- Konflik buaya dan manusia di perairan sekitar Teluk Balikpapan, yang masuk kawasan IKN Nusantara di Kalimantan Timur, makin menjadi-jadi belakangan ini. Nelayan pun sampai was-was untuk tangkap ikan.
- Danielle Kreb, peneliti dari Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (Rasi) ini mengatakan, masih banyak nelayan sekitar yang mengandalkan tangkapan ikan untuk bertahan hidup sehari-hari. Namun, penurunan sumber perikanan di perairan itu juga meningkatkan potensi konflik dengan predator yang juga kehilangan mangsa.
- Perubahan habitat yang berhubungan erat dengan ekosistem di Teluk Balikpapan, sudah mempengaruhi perubahan perilaku Crocodylus porosus ini. Buaya-buaya ini mau tidak mau berusaha beradaptasi dengan perubahan.
- Pemerintah, sebagai pembuat kebijakan, punya kewenangan serta pelaksana regulasi, sampai pemberi izin-izin skala besar seharusnya punya solusi konkret mengantisipasi konflik antara buaya dan manusia di Teluk Balikpapan, berulang.
Konflik buaya dan manusia di perairan Sungai Pemaluan, sekitar Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, makin mengkhawatirkan belakangan ini. Dalam sehari, nelayan bisa bertemu buaya belasan kali dan tak jarang menyerang hingga nelayan pun sampai was-was untuk turun tangkap ikan.
Nurhanto, salah satu warga yang alami serangan buaya. Dia turun tangkap ikan ke Sungai Pemaluan, sekitar pukul 9.00 pagi. Anto turun dari dermaga atau biasa disebut tepian atau pelabuhan di belakang rumahnya, yang masuk wilayah Ibukota Negara Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.
Lelaki 41 tahun ini bikin sendiri dermaga itu untuk menambatkan perahu. Tepian terbuat dari beberapa batang kayu.
Anto, merupakan nelayan pancing pakai alat tradisional untuk mencari nafkah sehari-hari. Biasa, dia pakai alat tangkap yang memiliki banyak mata pancing dan disebut rawai oleh nelayan di sana.
Dia pakai perahu ukuran 90 centimeter, panjang 5 meter, setinggi empat papan–ukuran nelayan lokal untuk gambarkan tinggi perahu.
Perahu itu disebut ketinting, dalam bahasa lokal berarti mesin. Untuk memudahkan kendali perahu, dipasangi mesin/motor di bagian belakang. Perahu ini cukup populer di Kalimantan.
Pagi itu, Anto melakukan rutinitas harian seperti biasa. Dia tak punya firasat buruk apapun. Baru saja tiba di lokasi menurunkan rawai, Anto melihat buih-buih muncul dari dalam air di sekitar perahu setop, Muara Sungai Pemaluan, bagian dari perairan Teluk Balikpapan.
Buih-buih itu tanda pernapasan buaya di dalam air. Beberapa menit berlalu, ada sesuatu dalam mengapung berjarak beberapa meter dari tempatnya memancing.
Dia perhatikan, ternyata kepala buaya muara yang sedang mengintai dari permukaan air.
Bagi Anto, melihat buaya di perairan itu sudah hal biasa. Meskipun begitu, belakangan ini, dia cukup khawatir dengan kemunculan buaya-buaya berukuran lebih besar dari perahunya.
“Kepalanya itu (lebar) sekitar 40 centimeter. Kalau panjang (badan buaya) mungkin sekitar 3-4 meter,” katanya, menggambarkan sosok buaya yang mengintai, pada penghujung September lalu.
Seketika dia teringat kejadian setahun lalu. Konflik antara manusia buaya muara. Pada April 2022, Kamarudin atau Gobok, nelayan Pemaluan tewas kena mangsa buaya saat mencari umpan untuk memancing. Gobok masih kerabat Anto.
Dia sempat iku cari tubuh Gobok yang sempat dikabarkan menghilang ketika menyelam. Belum sempat kembali ke sungai, dia sudah dapat kabar Gobok ditemukan tak selamat.
“Ini dia sudah di dalam mulut (buaya),” katanya menirukan pesan temannya melalui sambungan telepon kala itu.
Ketika di sungai pagi itu, Anto berupaya menghindari buaya sembari bawa sebilah bambu di samping perahu. Dalam kecmasan dia berusaha menyampaikan pesan kepada buaya yang dianggap sebagai leluhurnya dengan Bahasa Paser.
“Ena iko belokakan makat iko, kono tombakku. Aku ndo belo ronu. Aku lou belokakan senambar.” Kira-kira berarti, “kalau kamu (buaya) timbulnya di depanku ini, kena tombak kamu. Aku ini takut. Aku juga nggak mau disambar.”
