- Sampah-sampah terutama plastik masih banyak memenuhi sungai-sungai sampai pesisir pantai di Jawa Timur. Sampah-sampah belum tertangani dengan baik.
- Prigi Arisandi, pendiri sekaligus Direktur Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), bilang, pengelolaan sampah industri dan rumah tangga di Indonesia, termasuk di Jawa Timur, buruk sekali.
- Perusahaan didorong menyediakan tempat sampah sekaligus mengelola sampah sachet. Juga didorong mendesain ulang bungkus produk merek pada sistem refill hingga mengurangi produksi bungkus atau sachet yang berpotensi mengotori lingkungan.
- Pemerintah, belum mampu menyediakan sarana pengelolaan sampah dan pelayanan sampah yang memadai.
Sampah-sampah terutama plastik masih banyak memenuhi sungai-sungai sampai pesisir pantai di Jawa Timur. Pada September lalu, misal, relawan World Clean Up Day memungut sampah 3.400 kg di sekitar Pantai Talang Siring, Pamekasan.
Khalifatus Zahroh, Koordinator World Clean Up Day Indonesia (WCDI), bilang, sejak aksi 2018, lokasi yang dipilih di Pamekasan karena pantai banyak sampah.
“Di sini … sampahnya lumayan cukup banyak. Selain dari sampah masyarakat, di sini juga menerima sampah kiriman,” katanya.
Plastik mendominasi sampah di pantai itu. Zahro berharap, para pengelola wisata bisa menangani sampah dengan baik. Masyarakat, katanya, juga harus berpartisipasi, dan tidak membuang sampah sembarangan, apalagi di area wisata.
Sampah plastik masih banyak dijumpai di berbagai pantai dan sungai di Jawa Timur. Tiga aktivis dari dari Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (BRUIN) menyusuri sungai dari di Surabaya dengan perahu Canoe, dari Warugunung sampai Gunungsari.
Mereka pakai metode catching (penangkapan) dalam mengambil sampah yang mengapung di sungai dengan jaring.
Sampah plastik di sepanjang sungai itu mereka kumpulkan dicatat pada transek yang dibuat. Metode ini untuk memudahkan kegiatan brand audit/sensus sampah plastik.
“Mulai 21 hingga 22 Oktober 2023 kami menyusuri Kali Surabaya dari Warugunung hingga Gunungsari untuk mengetahui kondisi pencemaran sampah plastik,” kata Muhammad Kholid Basyaiban, Koordiantor Program dan Litigasi BRUIN, Oktober lalu.
Dari inventarisasi mereka, setidaknya ada 12 kategori sampah berdasarkan perusahaan yang bikin plastik dan jenisnya.
Sampah sedotan dan tas kresek sebanyak 22%, dan sachet 41%.
Dari 1.000 sampah plastik yang dikumpulkan, ada lima brand yang mendominasi yaitu, Wings, Indofood, Mayora, Unilever, dan Miwon.
Selain itu, ada lebih 673 bangunan ilegal di bantaran kali Surabaya. Bangunan itu menurut BRUIN menyumbang sampah plastik di sungai karena mereka cenderung membuang sampah plastik langsung ke sungai.
“Dalam Undang-undang Pengelolaan Sampah dijelaskan setiap produsen yang menghasilkan sampah packaging atau bungkus yang tidak bisa diolah secara alami harus ikut mengolah agar tidak menimbulkan polusi lingkungan,” kata Kholid.
Dia meminta, pemerintah pusat maupun daerah berkoordinasi menyediakan layanan sampah supaya warga tidak membuat sampah ke Kali Surabaya.
Sedang perusahaan didorong menyediakan tempat sampah sekaligus mengelola sampah sachet. Perusahaan juga didorong mendesain ulang bungkus produk merek pada sistem refill hingga mengurangi produksi bungkus atau sachet yang berpotensi mengotori lingkungan.
Kondisi miris juga terlihat di Sungai Pelayaran, Tawangsari, Sidoarjo. Sampah menumpuk hingga menyumbat aliran sungai.
Komunitas Kawan Sungai Sidoarjo (Kansas) pada September lalu bersurat ke Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Sumber Daya Air Sidoarjo untuk segera melakukan pembersihan dan pengangkutan sampah yang menyumbat aliran sungai.
“Kami berharap semoga dengan mengirimkan surat ini bisa jadi langkah awal membantu masyarakat Tawangsari untuk mendapatkan hak sungai yang bersih,” kata Isa Darwisy, koordinator Komunitas Kansas.
Prigi Arisandi, pendiri sekaligus Direktur Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), bilang, pengelolaan sampah industri dan rumah tangga di Indonesia, termasuk di Jawa Timur, buruk sekali.
Pemerintah, katanya, hanya mampu menangani sekitar 40% sampah. Berarti, hanya 40% penduduk Jawa timur terlayani.
“Sisanya, sampah mereka dibuang, bahkan 46% dibakar, terus ditimbun,” katanya, Oktober lalu.
Pemerintah, katanya, belum mampu menyediakan sarana pengelolaan sampah dan pelayanan sampah yang memadai.
Dia bilang, masyarakat tak bisa disalahkan begitu saja dengan cap tak peduli lingkungan. Perlu lihat juga, katanya, ketersediaan layanan pemerintah seperti infrastruktur dan pembiayaan hal-hal terkait.
Kewajiban masyarakat, katanya, memilah sampah dari rumah. Sedang kewajiban pemerintah, menyediakan infrastruktur pengelolaan sampah, dan industri bertanggung mengurangi sampah dari produksi setidaknya 30% dari sampah yang mereka hasilkan.
Adanya beberapa kebakaran tempat pembuangan akhir (TPA) dalam beberapa waktu belakangan, katanya, jadi salah satu bukti pemerintah tidak bisa mengelola sampah dengan baik.
Untuk itu, dia mendorong pengurangan penggunaan plastik dan memakai wadah tidak sekali pakai.