- Pertanian organik kini mulai dikenal luas seiring dengan adanya tren hidup sehat. Terbukanya pangsa pasar juga akhirnya membuat para petani banyak yang beralih ke pertanian organik.
- Pengembangannya pertanian organik masih mengalami berbagai kendala. Salah satunya adanya anggapan jika konsep pertanian organik ini belum bisa mencukupi kebutuhan pangan secara nasional.
- Ada beberapa kunci dalam menumbuhkan pertanian organik, yaitu koordinasi dan kolaborasi antar stakeholder, serta pengembangan kapasitas.
- Untuk memperbaiki kondisi sumber daya yang menurun kualitasnya akibat praktik pertanian, pemerintah menerbitkan Undang-undang No.22/2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan.
Seiring dengan adanya tren hidup sehat pertanian organik kini mulai dikenal luas. Terlebih pangsa pasar juga semakin terbuka, sehingga membuat para petani akhirnya banyak yang beralih ke pertanian organik.
Bukan saja karena hasil dari pertanian organik ini mempunyai nilai ekonomis tinggi, namun pertanian organik juga dianggap bisa meningkatkan kesuburan tanah.
Sebab, dalam prakteknya pertanian organik ini tidak menggunakan bahan kimia sintesis. Sehingga unsur hara yang ada di dalam tanah bisa hidup dan berkembang. Selain itu, biaya operasional lebih murah.
Pius Mulyono, Direktur Aliansi Organis Indonesia (AOI) mengatakan, meski pertanian organik berpotensi sebagai pangan berkelanjutan. Namun, dalam pengembangannya masih menghadapi berbagai kendala.
Masih ada pihak-pihak yang meragukan jika konsep pertanian organik ini belum bisa mencukupi kebutuhan pangan secara nasional.
“Ini menjadi salah satu kendala kenapa pertanian organik itu tidak bisa berkembang,” terang Pius dalam diskusi publik bertajuk “Pertanian Organik Solusi Pangan Berkelanjutan”, di Jakarta, pertengahan Desember lalu.
Pius beranggapan, adanya program 1.000 desa organik dari Kementerian Pertanian untuk mendorong produksi produk organik juga belum menghasilkan apa-apa. Adanya desa pertanian organik hanya sebatas untuk mendapatkan sertifikat.
Padahal, dalam pengembangan pertanian organik ini banyak hal yang mesti dilakukan. Mulai dari budidaya yang baik, pembangunan sosial, hingga membangun petani sebagai sumber daya manusia. Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah ada program Go Organic juga dinilai gagal.
“Yang memprihatinkan itu masih ada ego sektoral dari masing-masing departemen yang mengurus soal pertanian. Mereka asyik dengan programnya sendiri-sendiri. Kenapa tidak disatukan dan bersinergi saja?,” jelasnya.
baca : Pertanian Organik, Pertanian Sehat yang Ramah Lingkungan
Untuk itu, menurutnya, kunci dalam menumbuhkan pertanian organik itu diperlukan kolaborasi antar stakeholder. Selain itu, penting pula dilakukan koordinasi dan pengembangan kapasitas.
Pemerintah, kata Pius, juga seharusnya memberikan intensif untuk petani organik. Karena selain memperbaiki mutu lingkungan, beban anggaran subsidi pupuk bahan kimia sintesis bisa berkurang dengan perluasan sistem budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tersebut.
Kondisi Tanah Sudah Sakit
Dalam kesempatan yang sama, Bibong Widyarti, pegiat pertanian organik dan pendiri Rumah Organik mengatakan, meski permintaan produk pertanian organik di Indonesia mengalami peningkatan, namun luasan lahan pertanian organik masih tergolong kecil.
Jika mengacu pada data Statistik Pertanian Organik Indonesia (SPOI) AOI tahun 2018, luasan lahan pertanian organik di Indonesia yaitu 251.630 hektare.
Sedangkan jumlah operator yang terlibat dalam kegiatan pertanian organik ini masih di angka 18.000 produser yang tersebar pada berbagai komoditas pertanian.
Menurut Bibong, penyebab luasan lahan pertanian organik menyusut karena tidak terlepas dari kondisi tanah pertanian yang terdegradasi akibat penggunaan pestisida yang berlebihan.
“Padahal, ketika lahan yang digarap itu sehat akan menghasilkan tanaman yang sehat. Jika tanamannya sehat manusianya juga sehat,” tutur perempuan yang mempunyai ketertarikan pada produk organik bermula dari membaca artikel di salah satu majalah pada tahun 1995 ini.
