- Masyarakat Kuala Selat, Kecamatan Kateman, was-was ketika kemarau panjang menyebabkan desa di pesisir utara Kabupaten Indragiri Hilir, Riau ini kekeringan hingga krisis air. Penduduk di wilayah yang berhadapan dengan Selat Melaka, itu hanya bertumpu pada air hujan sebagai sumber utama pasokan air bersih.
- Pemenuhan dan pelayanan air bersih sulit di Kuala Selat, termasuk wilayah pesisir lain tak lepas dari kondisi geografis daerah itu. Indragiri Hilir, umumnya bergambut, perairan, sungai maupun pesisir. Pola bermukim masyarakat yang menyebar sepanjang sungai.
- Di Kuala Selat, ada beberapa sumur bor yang awalnya untuk memenuhi air bersih warga tetapi tak berfungsi lagi karena terendam air asin. Air tanah di Kuala Selat berwarna kuning dan berkarat. Ia hanya bisa untuk mandi dan cuci piring itupun dengan terpaksa karena tak ada pilihan lain.
- Bagaimana upaya mencari sumber air bersih? Muhammad Reza Sahib, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), mengatakan, secara teknis, bisa desalinasi lewat pendekatan teknologi tepat guna. Antara lain, air laut dijemur dalam wadah kaca yang di bawahnya dicat hitam. Panas matahari akan menguap air yang kemudian ditampung, seperti proses penyulingan alami.
Masyarakat Kuala Selat, Kecamatan Kateman, was-was ketika kemarau panjang menyebabkan desa di pesisir utara Kabupaten Indragiri Hilir, Riau ini kekeringan hingga krisis air. Penduduk di wilayah yang berhadapan dengan Selat Melaka, itu hanya bertumpu air hujan sebagai sumber utama pasokan air bersih.
Tiap rumah tangga punya wadah penampung air hujan. Mulai dari drum atau tong maupun ember kecil sekali pun. Benda-benda plastik ini tampak berjejar di teras dan belakang rumah untuk menampung air dari langit lewat cucuran atap.
Suryati, punya 20 drum air, terkumpul di belakang rumahnya. Belum termasuk jeriken dan ember. Dia tak pernah kekurangan air, meski dua minggu bahkan berbulan-bulan belum turun hujan. Dia hanya tinggal bersama suami, hanya satu minggu dalam sebulan pulang ke rumah karena sebagai imam masjid di kecamatan sebelah.
“Saya, insya Allah tak pernah kekurangan air karena hanya berdua,” kata Suryati.
Dia punya penginapan dua kamar di sebelah rumahnya. Tamu yang menginap juga mandi dengan air hujan yang ditampung.
Beda dengan Lizawati. Perempuan 30 tahun dengan dua anak ini, hanya punya lima drum penampung air hujan. Dengan persediaan itu, hanya cukup buat setengah bulan—jika kemarau—untuk penuhi kebutuhan rumah tangganya.
Bibinya, Dahniar, punya tiga drum air, ditambah satu tangki bantuan pemerintah dan beberapa ember kecil. Sebenarnya persediaan itu cukup buat dua bulan untuk mandi dan memasak. Bahkan, kemarau panjang lebih dua bulan, sekalipun baru akan habis.
Dahniar tinggal di rumah bantuan pemerintah. Beberapa kali tempat tinggalnya roboh diterjang ombak dan tergerus abrasi, bencana iklim yang mengancam warga Kuala Selat. Dia bisa berhemat karena hanya tinggal berdua dengan anak bujangnya. Kalau anak dari Batam dan Sungai Guntung pulang, air tak cukup. Dia punya enam anak.
Dia bilang, warga yang tak punya banyak penampungan air pasti selalu kekurangan kalau kemarau tiga bulan. “Ini bulan hujan. Kadang satu hari panas, lepas tu hujan. Kalau perhitungan kami dari putaran angin, musim timur panas lama. Menyambut Oktober, kadang panas sampai setengah atau satu bulan.”

Serupa dialami Susanti. Perempuan 19 tahun satu anak ini masih punya dua drum air. Sebulan kemarau persediaan air hujan langsung menipis.
