- Dalam 50 tahun terakhir, pola makan manusia mulai bergeser dari yang semula langsung berasal dari tumbuhan menjadi ke produk hewani seperti daging, susu, telur. Hal itu meningkatkan produksi pangan secara global, baik dari pertanian maupun peternakan.
- Perluasan lahan pertanian untuk peningkatan produksi pangan ini dijalankan lewat deforestasi, merusak ekosistem, dan mengganggu hidrologi. Peternakan juga mengemisi Gas Rumah Kaca (GRK) besar, sekitar 7,1 giga ton CO2 ekuivalen per tahun.
- Beberapa penelitian menunjukkan bahwa menghilangkan daging dari pola makan yaitu beralih ke pola makan vegan dapat mengurangi emisi GRK secara global.
- Tetapi peneliti mengingatkan bahwa ideologi vegan butuh waktu agar bisa diterima secara luas. Mungkin perlu beberapa dekade untuk meyakinkan masyarakat agar melakukan perubahan pola makan demi perubahan iklim.
Peternakan dituding memberi sumbangan besar terhadap jumlah emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Gas buang dari sektor ini terutama adalah gas metana (CH4), dinitro oksida (N2O), dan karbon dioksida (CO2). Menurut FAO total emisi yang dihasilkan dari peternakan secara global sebesar 7,1 giga ton CO2 ekuivalen per tahun. Angka ini berarti setara dengan 14,5 persen emisi GRK yang dihasilkan dari aktivitas manusia.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa menghilangkan daging dari pola makan yaitu beralih ke pola makan vegan dapat mengurangi emisi GRK secara global. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Oxford University, menyebutkan bahwa pola makan vegan menghasilkan pengurangan emisi pemanasan iklim, polusi air, dan penggunaan lahan sebesar 75 persen dibandingkan pola makan yang mengonsumsi lebih dari 100 gram daging sehari.
Laporan itu menyebut bahwa konsumsi daging di Inggris mencapai titik terendah sejak 2012 lalu. Penurunan ini dipicu oleh krisis ekonomi dan perubahan gaya hidup. Agaknya ada kecenderungan perubahan gaya hidup di negara maju yang memiliki lebih banyak pilihan makanan.
Secara global akibat meningkatnya penghasilan, dalam 50 tahun terakhir pola makan manusia mulai bergeser. Dari yang semula langsung berasal dari tumbuhan menjadi ke produk hewani seperti daging, susu, telur. Hingga 2030 akan ada hampir 3 miliar penduduk dunia yang berada dalam kelompok ini.
baca : Penelitian: Pola Produksi Protein Hewani Dunia Pengaruhi Perubahan Iklim
Peningkatan populasi dan pendapatan juga mendorong peningkatan produksi pangan secara global, baik dari pertanian maupun peternakan. Diperkirakan akan ada peningkatan hingga 70 persen sampai menjelang 2050 dibanding angka yang dikumpulkan pada 2009.
Apesnya, sebagian dari perluasan lahan pertanian ini dijalankan lewat deforestasi, merusak ekosistem, dan mengganggu hidrologi yang lebih banyak menghasilkan GRK. Meningkatnya jumlah kebutuhan produk hewani sendiri jelas akan menaikkan tingkat emisi GRK.
Temuan-temuan itu muncul dalam laporan yang diterbitkan jurnal Agriculture, 2022, di bawah judul What If the World Went Vegan? A Review of the Impact on Natural Resources, Climate Change, and Economies. Beberapa temuan yang telah disebutkan itu mendukung seruan yang dilakukan kelompok vegan untuk meninggalkan daging dari pola makan. Namun apakah gaya hidup vegan bisa segera diterapkan di seluruh dunia?
