Fenomena El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) positif saat ini berlangsung merupakan salah satu indikasi perubahan iklim dimana musim kemarau menjadi lebih kering dan curah hujan pada kategori rendah dan sangat rendah. Biasanya terjadi setiap siklus dua hingga tujuh tahun dan dapat berlangsung selama beberapa bulan hingga dua tahun.
Mengutip The National Aeronatic and Space Administration (NASA), dampak El Nino antar wilayah bisa berbeda terutama di wilayah pasifik termasuk Indonesia adalah meningkatkanya risiko kekeringan dibandingkan di wilayah barat daya Amerika Serikat dimana kondisi yang lebih basah mengalami peningkatan.
Hal ini bisa disebabkan karena peningkatan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik di atas suhu normalnya karena faktor pemanasan awan dan perubahan arus samudera. Sebagaimana nature-nya, berubahnya siklus El Nino menjadi lebih cepat dapat dikategorikan jenis bencana slow onset yang diakibatkan peningkatan suhu permukaan laut secara gradual.
Namun, yang terpenting dan perlu ditakar adalah seberapa besar potensi dampak yang diakibatkannya dimana saat ini telah dirasakan berbagai sektor ekonomi, seperti kejadian kekeringan, kekurangan pasokan air bersih bagi penduduk, gagal panen pertanian utamanya komoditas padi pada sawah tadah hujan, dan kebakaran hutan dan lahan.
Belajar pada pengalaman peritiwa El Nino 2015, saat ini sistem peringatan dini yang dimiliki Pemerintah sudah jauh lebih baik. Langkah pencegahan dan berbagai respon kebijakan fiskal juga telah disiapkan. Disamping pentingnya aspek respon terhadap bencana perubahan iklim yang sifatnya rapid onset, seperti banjir, angin puting beliung, tanah longsor, gelombang laut ekstrem, dan lain sebagainya – dimana secara umum telah menjadi cakupan di dalam skema Pooling Fund Bencana (PFB) saat ini mencapai Rp7,4 triliun.
Namun terkait dampak perubahan iklim yang bersifat slow onset, Pemerintah dan berbagai pihak harus menaruh perhatian lebih pada risiko yang ditimbulkan secara gradual dan jangka panjang yang saat ini luput dari prioritas. Terkait ini strategi pembiayaan dan investasi berketahanan iklim di segala sektor dengan memperhatikan aspek risiko di masa depan untuk mengurangi biaya respon bencana dan kerugian yang ditimbulkan di masa depan.
Sektor pertanian adalah sektor yang paling terdampak dari fenomena iklim, baik El Nino, kekeringan, maupun banjir pada musim penghujan. Sebagai potret, selama lima tahun terakhir menurunnya luas panen dan produksi padi diakibatkan oleh fenomena iklim dan juga faktor non- iklim seperti perubahan lahan pertanian dapat dilihat pada grafik berikut:
baca juga : Pertanian dan Pangan Rawan Terdampak El-Nino, Langkah Antisipasi?
Artinya, terdapat sejumlah areal yang tidak dapat ditanami karena berbagai sebab atau mengalami gagal panen jika dibandingkan dengan jumlah potensi areal yang dapat dipanen.
Jika mengacu kepada nilai standar nilai indeks IP sawah irigasi dan non-irigasi, dapat disimpulkan sebanyak 40,20% luas sawah irigasi dan sebanyak 43,27% sawah non-irigasi tidak ditanami atau mengalami gagal panen besar-besaran yang kemudian berdampak pada penurunan produksi padi nasional. Seperti disebutkan di atas, penyebabnya bisa berupa bencana banjir, kekeringan atau konversi lahan dan persaingan komoditas pertanian lainnya.
Bappenas (2020) di dalam dokumen Kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim memprediksi total potensi kerugian ekonomi selama tahun 2020-2024 akibat perubahan iklim bisa mencapai Rp545 triliun pada tahun 2024, sedangkan pontensi kerugian ekonomi pada sektor pertanian sendiri diprediksi sebesar Rp78 triliun pada tahun 2024. Selain itu, KLHK (2021) di dalam dokumen Strategi Jangka Panjang Indonesia untuk Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (LTS-LCCR 2050) menyebutkan kerugian ekonomi akibat penurunan produksi padi akibat ancaman perubahan iklim bisa mencapai 1,26% terhadap PDB nasional.