Setelah pindah rumah dia menambah delapan jeriken, empat ember juga satu kulkas bekas yang jadi penampungan, dia belum kekurangan air bersih.
“Kalau susah air, susah memasak. Pusing kalau air tak ada,” katanya.
Krisis air bersih juga dialami para santriwan dan santriwati di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) An-Nur, Kuala Selat. Sekolah ini berbasis pesantren dengan 70 siswa mondok.
Lembaga pendidikan jenjang menengah atas satu-satunya di desa ini, memiliki persediaan enam tangki khusus mencuci pakaian dan konsumsi. Untuk mandi dan wudhu langsung ke kolam galian.
Dengan persediaan terbatas itu, sekolah sering kesulitan air ketika tak hujan dua minggu. Kolam pun ikut kering kalau kemarau sampai tiga bulan.
“Persediaan air bersih untuk konsumsi tak jarang kekurangan. Sehari, masak beras satu karung. Belum termasuk untuk kebutuhan lain,” kata Dani Sartika, Kepala SMK An-Nur.

Air tanah tidak layak
Di Kuala Selat, ada beberapa sumur bor yang awalnya untuk memenuhi air bersih warga tetapi tak berfungsi lagi karena terendam air asin.
Seorang donatur juga pernah bantu buat dua sumur bor di SMK An-Nur untuk kebutuhan santriawan dan santriwati. Beberapa warga dengan ekonomi tergolong mampu juga berupaya buat sumur bor untuk kebutuhan rumah tangga. Tak satu pun layak memenuhi kebutuhan dasar warga.
“Semua (sumur bor) airnya tak bagus,” kata Suryati.
“Ada banyak sumur bor di Kuala Selat, tapi tak pernah jumpa (air) bagus dan layak,” kata Dahniar menimpali.
Air tanah di Kuala Selat berwarna kuning dan berkarat. Ia hanya bisa untuk mandi dan cuci piring itupun dengan terpaksa karena tak ada pilihan lain.
Dahniar harus membilas badan lagi dengan air hujan setelah mandi pakai air sumur bor. Kalau tidak, katanya, akan mencium bau menyengat. Air tanah yang diambil dari sumur bor akan menguning setelah terendap 10-15 menit.
Ember atau penampungan air pun jadi berkarat. Dahniar pun tak memakai air sumur bor itu untuk mencuci pakaian karena mengubah warna kain jadi kuning terlebih kalau pakaian putih. Sabun pun, katanya, tak berbuih kalau mencuci pakai air tanah dari sumur bor.
“Air sumur bor, kalau sudah diambil langsung dipakai. Kalau diendap bisa (berubah) kuning,” kata Susanti. Dia pakai air sumur bor untuk mandi dan cuci piring.
Muhammad Erlangga, santri SMK An-Nur pun masih mencuci sebagian pakaian dengan air sumur bor kecuali baju putih. Aturan sekolah masih izinkan para santri cuci pakaian yang tak cocok dengan air sumur bor dengan air hujan.
Awal masuk sekolah, Erlangga belum sadar kalau air sumur bor tidak sesuai dengan tubuhnya. Badan sering gatal-gatal setelah mandi dengan air itu. Sampai kulit berkudis dan menghitam.
Kakak kelasnya kemudian memberitahu gejala itu karena air mandi sumur bor.
“Sekarang, air sumur bor hanya untuk bersihkan piring bekas makan. Sebagian santri masih ada yang mandi dengan air itu. Kalau saya gak lagi. Mandi di kolam,” kata Erlangga.
“Nyuci pakaian tak bisa direndam karena kadar karat dalam air masih tinggi dan baju akan menguning,” kata Dani, membenarkan keterangan santrinya.
Meski begitu, Dani menilai sejak ada sumur bor aktivitas pesantren sedikit terbantu. Setidaknya, untuk kebutuhan mandi, cuci dan kakus (MCK) tidak jadi persoalan.
Berbeda ketika belum ada sumur bor. Kegiatan pramuka pun terhambat dan terpaksa harus meminta air ke warga.

