat. Jarak rumah Ramli dengan dinding pagar PT Rimba Palma Sejahtera Lestari (RPSL), begitu dekat, hanya 20 meter.
“Rumah papan kayak gini, nutupnya gimana? Suara itu tembus sampai ke dalam. Mau sembunyi dimana lagi?”
Perusahaan justru memberi Ramli sumbatan kuping, setelah mengeluh istrinya yang lagi kena migrain kesakitan. “Suara itu nggak tahan, pokoknya mulai pagi jam 9.00 sampai jam 4.00 sore.”
Ramli kesal karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya, meski jarak RPSL dengan rumahnya begitu dekat. “Perusahaan pengen usaha, warga juga pengen tenang.”
Rohimah sering kaget saat mesin PLTU tiba-tiba mengeras. “Kami tidur sampai terkejut,” katanya.
Dia sudah mengeluh pada lurah dan ketua RT, tetapi tidak ada tanggapan. “Kata Lurah, nanti kita koordinasikan. Sampai sekarang teteplah kayak gitu.”
Defri Afriani, legal dan humas PT RPSL mengakui lagi uji coba mesin pembangkit. Target akhir 2023, PLTU biomassa kembali beroperasi.
“Kalau sekarang bising itu pasti, karena sudah lama tidak beroperasi. Terakhir operasi 2019. Nanti kalau sudah beroperasi, 80% kebisingan bisa diredam. Suara akan kembali normal,” katanya.
Dia telah memberitahu Ketua RT 24, Lurah dan Bhabinkamtibmas kalau akan ada sedikit gangguan selama uji coba mesin.
Defri bilang, pengoperasian PLTU ini bukan untuk jual ke PLN, melainkan produksi wood pellet. Pada 2020, RPS mendapatkan izin usaha industri primer hasil hutan kayu untuk produksi wood pellet dengan kapasitas 100.000 ton per tahun. BBaru satu mesin beroperasi, karena produksi wood pellet baru mulai 2022.
“Nanti kalau produksi kita sudah banyak, mungkin pakai dua mesin.”
Ridwan, Sekretaris Daerah Kota Jambi, bilang, tidak tahu soal konflik warga RT 24 dengan pembangkit. “Belum ada laporan soal itu,” katanya.
Mongabay menemui Muhamad Burhanuddin, Asisten Manajer Keuangan dan Umum PLN UPDK Jambi. Dia ditemani Ahmadi yang dulu humas, sekarang menjabat HRD. Ahmadi tahu persis masalah warga RT 24 dengan pembangkit.
Dia bilang, PLTU RPSL bukan tanggung jawab PLN UPDK Jambi, karena RPSL kontrak kerja dengan PLN UP3 Jambi.
Sementara masalah pembebasalan rumah warga dan gudang beras milik Alex merupakan dua persoalan berbeda. Burhanuddin yang membeli gudang beras adalah PLN Unit Pelaksana Proyek Jaringan untuk pengembangan transmisi gardu induk.
“Kami sama-sama PLN tapi beda organisasi. Kami juga tidak tahu itu dibebaskan.”
Dia kemudian menjelaskan penyebab pembebasan lahan 10 rumah warga batal. “Ada perubahan rencana, RJPP 2019-2020 hilang. Itu yang melatarbelakangi batalnya pembebasan lahan. Itu bukan kami yang punya kewenangan. Itu kewenangan pusat.”
PLN pusat telah membatalkan semua rencana pengembangan pembangkit skala kecil, termasuk pembangkit listrik di Payo Selincah. Bahkan, mesin pembangkit Eramas bakal pindah ke Batam untuk memenuhi kebutuhan listrik di wilayah terluar, terdepan dan terpinggir (3T).
“Pembangkitnya juga mau dipindah, buat apa lagi kami beli. Dasarnya tidak kuat. Nanti diaudit kita kena, masuk penjara semua. Karena membeli lahan tanpa ada keperluan yang jelas,” ujar Burhanuddin.
Sebelumnya, PLTMG 50 MW milik VPower lebih dulu pindah ke Batam setelah masa sewa habis. PLTMG 30 MW yang dikelola perusahaan konsorsium juga ikut pindah. Sementara PLTG Batanghari 2×30 MW relokasi ke Halmahera Timur.
Burhanuddin berpikir, pemerintah sekarang fokus membangun PLTA Kerinci 350 MW dan rencana PLTU mulut tambang Jambi I dan Jambi II berkapasitas 1.200 MW dengan target beroperasi 2026 dan 2027.