Kementerian Pertanian mengakui penanganan dampak perubahan iklim merupakan salah satu faktor penentu untuk meningkatkan produksi padi saat ini, yaitu (1) dengan memastikan ketersediaan air bagi lahan pertanian sepanjang tahun, (2) penggunaan varietas unggul yang tahan terhadap kondisi iklim ekstrim, (3) dukungan kegiatan budidaya padi, dan (4) inklusi pembiayaan bagi petani, salah satunya melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR) sektor pertanian, dimana pada tahun 2022 telah disalurkan sebesar Rp21,28 triliun atau setara dengan 1,25 juta Ha atau hanya sebanyak 11,40% dari luas tanam padi pada tahun 2022.
Terkait dengan EL Nino 2023, pemerintah juga menambah paket kebijakan mendorong implementasi KUR Alat dan Mesin Pertanian (Alsintan) dan menyiapkan insentif fiskal berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) El Nino sebagai buffers untuk mencegah inflasi sebagai bagian dari paket kebijakan APBN untuk menjaga stabilitas dan momentum pemulihan ekonomi, yaitu sebesar Rp7,52 triliun dengan sasaran kepada 18,8 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM).
baca juga : Kala Nelayan dan Petani Terdampak Perubahan Iklim
Program KUR dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan sektor riil dan memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. KUR bersumber dari dana perbankan yang disediakan untuk kebutuhan modal kerja dan investasi dan disalurkan kepada pelaku UMKM perorangan dan/atau kelompok usaha pada koperasi yang mempunyai usaha yang layak namun belum bankable. Calon penerima KUR mikro sektor pertanian dapat meminjam maksimal Rp100 juta per musim atau siklus produksi, yaitu untuk satu musim tanam.
Kebijakan KUR Mikro 2023 sektor non-produksi dan sektor produksi non-pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan (4P) dibatasi dengan menerima KUR paling banyak dua kali. KUR sektor pertanian diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Pertanian No. 3 Tahun 2021, dimana KUR Pertanian diprioritaskan untuk mendukung pencapaian tujuan utama program Kementerian Pertanian, dari aspek pemenuhan modal untuk mendorong pengembangan usaha.
Usaha sektor pertanian sering juga disebut usaha agrobisnis yang terdiri atas: (a) Subsistem hulu: kegiatan ekonomi menghasilkan input produksi (input pertanian); (b) Subsistem produksi (budidaya); c) Subsistem hilir: pascapanen, pengolahan, dan pemasaran hasil pertanian; dan (d) Subsistem pendukung: kegiatan yang memberikan layanan pendukung seperti teknologi, permodalan, dan advokasi bisnis.
Realisasi pembiayaan KUR Pertanian meningkat menjadi Rp113,4 trilun pada tahun 2022 dibandingkan tahun 2018 sebesar Rp29,8 triliun. Sedangkan target pembiayaan KUR pertanian di tahun 2023 adalah sebesar Rp100 triliun.
Pertanyaannya, seberapa efektif pembiayaan adaptasi perubahan iklim melalui program KUR dapat merespon dampak iklim di sektor pertanian?
KUR Pertanian tidak mempersyaratkan secara spesifik sasaran kepada petani atau kelompok tani rentan dan terpapar risiko iklim. Mengingat syarat pengajuan pinjaman KUR berdasarkan permintaan dan analisa kredit atau kelayakan yang dilakukan oleh pihak bank penyalur untuk menilai potensi risiko gagal bayar dari calon debitur.
Petujuk teknis harus disiapkan untuk menjamin ketepatan sasaran kepada kelompok tani atau petani yang rentan iklim melalui pertimbangan dan pemanfaatan informasi risiko iklim di dalam penentuan lokasi sebaran wilayah prioritas dan harus dipikirkan kebijakan perlakuan khusus pada kasus tertentu, seperti kondisi iklim ekstrim yang menyebabkan kerugian dan kematian (fatality).
Wilayah prioritas bisa mengacu kepada sebaran lokasi prioritas sektor pertanian dokumen Pembangunan Berketahanan Iklim dimana tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, yaitu sebanyak 71% wilayah kabupaten berisiko terhadap penurunan produksi padi akibat perubahan iklim (lihat peta di bawah).