Dua sumur bor di pesantren SMK An-Nur mengalir terus tanpa bantuan mesin sedot. Dia tak memasang keran pada pipa buat menutup dan membuka aliran air dari sumur. Suhu air hangat, namun lebih baik langsung untuk mandi daripada diendap terlebih dahulu.
Dia juga sudah mengirim sampel air tanah ke Pekanbaru untuk uji kelayakan konsumsi.
“Sudah dua kali ambil sampel air sumur bor untuk diteliti di Pekanbaru. Ada niat untuk buat air minum isi ulang,” katanya.
Junaidi M, Kasi Pemerintahan Kuala Selat, mengatakan, penyebab air tidak layak konsumsi karena kondisi daratan bersentuhan langsung dengan air laut. Kuala Selat, tipe pantai berlumpur. Sekarang, diperparah abrasi yang terus mengikis daratan.
“Dibanding pulau-pulau seberang, lebih terancam kami karena tanah di sini berlumpur. Kalau di sana pasir,” kata Junaidi, membandingkan dengan Desa Bekawan, Kecamatan Mandah, dengan air tanah lebih bagus.
Selain kualitas air tak layak, kadar air sumur bor di Kuala Selat juga tak memadai. Aliran pun lambat. Warga harus menunggu berjam-jam sampai penampungan penuh.
Bahkan, tidak jarang ember-ember antre sepanjangan pelataran menuju sumur bor saat semua warga perlu air terutama saat kemarau.
Penyebabnya?
Rony Fahamsya, Sekretaris Bappeda Indragiri Hilir, mengatakan, pemenuhan dan pelayanan air bersih sulit di Kuala Selat, termasuk wilayah pesisir lain tak lepas dari kondisi geografis daerah itu. Begitu juga persoalan infrastruktur jalan maupun sanitasi yang jadi kendala program pemerintah terhadap pelayanan dasar masyarakat.
Indragiri Hilir, umumnya bergambut, perairan, sungai maupun pesisir. Pola bermukim masyarakat yang menyebar sepanjang sungai, katanya, juga mempengaruhi realisasi program pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Pemerintah Riau, katanya, menyadari kondisi ini. Selain masih minim prasarana penyediaan air minum sampai ke wilayah terpencil.
Dalam rencana aksi daerah (RAD) tentang tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB) atau sustainable development goals (SDGs) 2022-2024, dijelaskan masalah ketersediaan air bersih tak lepas dari faktor lingkungan. Antara lain, tingkat abrasi pesisir pantai timur Riau yang berlumpur dalam kondisi kritis 121,5 kilometer pada 2020. Lalu, kehilangan ekosistem mangrove sampai kerusakan sistem tata air pada lahan basah atau gambut.
Kondisi itu, katanya, menyebabkan penyediaan air baku di pesisir Indragiri Hilir kebanyakan tak memenuhi syarat kelayakan, terutama untuk konsumsi atau air minum. Seperti di Kuala Selat. Pelayanan air bersih di Indragiri Hilir baru 24%.
Berdasarkan studi kualitas air minum rumah tangga (SKAMRT) oleh Kementerian Kesehatan sekitar tujuh dari 10 rumah tangga Indonesia konsumsi air minum terkontaminasi e-coli. Studi ini mengatakan, mayoritas rumah tangga Indonesia konsumsi air isi ulang. Sisanya, dari sumur gali terlindungi dan sumur bor atau pompa.
Hasil SKAMRT 2020 juga mengatakan, persentase akses air minum layak di pedesaan masih jauh di bawah perkotaan. Lebih parah lagi, akses air minum aman di pedesaan hanya delapan persen.
“Mengelola air bersih di Indragiri Hilir biaya mahal karena air baku jelek. Kita tidak punya danau. Embung pun masih banyak pendangkalan karena daerah gambut sedimentasi atau endapan sangat tinggi,” kata Rony.
Layanan sumur bor juga terbatas. Satu titik sumur bor hanya berkapasitas lima liter perdetik untuk sekitar 50 sambungan rumah. Satu desa mencapai 100 sampai 200 hunian atau keluarga.
“Memang secara layanan masih jauh dari target nasional. Itulah yang harus kita selesaikan. Kita akan melakukan pemerataan (penambahan titik sumur bor) terlebih dahulu. Seluruh desa harus dilayani air bersih.”