Seolah tak menggubris Anto, buaya justru menyerang dari belakang perahu dan dari hadapan.
Baca juga: Konflik Manusia dengan Buaya Sering Terjadi di Sumatera Barat, Peneliti Ingatkan Polanya
Kepalanya muncul, seperti meloncat dari dalam air tepat di sisi depan perahu. Anto berupaya membela diri dan menghindari ancaman.
Dengan tombak, dia menusuk kepala buaya yang muncul di hadapannya.
“Kena (buaya) tombak itu, langsung berputar.”
Meski sudah kena tombak, buaya tak langsung meninggalkan Anto.
Predator itu malah mengitari perahu Anto seolah memberikan tanda akan terus meneror dan menyerang.
Anto tak kehabisan akal. Dia melempar jangkar dengan harapan buaya teralihkan oleh gerakan benda yang bergerak di dalam air itu.
“Saya lempar jangkar, saya tarik [lagi] jangkar itu. Rupanya mungkin biaya lihat (jangkar) bergerak di bawah [air], nyelam ke bawah. Saya potong tali jangkar. Begitu ia nyelam, kesempatan buka tali perahu [yang tertaut di pohon],” ceritanya.
Dia langsung bergegas menuju ke tepian. Berpikir sudah lolos dan berhasil menghindari teror buaya muara, ternyata tidak. Ketika baru naik ke daratan, Anto kembali sosok buaya itu masih mengikuti hingga ke tepian, di belakang rumahnya.
“Langsung pergi ke pelabuhan, ikat (tali perahu) di pelabuhan. Begitu saya ikat di pelabuhan, timbul ia (buaya) lagi di samping perahu,” katanya.
Anto memilih kembali ke rumah karena berpikir ada sesuatu yang salah dengannya hingga perjalanan memancing diwarnai terror buaya bahkan mengikuti sampai ke kediaman.
Mitos kepuhunan erat dikaitkan dengan kejadian membahayakan yang dialami masyarakat Kalimantan, khusus Suku Paser ini muncul di benaknya.
Menurut kepercayaan lokal, bahaya akan terjadi karena ada kaitan dengan makanan ataupun minuman tertentu yang disajikan tetapi tidak disentuh atau dicicipi.
Anto teringat, istrinya sudah menyajikan sarapan di meja makan tetapi tak mengindahkannya.
Setelah menyantap makanan, dia kembali ke tepian untuk melihat apakah buaya masih mengintainya. Buaya sudah ada di kejauhan dengan posisi sama, di samping perahu yang dia tambatkan.
Seolah telah mengubah keadaan, buaya itu seperti memberikan kesempatan hidup kepada Anto yang sudah tak kepuhunan. Buaya memutar. Menurut dia, kepuhunan itu telah “ditolak”.
Buaya mengarah ke hulu dan mengganggu anak-anak yang gemar memancing di hulu Pemaluan.
“Di situ lagi ia (buaya), mau ganggu anak-anak. Aku turun, lewat darat sini kan naik ke sana. Anak-anak kecil itu yang mancing pasang-pasang bubu tak teriaki agar anak naik ke daratan.”
Beberapa hari kemudian, seorang teman memberikan kabar, ada seekor bangkai buaya mengambang di Sungai Pemaluan, berjarak sekitar 100 meter dari tempat tinggal Anto. Mengambang di air, terombang-ambing sedikit ke tepi sisi seberang daratan rumah Anto.
Beberapa saat setelah itu, tersebar video dari nelayan lain yang memperlihatkan bangkai buaya seolah “dijemput” dua buaya berukuran lebih besar.
Bangkai buaya itu dibawa ke Sungai Benuang, muara sungai menuju ke hilir, arah Teluk Balikpapan. Dia merasa aneh. Tak pernah dia melihat bangkai buaya “dijemput” buaya lain dan dibawa ke muara.
“Kalau mati ya mati aja. Biasa dimakan ikan, dimakan udang (bangkainya). Aku sering lihat di sini, ada yang mati, sampai busuk ia di situ (tempat yang sama).”
Baca juga : Buaya Badas Hitam, Satwa Liar Dilindungi Ikon Kutai Timur
Ritual yang hilang?
Masyarakat Paser terutama yang turun temurun nelayan meyakini, buaya merupakan leluhur yang tak boleh diganggu. Nelayan menganggap masih terhubung secara garis keturunan dengan buaya yang menjaga tanah kelahiran mereka, di pesisir Teluk Balikpapan ini.