Sedangkan mengacu kepada data realisasi Bank BRI – sebagai mitra penyalur KUR terbesar – KUR BRI tahun 2023 berdasarkan sebaran rumah tangga didominasi debitur dari Pulau Jawa sebesar Rp138,14 triliun atau lebih 53% nilai KUR Nasional sebesar Rp257,29 triliun (data per Juli 2023).
Seperti yang ditargetkan oleh Kementerian Pertanian, KUR pertanian tahun 2023 ditargetkan sebesar Rp100 triliun dengan porsi tanaman pangan sebesar 33% atau Rp33 triliun. Sehingga, untuk menjamin ketepatan sasaran program KUR Pertanian, pendampingan Dinas Pertanian di setiap wilayah berperan besar di dalam memberikan rekomendasi calon debitur berisiko iklim kepada pihak distributor KUR, dimana sebelumnya diperlukan dukungan informasi peta risiko dan dampak risiko iklim terhadap sektor pertanian di setiap wilayah.
baca juga : Tantangan Pertanian Organik Untuk Solusi Pangan Berkelanjutan
Tinjauan khusus kebijakan KUR untuk adaptasi perubahan iklim bisa mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut: (1) menambah atau menentukan jenis kegiatan yang berkaitan dengan penurunan tingkat kerentanan dan peningkatan kapasitas adaptasi perubahan iklim sektor pertanian. Mengklasifikasikan kredit investasi untuk pertanian, misalnya peralatan dan mesin untuk merespons risiko iklim ke dalam skema KUR khusus sehingga penerima manfaat tidak terkena akumulasi kebijakan plafon kredit; (2) melakukan identifikasi calon penerima KUR pertanian bagi petani yang berada pada wilayah prioritas dan terpapar risiko perubahan iklim.
(3) perlakuan khusus terhadap petani dan/atau kelompok tani yang terkena dampak perubahan iklim ekstrem atau menimbulkan kematian (fatality), merujuk pada praktik baik kebijakan KUR selama masa COVID-19. Misalnya penambahan subsidi bunga, relaksasi, restrukturisasi. Di dalam kasus kebijakan KUR COVID-19, pemerintah menambah subsidi bunga pinjaman sebesar 6% kepada debitur dengan kriteria tertentu, sehingga beban bunga yang ditanggung menjadi 0%, dan perpanjangan pemberian tambahan subsidi bunga atau margin KUR dengan tembahan sebesar 3%, kebijakan relaksasi dan penundaan pembayaran maksimal 6 bulan dan penambahan plafon pinjaman pada kasus-kasus tertentu.
Dan (4) penguatan asuransi pertanian (dan peternakan) dan peran pemerintah melalui program penyuluh pertanian sangat penting karena mengingat mayoritas petani dan kelompok tani yang rentan iklim merupakan petani kecil yang tidak bankable dan kurang melek dengan akses pembiayaan yang inklusi. Di samping itu penyuluh pertanian dapat memberikan pendampingan kepada petani melalui Sekolah Lapang Iklim, dan pengelolaan alternatif infrastruktur pertanian untuk menopang produksi, seperti pemanfaatan tenaga surya untuk pompa air di sawah tadah hujan.
Tantangan selanjutnya adalah memastikan penggunaan pinjaman KUR yang tepat guna bagi petani, karena sejauh ini secara umum pinjaman KUR digunakan petani sebagai modal kerja, seperti pembelian bibit, pupuk, dan sebagainya. Pinjaman belum dimaksimalkan sebagai investasi untuk menopang produksi, seperti alat dan mesin pertanian. Lebih jauh lagi pengawasan terhadap penggunaan KUR sangat penting agar tidak terjadi kredit macet akibat dominannya penggunaan dana KUR untuk kebutuhan konsumtif yang tidak berkaitan dengan usaha pertanian. (***)
Referensi data dan informasi:
- Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
- Kementerian PPN/Bappenas
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
- Kementerian Pertanian
- Kementerian Keuangan
- Badan Pusat Statistik
- Bank BRI
*Putra Dwitama, Praktisi perubahan iklim dan pembangunan.