- Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPb) Sorik Marapi dengan pelaksana PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) di Desa Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara, terus memakan korban. Kebocoran gas berulang, warga yang menjadi korban terus bertambah tetapi pembangkit terus beroperasi.
- Pada 22 Februari lalu, uji coba pembukaan sumur proyek PLTPb Sorik Marapi menyebabkan puluhan warga lokal keracunan karena diduga terpapar gas beracun. Akibat insiden ini 75 warga Desa Sibanggor Julu, Puncak Sorik Marapi, dilarikan ke rumah sakit.
- Sepanjang proses produksi, perusahaan ini banyak mengalami masalah, saat uji coba sumur berjatuhan korban warga yang keracunan berulang kali, bahkan pada 25 Januari 2021, lima orang tewas. Pada 6 Maret 2022, kebocoran gas dari pipa juga terjadi, sedikitnya 52 orang jadi korban dan dilarikan ke rumah sakit. Tak sampai 30 hari, pipa gas bocor lagi mengeluarkan semburan lumpur panas bercampur gas beracun dan jatuh korban 21 orang. Belum usai, pada 24 April 2022 terjadi lagi, setidaknya 21 orang satu bayi enam bulan keracunan.
- Muh. Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional mengatakan, berdasarkan (UU Nomor 21/2014 mengenai Panas Bumi mengatakan, perusahaan bisa dapat teguran pertama, penghentian sementara, sampai pencabutan izin. Ironisnya, alih-alih memberikan sanksi, pejabat negara justru seolah-olah jadi juru bicara perusahaan untuk klarifikasi peristiwa mengerikan ini. Sampai hari ini, tidak ada satu pun pejabat di perusahaan yang dapat sanksi atas peristiwa berulang ini.
Operasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPb) Sorik Marapi terus memakan korban. Meskipun kebocoran gas beracun terus terjadi, pembangkit dengan pengelola PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) di Desa Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara ini jalan terus, korban pun terus bertambah.
Teranyar, pada 22 Februari lalu, uji coba pembukaan sumur proyek PLTPb Sorik Marapi menyebabkan puluhan warga lokal keracunan karena diduga terpapar gas beracun. Akibat insiden ini 75 warga Desa Sibanggor Julu, Puncak Sorik Marapi, dilarikan ke rumah sakit.
Menurut Muhammad Jafar Sukhairi, Bupati Mandailing Natal yang diwawancarai usai melihat para korban di rumah sakit, proses uji coba sumur Wilver 01 yang memakan korban warga itu disaksikan langsung tim dari Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM. Kepala Desa Sibanggor Julu juga berada di lokasi.
“Saat uji coba sumur wilver 01, tim dari EBTKE ketepatan berada di lokasi dan menyaksikan prosesnya. Jarak dari sumur dengan warga yang terpapar sekitar 700 meter. Korban mual muntah, ada juga anak-anak. Para korban semua sudah dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif dari tim dokter yang ada,” kata Sukhairi.
Dia menyayangkan, peristiwa ini berulang kali apalagi ketika proses uji coba sumur tim dari kementerian di lokasi. Seharusnya, mereka yang lebih memahami dan tahu apakah proses uji coba aman atau tidak, bisa jalan atau tidak.
Mestinya standard operating prosedure (SOP) bisa jalan sebelum proses-proses uji coba hingga tidak ada lagi jatuh korban warga sekitar proyek.
Dia pun menyerahkan kepada pihak berwenang untuk mengusut kejadian ini.
“Kami menyesalkan mengapa peristiwa ini kembali terulang. Harusnya sebelum proses uji coba pembukaan sumur sosialisasi terhadap masyarakat dilakukan oleh perusahaan. Apakah ini bagian dari bentuk kelalaian, kami menyerahkan kepada aparat kepolisian untuk mengusutnya,” ujar Sukhairi.
Dia bilang, semua korban sudah mendapatkan perawatan dari dua rumah sakit yang ditunjuk.
AKBP Arie Sofandi Paloh, Kapolres Madina, mengatakan, keracunan puluhan warga dari Sibanggor Julu ini bermula ketika uji coba sumur di wilver 01 PLTPB Sorik Marapi.
Mereka mendapatkan informasi sekitar pukul 18:00 WIB, langsung berbagi tugas. Ada yang memantau rumah sakit dan sebagian tim langsung meluncur ke lokasi kejadian untuk mengumpulkan bahan keterangan.