“Dari zaman orang tua dulu ada (kepercayaan) keturunan buaya itu. Kalau ada waktunya itu memang dikasih makan. Tapi namanya zaman, udah lama, tambah jauh (dari generasi leluhur). Jadi yang kayak gitu itu mulai dilupa…”
Hingga kini, Anto yang meneruskan garis keturunan sebagai nelayan belum berani turun cari ikan. Pada waktu yang tepat dia akan kembali memancing dengan rawai untuk menghidupi keluarga. Saat ini, katanya, bukan waktu tepat melanjutkan rutinitas itu.
Bukan perkara tak berani, katanya, dalam kepercayaan Masyarakat Paser ada masa untuk “mendinginkan” sebuah konflik. Meski tak mengerti banyak tentang perilaku satwa dilindungi ini, Anto masih menghormati buaya sebagai leluhur penjaga. Dia memiliki cara sendiri untuk ritual tolak bala terlebih dahulu sebelum kembali melaut.
“Kalau turun (melaut) ya tetap, cuma sementara ini belum. Aku mau tolak bala dululah.”
Perubahan perilaku karena habitat berubah?
Sebagai nelayan, Anto sehari-harinya bawa pulang rata-rata 10 kilogram ikan dari kakap, kerapu, dan lain-lain. Kalau tangkapan cukup banyak, dia akan membagikan cuma-cuma kepada kerabat dekatnya. “Mancingnya juga nggak pakai lama. Sekarang, seharian kita mancing, paling dapat berapa ekor,” keluhnya.
Hasil tangkapan berkurang, katanya, karena banyak faktor, mulai aktivitas industri di sekitar Teluk Balikpapan, seperti jetty-jetty perusahaan tambang dan logging hingga pembangunan IKN. Kondisi ini, katanya, menyebabkan ikan enggan menetap dan membuat buaya kehilangan mangsa alami.
Rantai makanan terputus. Belum lagi, dengan lalu lalang kapal logistik pembangunan, industri, dan lain-lain di area ini. Juga banyak bukaan lahan yang disebut sebagai pemanfaatan garis pantai (PGP) guna mendukung percepatan pembangunan IKN.
“Mulai perusahaan masuk, (ada) limbah, ikan menjauh. Mereka (buaya) bukan tambah sedikit, tambah banyak.”
Sedangkan rantai makanan, katanya, sudah terputus, seperti kebun sawit di mana-mana hingga habitat dan pakan satwa seperti monyettak ada.
Setahun belakangan, Anto melihat sekitar 13-15 buaya per hari ketika memancing di Sungai Pemaluan. Buaya-buaya ini menunjukkan diri seolah menandai teritori. Bahkan, Anto pernah menemui sampai 20 buaya per hari.
Di mata peneliti yang kerap riset di Teluk Balikpapan, Danielle Kreb, memang masih banyak nelayan sekitar yang mengandalkan tangkapan ikan untuk bertahan hidup sehari-hari. Namun, katanya, penurunan sumber perikanan di perairan itu juga meningkatkan potensi konflik dengan predator yang juga kehilangan mangsa.
Baca juga: Ada Peran Unik Buaya Muara, dalam Budaya Masyarakat Gorontalo
Perempuan berkebangsaan Belanda dan peneliti dari Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (Rasi) ini telah riset di Teluk Balikpapan sejak 2000.
Akhir September lalu, Kreb kembali observasi lapangan untuk mengamati spesies mamalia dan kondisi biodiversitas secara umum di Teluk Balikpapan. “Memang ada penurunan sumber daya perikanan,” katanya, dari ujung telepon seluler.
Penurunan itu, katanya, tak terlepas dari kualitas air di Teluk Balikpapan, dari oksigen terbatas, temuan kadar fosfat melebihi baku mutu hingga ikut mendorong ikan enggan berdiam dan tinggal di di Teluk Balikpapan.
Selain itu, pembukaan lahan juga merusak dan menyingkirkan spesies ikan tertentu. Karena, kata Kreb, habitat ikan perlu lingkungan lebih tenang dengan oksigen mencukupi.
Crocodylus porosus adalah satu-satunya jenis buaya yang termasuk dalam ekosistem Teluk Balikpapan. Masyarakat biasa menyebutnya dengan buaya muara karena habitat di antara peralihan air tawar dan asin.
Kreb duga, proses memakan dan dimakan dalam rantai makanan ekosistem di Teluk Balikpapan telah terganggu. Hal itu, katanya, juga mempengaruhi peningkatan populasi buaya hingga.
Potensi konflik antara satwa liar dan manusia di Teluk Balikpapan bisa kian meningkat. Terutama nelayan yang sehari-hari harus berhadapan dengan ancaman buaya muara kelaparan.