Alasan lain, yang membuat rumah warga tidak wajib dibebaskan adalah jarak dengan tapak mesin pembangkit lebih 100 meter. Kalau warga tetap ngotot ingin dibebaskan, jalan satu-satunya lewat proses hukum di pengadilan.
“Kalau dari kami jelas, kami tidak mau membebaskan karena aturannya tidak ada.”
Menurut Burhanuddin, rumah warga retak bukan dampak getaran mesin pembangkit, tetapi karena konstruksi bangunan dan kontur tanah yang turun. Daerah RT 24 Payo Selincah merupakan rawa.
“Kalau [rumah warga] retak akibat pembangkit, harusnya bangunan kami itu yang retak duluan. Sudah hancur. Rata semua.”
Ahmadi mengatakan, getaran yang bisa menyebabkan keretakan bangunan itu satu inc per detik. Dia memastikan getaran mesin pembangkit tidak lebih 0,05 inc per second.
“Mesin kita itu sudah diproteksi tidak mungkin getarannya itu melebihi batas 0,05. Kalau lebih mesin kita bakal mati dulu, karena bahaya, putarannya 28.000. Putarannya segitu tinggi ketika ada getaran itu bahaya. Kami pastikan getarannya tidak melebihi batas toleransi, kami siap diuji.”
Ardi, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Jambi mengaku perlu pengujian untuk memastikan getaran dari mesin pembagkit listrik menyebabkan rumah warga rusak.
“Itu harus dianalisa lagi, harus diuji, tidak bisa langsung dijustifikasi. Kalau lihat laporan PLN selama ini memenuhi baku mutu.”
Dia bilang, hasil uji dampak lingkungan DLH Kota Jambi di kawasan pembangkit PLN, semua parameter menunjukkan hasil sesuai baku mutu.
“Kalau dari masyarakat mempermasalahkan lagi, kita akan uji, kita akan turunkan tim lagi.”
Pada awal Juni 2023, Teti sempat menemui Muhili. Waktu itu di Kator DPRD Kota Jambi sedang ada rapat mediasi konflik keluarga nenek Hafsah dengan RPSL.
Teti minta masalah mereka ikut diselesaikan karena sama-sama di RT 24. Muhili menolak. Dia menganggap masalah Teti dan Hafsah berbeda dan tak bisa dicampur adukkan.
Saat ditemui Mongabay, Muhili mengaku kecewa karena saat proses mediasi dengan PLN, warga membawa pengacara.
“Sebenarnya kita [DPRD] ini lebih dari pengacara, kita punya legalitas untuk mediasi itu. Kalau kita tidak mampu lagi, silakan bawa pengacara bawa ke pengadilan. Kita kecewa, kenapa berhadapan dengan kita, mereka bawa pengacara,” katanya.
“Saya kecil hatinya di situ, sementara kita memang berupaya untuk menyelesaikan masalah itu. Kalau kita pikir, kita ini kan bantu orang yang tidak punya duit.”
Meski demikian, Muhili siap memfasilitasi kalau warga dengan PLN dan Eramas ingin kembali mediasi.
“Jangan sampai bawa pengacara, kalau bawa pengacara ke pengadilan.”
***
Sore akhir Juni saya kembali ke Payo Selincah. Saat itu, hari mulai petang saat saya ketemu Hera di halaman rumah. Persis di depannya, rumah Teti. Saya cerita apa yang disampaikan Burhanuddin dan Ahmadi sewaktu ketemu di Kantor PLN.
“Dulu Ahmadi bilang, kalau mau dibebasin, ngadu ke DPRD. Kami sudah ngadu ke DPRD, nyatanya PLN tetap nggak mau bebasin rumah warga,” katanya kecewa.
Hera juga dengar kabar dari PLN soal pembangkit Eramas bakal pindah, tetapi tidak ada yang tahu kapan.
“Itu lagu lama, sudah dari 2022, dulu PLN bilang perusahaan mau pindah, tapi mana? Sampai sekarang tidak pindah-pindah. Rumah kami rusak bukan baru-baru ini, sudah bertahun-tahun. Tetapi PLN tetap nggak mau tanggung jawab. Kami di PHP (pemberi harapan palsu) terus,” kata Hera.
Teti bilang, warga sudah lapor ke Polresta Jambi soal kerusakan rumah mereka, tidak ada tindakan sampai sekarang. Warga bingung harus mengadu kepada siapa lagi.
Sudah delapan tahun, Teti, Hera dan lainnya berjuang menuntut tanggung jawab PLN. Tetapi jalan mereka sepertinya masih panjang.
“Sampai kapan pun kami akan tuntut. Sayo tidak mau menyerah,” kata Teti.
*******