Bagi dia, selain keterbatasan lahan, sekarang ini produsen pertanian juga dihadapkan dengan kondisi perubahan iklim dan krisis pangan. Selain itu, dukungan regulasi pertanian berkelanjutan masih kurang.
baca juga : Sius, Petani Difabel Pelopor Pertanian Organik yang Diundang Makan Malam Jokowi
Tantangan lainnya yaitu banyak petani yang masih belum bisa melepaskan ketergantungan input produksi pabrikan. Regenerasi petani juga berjalan lambat.
Saat ini, lanjutnya, masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa harga produk pertanian organik terbilang mahal. Padahal, petani organik itu hanya membutuhkan harga yang adil. Hal ini karena produk yang dihasilkan pertanian organik merupakan produk yang sehat.
“Ada empat prinsip utama yang sejalan dengan prinsip pembangunan pertanian berkelanjutan, yaitu prinsip kesehatan, ekologi, keadilan dan prinsip perlindungan,” terangnya.
Untuk itu, penjaminan mutu organik yang terjangkau sangat dibutuhkan oleh petani kecil. Terpenting lagi petani kecil juga memerlukan akses permodalan.
Senada dengan itu, Adi Setiyanto, Analis Kebijakan Muda Kementerian Pertanian menyoroti tantangan pertanian organik dalam hal akses sertifikasi produk organik yang mahal bagi petani kecil.
Untuk itu, pihaknya mendorong adanya penjaminan mutu atau sertifikasi produk pertanian organik yang lebih murah dan terjangkau, mulai dari lahan, input, proses produksi, panen, hingga pasca-panen. Tujuannya agar produk pangan organik mempunyai pasar yang lebih luas.
Menyadari akan hal itu, Koordinator Perumusan Standar Keamanan dan Mutu Pangan Badan Pangan Nasional, Diah Ariyani, menekankan arah kebijakan pengembangan pangan organik kedepannya dengan mendorong revisi Regulasi Sistem Pertanian Organik dan Revisi Standar Nasional Indonesia (SNI) pertanian organik. Dengan revisi tersebut, ia berharap agar dalam prakteknya bisa mengakomodir pertanian organik di Indonesia bisa lebih berkembang.
baca juga : Menelisik Tantangan dan Harapan Pertanian Organik di Sulsel
Peran Penting
Pertanian organik sebenarnya sudah sejak lama dikenal, dimana saat itu manusia sudah mengenal ilmu bercocok tanam. Dalam prosesnya semua dilakukan dengan cara tradisional dan menggunakan bahan alamiah.
Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang holistik yang mendukung dan mempercepat biodiversitas. Selain itu, juga siklus biologi dan mendukung aktivitas biologi tanah.
Noor Avianto, Koordinator Pangan dan Pertanian Direktorat Pangan dan Pertanian Bappenas mengatakan, disaat kondisi lahan pertanian sudah mengkhawatirkan akibat pemakaian pupuk dan pestisida kimia yang berlebihan, maka model pertanian organik inilah merupakan jawaban atas revolusi hijau yang digalakkan sejak tahun 1960.
Ia mencontohkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada hasil survei pertanian terintegrasi di tiga wilayah di Indonesia yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dalam penggunaan lahan pertaniannya dikategorikan di bawah standar pengelolaan produktif yang menjamin pertanian berkelanjutan. Jumlahnya 87,72 persen.
Sedangkan yang memenuhi standar pengelolaan produktif sebagai lahan pertanian berkelanjutan di ketiga daerah tersebut hanya sekitar 10,28 persen. Kemudian rasio penggunaan pupuk kimia juga masih tinggi.
“Untuk itu bersama Kementerian Pertanian kami juga mendorong pertanian organik ini sebagai bagian dari sistem pangan yang ada,” terangnya. Konsep pertanian organik ini, katanya, sudah menjadi salah satu indikator pembangunan pangan dan pertanian di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) di tahun 2020-2024.
Sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi sumber daya yang menurun kualitasnya akibat praktik pertanian di bawah standar, lanjut Noor, pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan. Penekananya pada pasal 13 terkait pertanian konservasi.
Untuk menjaga keberlanjutan tanaman organik ini, bebernya, maka perlu dibangun food sistem secara utuh. Artinya, bukan hanya produksi saja melainkan juga dari segi pemasarannya.
“Bagaimana pertanian organik ini bisa dijadikan model pembangunan ekonomi sirkular. Membangun dari hulu hingga hilir,” jelasnya. Terpenting pula perlu adanya akselerasi dengan digital pertanian.