Kelebihan populasi buaya muara, katanya, akan berpengaruh pada ekosistem sekitar. Ini jadi perhatian Kreb. Dia bilang, perlu ada pengawasan khusus untuk menghasilkan solusi tepat dalam menangani konflik ini.
Senada, Suimah, Ketua Yayasan Ulin juga peneliti buaya asal Kalimantan Timur ini mengatakan, perubahan habitat kerap mengancam ekosistem alam.
Pembukaan hutan merupakan salah satu faktor. Mulanya, buaya dapat berteduh di bawah naungan mangrove maupun nipah, dan keadaan sekitar yang tenang juga berubah. Ikan-ikan yang biasa menjadi mangsa dari buaya muara, katanya, mulai berkurang dan menjauh.
Terlebih, kata Suimah, buaya muara ini memang terbilang cukup agresif dibandingkan spesies lain di Indonesia. Ukuran jumbo mencapai 6-7 meter juga memungkinkan menelan tubuh manusia dewasa utuh sekaligus.
Perubahan habitat yang berhubungan erat dengan ekosistem di Teluk Balikpapan, katanya, sudah mempengaruhi perubahan perilaku Crocodylus porosus ini. Buaya-buaya ini mau tidak mau berusaha beradaptasi dengan perubahan.
Kreb pun soroti kerapatan hutan di sekitar Teluk Balikpapan.
Temuannya, ada beberapa titik pinggiran pantai di Teluk Balikpapan beralih fungsi. Sejumlah titik yang juga dibuka oleh pengelola lahan sebelumnya juga jadi faktor yang mendukung perubahan habitat yang mengakibatkan sedimentasi. “Makin banyak sedimentasi juga buruk bagi perikanan.”
Memangsa atau dimangsa?
Pola dan proses rantai makanan yang sebelumnya tak bermasalah pun menjadi masalah serius yang perlu ditangani. Buaya-buaya muara ini secara otomatis mempertahankan hidupnya dengan tetap mencari makan, apapun di hadapannya, termasuk manusia.
“Ketika ia (buaya) nggak punya makanan ya otomatis nyerang (manusia). Perubahan perilaku itu pasti ada sebab-akibatnya. Mungkin ia mempertahankan teritorialnya saja,” kata Suimah.
Selain sumber perikanan tak tersedia, spesies primata sebagai alternatif pakan lain buaya muara di Teluk Balikpapan telah bergeser.
Kawasan mulai bising, menyebabkan primate memilih bermigrasi ke wilayah lain yang minim gangguan. Penampakan primata berkurang, katanya, juga mempengaruhi agresivitas buaya yang kekurangan pakan.
Berbeda dengan Crocodylus siamensis yang membuat sarang terapung di atas air, porosus biasa bersarang di daratan. Ia akan menggali tanah dan menetaskan telur di sarang. Eksistensinya bahkan dilindungi UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Karena golongan predator, ketika mencapai usia dewasa, buaya tak memiliki pemangsa alami dalam ekosistem di Teluk Balikpapan.
Regulasi yang dibuat pemerintah guna melindungi eksistensi satwa liar ini juga jadi dilematis. Kepercayaan masyarakat sekitar, khusus nelayan di Teluk Balikpapan terhadap buaya muara sebagai leluhur juga pengaruhi populasi hingga tak bisa dikendalikan.
“Kalau udah besar, ia sulit sekali (dimangsa) karena predator (juga), jadi kalau masih anak-anak itu biasa yang memangsa anaknya itu banyak. Biasa kadang biawak, elang, macam-macam, burung yang besar,” kata Suimah.
Saat konflik tak terelakkan, katanya. pilihannya hanya “memangsa atau dimangsa.”
Pemerintah, sebagai pembuat pemberi kebijakan dan punya kewenangan serta pelaksana regulasi, katanya, seharusnya punya solusi konkret mengantisipasi konflik berulang.
“Harusnya ada cara mengatasi, entah isolasi (buaya) di tempat tertentu, atau pengurangan di alam. Ini kewenangan pemerintah, terutama KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan).”
Kreb bilang, perlu ada penelitian khusus mengawasi dan monitoring kasus ini, terutama populasi buaya muara berlebih di Teluk Balikpapan. Selain itu, perlu menekan lonjakan populasi buaya yang berpotensi meningkatkan konflik antara manusia liar di kawasan tak jauh dari IKN.
“Lebih bagus peneliti buaya langsung membantu menganalisa bagaimana populasi dan apa yang harus dilakukan hingga populasi (buaya muara) bisa menurun lagi.” (Bersambung)
*Liputan Niken Dwi Sitoningrum ini kolaborasi antara Mongabay.co.id dan Independen.id didukung AJI Indonesia
*******
Konflik Buaya dengan Manusia Makin Mengerikan di Maluku Utara