Jangankan tingkat kabupaten, berdasarkan provinsi pun, masih di bawah angka nasional. Dalam RAD Riau tentang TPB/SDGs 2022-2024, capaian indikator persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan sumber air minum layak BARU 89,76%. Rata-rata nasional 90% lebih.
Arif Gunawan, Kabid Cipta Karya Dinas PUPR Indragiri Hilir, mengakui kesulitan mencari air bersih di Kateman, khusus Kuala Selat.
Kecamatan ini, katanya, tergolong rawan air bersih walau sudah ngebor sampai kedalaman 180 meter masih tetap jumpa air asin.
“Terkadang, selesai buat sumur bor, diawal air masih bagus namun empat bulan kemudian mulai timbul kuning dan kadar karat tinggi,” katanya.
Untuk itu, harus ada uji geolistrik terlebih dahulu sebelum memulai pengeboran tetapi perlu biaya besar. Beberapa lokasi sudah menerapkannya, seperti di Kempas, Danau Kuala Indah dan di Pasir Emas dengan kedalaman 180 meter.
Selain itu, katanya, perlu uji geolistrik untuk mengetahui kualitas air pada kedalaman tertentu. “Ini berguna sebelum pengeboran sumur mulai dan hasil tidak sia-sia.”
Standar kedalaman sumur bor untuk produksi air bersih, katanya, berkisar antara 180-200 meter. Kalau lebih dari kedalaman terakhir, justru ketemu air kotor kembali.
Selama ini, pembuatan sumur bor di Kuala Selat tak diawali uji geolistrik dengan rata-rata kedalaman sumur penyedot air tanah 180 meter. “Rasanya asin dan menguning. Memang kewalahan kita di area Kateman itu.”

Solusi?
Muhammad Reza Sahib, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), mengatakan, perlu tindakan sistematis dan terencana lewat inisiasi gerakan kewargaan, yang mampu memaksa negara netral atau berpihak pada kepentingan rakyat sesuai amanat konstitusi.
Secara teknis, katanya, bisa desalinasi lewat pendekatan teknologi tepat guna. Air laut dijemur dalam wadah kaca yang di bawahnya dicat hitam. Panas matahari akan menguap air yang kemudian ditampung, seperti proses penyulingan alami.
Hal ini, katanya, bisa dengan kerjasama lembaga-lembaga pendidikan atau penelitian dan menghindari pendekatan ekonomistis: teknologi mahal. Selain itu, memaksimalkan penampungan dan pengelolaan air hujan yang sudah berjalan perlu dilakukan.
Selanjutnya, problem air yang sudah berlangsung terus menerus perlu didorong atau disuarakan jadi isu bersama dan politis hingga warga yang mengalami problem serupa dapat mengetahuinya.
Selain itu, katanya, solidaritas antar warga yang bekerjasama dengan entitas lain, paling utama.
“Jika negara gagal mengemban misi kepublikan, maka warga negara perlu mengorganisasikan diri dalam gerakan kolektif kewargaan untuk menjalankan fungsi-fungsi publik itu,” kata Reza.
Dia contohkan, gerakan oleh organisasi-organisasi sosial kebudayaan, seperti Muhammadiyah dan gereja dengan menyelenggarakan layanan sosial, seperti pendidikan, rumah sakit dan lain-lain.
Bisa juga, katanya, lewat penekanan kepada lembaga-lembaga yang mengumpulkan dana masyarakat, sepeti Lembaga Amil Zakat Nasional dan lain-lain. Potensi dana yang dikumpulkan lembaga-lembaga ini, bisa mencapai Rp4 triliun per tahun.
Moh Abdi Suhufan, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch, menawarkan dua solusi. Untuk jangka pendek, katanya, perlu tata kelola air dengan pola guna ulang (reuse), kurangi (reduce) dan daur ulang (recycle) serta pemanenan air hujan berbasis masyarakat.
Untuk jangka panjang, katanya, dengan memperluas area resapan air atau tempat penampungan hujan.
“Juga penanaman pohon bakau agar ketersediaan air tanah bertambah.”
********