- Katak yang memiliki taring dan berukuran kecil di dunia, ditemukan di Pulau Sulawesi, dengan ukuran berat setara dengan uang koin.
- Katak ini tidak hanya berukuran kecil, tapi juga memiliki cara reproduksi yang unik yaitu bersarang di daun atau batu berlumut. Sementara katak pada umumnya bersarang dan bertelur di air.
- Para peneliti memberi nama ilmiah katak ini Limnonectes phyllofolia. Kata phyllofolia berasal dari kombinasi bahasa Yunani; fyllo berarti daun, dan folia bermakna sarang.
- Taring kecil yang berbeda dengan katak pada umumnya, ada kemungkinan karena katak ini mengembangkan cara bertelurnya yang jauh dari air, sehingga tidak lagi membutuhkan taring besar.
Dalam hal endemisitas, Pulau Sulawesi memang unik. Sebagai bagian dari kawasan Wallacea yang dikenal memiliki keanekaragaman hayati tinggi di dunia, pulau ini sering membuat takjub para peneliti. Temuan terbaru, penelitian kolaborasi lintas negara antara Indonesia dan Amerika, berhasil menemukan satu spesies katak terkecil di dunia yang memiliki taring dari Genus Limnonectes.
Penelitian yang telah dipublikasikan pada jurnal Plos One 20 Desember 2023 itu, menyebut lokasi penemuan katak terbaru dengan nama ilmiah Limnonectes phyllofolia ini, berada di daratan perbukitan vulkanik Sulawesi yakni di Gunung Balease, Gunung Lompobatang, dan Gunung Bontosiri [Taman Nasional Bantimurung], Provinsi Sulawesi Selatan.
Dalam laporan tersebut dijelaskan bahwa spesies baru ini memiliki cara reproduksi yang unik jika dibandingkan katak bertaring lainnya di Sulawesi seperti spesies Limnonectes arathooni. Untuk katak terbaru ini, sang jantan menjaga satu atau beberapa cengkeraman telur yang ditempelkan di dedaunan atau batu berlumut yang berada satu hingga dua meter di atas aliran atau tetesan air.
Tim herpetologi yang melakukan penelitian ini bersepakat menyematkan nama belakang phyllofolia pada katak ini karena cara reproduksinya yang khas, yaitu bersarang pada daun. Kata phyllofolia sendiri berasal dari kombinasi bahasa Yunani; fyllo berarti daun, dan folia bermakna sarang.
Baca: “Katak Setan” Punah karena Perubahan Iklim?
Penulis utama penelitian ini, Jeffrey Frederick, seorang kandidat doktor di University of California, Berkeley, Amerika, menceritakan bahwa saat melakukan perjalanan melintasi hutan, anggota tim peneliti amfibi dan reptil gabungan Amerika-Indonesia melihat sesuatu yang tidak terduga pada dedaunan anakan pohon dan batu-batu besar yang tertutup lumut, yaitu sarang telur katak.
Katak sendiri adalah hewan amfibi, yang biasanya bertelur dibungkus oleh jeli, bukan cangkang pelindung keras. Agar telurnya tidak mengering, kebanyakan amfibi bertelur di air. Namun yang mengejutkan tim peneliti, mereka terus melihat kumpulan telur terestrial di dedaunan dan batu-batu besar berlumut beberapa meter di atas tanah. Tak lama setelah itu, mereka melihat sendiri katak kecil berwarna cokelat itu yang memiliki berat yang hampir sama dengan uang koin.
“Biasanya saat kami mencari katak, kami memindai tepian sungai atau mengarungi sungai untuk menemukannya langsung di dalam air. Setelah berulang kali memantau sarangnya, tim mulai menemukan katak-katak yang sedang duduk di dedaunan sambil memeluk sarang kecil mereka,” ungkap Jeffrey Frederick, sebagaimana dikutip dari phys.org.
Baca: Katak Pohon Kutil Palsu, Spesies Baru dari Pulau Nusa Kambangan
Menurutnya, kontak yang dekat dengan telur memungkinkan induk katak melapisi telurnya dengan senyawa yang menjaganya agar tetap lembab dan bebas dari kontaminasi bakteri dan jamur.
Pemeriksaan lebih dekat terhadap induk amfibi ini mengungkapkan bahwa mereka bukan hanya anggota kecil dari keluarga hewan katak bertaring, yang taringnya nyaris tak terlihat, namun keunikan lainnya katak yang merawat telur-telur itu semuanya jantan.
“Perilaku menjaga telur oleh jantan tidak sepenuhnya diketahui pada semua katak, tapi hal ini jarang terjadi,” ujarnya.
Baca juga: Terpecahkan, Rahasia Tubuh Katak Kaca yang Transparan
Frederick dan rekan-rekan berhipotesis bahwa perilaku reproduksi katak yang tidak biasa mungkin juga berhubungan dengan taring mereka yang lebih kecil dari biasanya. Beberapa kerabat katak memiliki taring lebih besar, yang membantu mereka menangkal persaingan memperebutkan tempat di sepanjang sungai untuk bertelur di air.
Ada kemungkinan karena katak ini mengembangkan cara bertelurnya yang jauh dari air, sehingga mereka mungkin tidak lagi membutuhkan taring sebesar itu.
“Sangat menarik bahwa dalam setiap ekspedisi berikutnya ke Sulawesi, kita masih menemukan cara-cara reproduksi yang baru dan beragam. Mempelajari hewan seperti katak yang tidak ditemukan di tempat lain di Bumi ini membantu kita untuk melindungi ekosistem yang berharga ini,” ujarnya.
Bagi Frederick dan peneliti lainnya, temuan ini menggarisbawahi betapa pentingnya melestarikan habitat tropis yang sangat istimewa ini. Sebagian besar hewan yang hidup di tempat seperti Pulau Sulawesi ini cukup unik, namun perusakan habitat adalah isu konservasi yang terus meningkat untuk melestarikan keanekaragaman spesies yang ada di sana.