“Daging adalah salah satu produk paling kontroversial dalam produksi hewan di seluruh dunia,” karena terkait dengan kesehatan manusia dan lingkungan, kesejahteraan hewan, dan keamanan pangan, yang dianggap sebagai isu utama dalam perdebatan mengenai masa depan sistem pangan,” tulis Gabrijel Ondrasek, peneliti asal Kroasia mewakili timnya.
baca juga : Perang Memperparah Krisis Iklim
Telah disadari bahwa kebutuhan daging yang terus meningkat menyebabkan perubahan penggunaan lahan pertanian. Dalam studi sebelumnya menyebutkan peningkatan permintaan daging secara global selama 50 tahun terakhir menyebabkan perubahan lahan pertanian sebesar 65 persen.
“Metana adalah salah satu gas yang paling banyak dihasilkan di sektor peternakan dan merupakan pendorong utama perubahan iklim, karena fermentasi enterik terjadi pada ternak ruminansia,” tulis laporan itu.
Ternak ruminansia adalah ternak yang memiliki sistem pencernaan kompleks yang terdiri dari empat perut. Contohnya adalah sapi, kerbau, kambing, domba. Sedangkan fermentasi enterik adalah proses dari pencernaan ternak yang menghasilkan gas metana.
Telah diketahui bahwa terkait emisi metana, lebih dari separuh emisi global berasal dari tiga aktivitas antropogenik. Yaitu dari bahan bakar fosil sebesar 35 persen, limbah sebesar 20 persen, dan pertanian sebesar 40 persen. Dalam produksi peternakan, sumber emisi dominan yang besarnya hingga 32 persen berasal dari pupuk kandang dan fermentasi enterik.
Dijelaskan, bahwa metana enterik adalah polutan iklim yang berumur pendek atau memiliki umur 12 tahun dibandingkan dengan CO2, yang bisa berada di atmosfer selama ratusan hingga ribuan tahun. Namun metana memerangkap panas 84 kali lebih banyak dibandingkan CO2.
baca juga : Kala Nelayan dan Petani Terdampak Perubahan Iklim
Penelitian itu mencatat, ada lebih dari 300 ribu spesies tumbuhan, namun hanya 7000 spesies yang digunakan sebagai makanan. Secara global, 75 persen pangan dunia dihasilkan dari 12 tumbuhan dan 5 spesies hewan. Namun hanya tiga spesies yang menyumbangkan 60 persen kalori dan protein yang manfaatkan manusia yaitu padi, jagung, dan gandum. Sementara hewan menyediakan 30 persen kebutuhan pangan manusia dan 12 persen penduduk dunia menggantungkan pangan hanya kepada produk ternak ruminansia.
Pendukung veganisme menyebut bahwa protein bisa diperoleh dari tumbuhan, seperti kacang-kacangan. Namun ada dari kelompok ini yang mengandung alkaloid toksik dan alergen toksik, tulis laporan itu. Sehingga memerlukan proses yang lebih panjang supaya dapat dikonsumsi manusia dengan aman. Agar mendapatkan protein setara 1 liter susu sapi misalnya, orang harus membayar lebih mahal lebih dari 60 persen susu kedelai.
Meski tidak ada keraguan bahwa gaya hidup vegan jika dilakukan secara global bisa mengurangi efek GRK secara signifikan, para peneliti itu telah memberikan sejumlah catatan. Peningkatan secara besar-besaran produk pertanian kemungkinan besar hanya bisa dicapai melalui intervensi pupuk dan penggunaan sumber daya air yang besar. Ini akan menghasilkan persoalan baru yang tidak kalah buruk terkait jumlah produksi emisi GRK, selain membahayakan sumber daya air, lahan, dan keanekaragaman hayati.
“Analisis risiko yang lebih mendalam diperlukan oleh para pembuat kebijakan untuk menentukan dampak permintaan dan pasokan ketika revolusi berbasis tanaman diterapkan atau diterima secara global karena perubahan iklim, namun hal ini harus disimulasikan terlebih dahulu di beberapa wilayah di dunia,” saran penelitian itu.
Peneliti juga mengingatkan bahwa ideologi vegan butuh waktu agar bisa diterima secara luas. Mungkin perlu beberapa dekade untuk meyakinkan masyarakat agar melakukan perubahan pola makan demi perubahan iklim. Sehingga jika benar-benar melaksanakan gaya hidup vegan maka baru terwujud di masa-masa yang akan datang.(***)