Awalnya, jumlah warga terpapar ada tiga orang dan terus bertambah sampai mencapai 105 orang dari satu desa saja yang berdekatan dengan lokasi proyek. Beberapa jam setelah kejadian, mereka belum bisa masuk ke lokasi uji coba sumur karena khawatir gas beracun masih keluar dari dalam lubang.
Perusahaan menutup kebocoran dengan alat pengaman diri dan aparat kepolisian mengamankan lokasi serta mengevakuasi warga dekat area kejadian. Polisi pasang larangan masuk atau melintas ke dalam lokasi.
Ali Said, Kepala Teknis Panas Bumi SMGP, dalam pernyataan resmi 23 Februari lalu menyatakan, sebelum berkegiatan mereka sudah menyebar informasi kepada masyarakat sejak 16 Februari 2024.
Proses aktivasi Sumur V-01 mulai pukul 11:30 WIB. Setelah pre-job safety meeting lanjut penyisiran perimeter aman sejauh 300 meter dari titik pembukaan. Proses mulai dengan buka katup 3 inchi sebanyak 4 drat atau 20% dengan metode penetralisir abatement system (H2S). Kegiatan pad V berjarak sekitar 700 meter dari titik terdekat Desa Sibanggor Julu.
Selama kegiatan, H2S termonitor 0 PPM, baik di lokasi pekerjaan Pad V maupun sekitar perimeter aman 300 meter, sampai ada laporan bau menyengat dari masyarakat Sibanggor Julu, terlihat dari alat deteksi gas H2S. Aktivasi langsung setop.
Bersama kepala desa dan tim dari CDCR bergerak cepat ke area yang dilaporkan tercium bau menyengat. Ketika tiba, katanya, sudah tidak terdeteksi lagi dan mereka sampaikan kepada masyarakat.
“Fokus menyediakan ambulans dan kendaraan lain untuk membawa masyarakat mengeluhkan kondisi kesehatan. Kami langsung membawa ke rumah sakit untuk diperiksa. Di lokasi bersama aparatur desa juga aparat penegak hukum mengamankan area. Operasi di perusahaan sudah berjalan normal,” ujar Ali.
SMGP mulai proyek pada pertengahan 2016. Perusahaan dengan mayoritas saham (95%) dimiliki KS Orka Renewables Pte Ltd, perusahaan pengembang dan operator panas bumi berbasis di Singapura.
Kapasitas total Pembangkit Sorik Marapi ini sebesar 240 MW dan masuk dalam ‘proyek strategis nasional.’
Sepanjang proses produksi, perusahaan ini banyak mengalami masalah, saat uji coba sumur berjatuhan korban warga yang keracunan berulang kali, bahkan pada 25 Januari 2021, lima orang tewas.
Pada 6 Maret 2022, kebocoran gas dari pipa juga terjadi, sedikitnya 52 orang jadi korban dan dilarikan ke rumah sakit. Tak sampai 30 hari, pipa gas bocor lagi mengeluarkan semburan lumpur panas bercampur gas beracun dan jatuh korban 21 orang. Belum usai, pada 24 April 2022 terjadi lagi, setidaknya 21 orang satu bayi enam bulan keracunan.
Data Kepolisian Resort Mandailing Natal sudah 100-an orang jadi korban terhirup gas beracun proyek geothermal panas bumi Sorik Marapi ini. Data dari Komunitas Adat Mandailing menyebutkan, yang menjadi korban tewas, kritis maupun dilarikan ke rumah sakit merupakan Masyarakat Adat Mandailing.
Bahaya
Syarifah Ainun, permanent member of the Chemical Engineering degree in Sumatra region menyatakan, peristiwa keracunan berulang ini tidak bisa dipandang remeh dan terbaikan begitu saja. Upaya mengevakuasi para korban kemudian membawa ke rumah sakit dan memberikan oksigen bukan pemecahan masalah.
Dia bilang, ada hal lebih penting lagi di balik peristiwa ini yaitu efek jangka panjang dari senyawa gas beracun hidrogen sulfida ini kalau terus-menerus terpapar manusia.
Hidrogen sianida (HCN), katanya, masuk kategori paling berbahaya dan dalam kategori senyawa ekstrem paling beracun mengungguli senyawa kimia karbon monoksida (CO).
Dia disebut senyawa ekstrem paling beracun kedua karena cara kerja betul-betul senyap. Kalau manusia terhirup gas beracun ini dalam jumlah besar atau sedang sekalipun, dalam hitungan detik bisa tewas kalau tak segera dapat pertolongan.
Manusia yang terpapar senyawa kimia beracun hidrogen sulfida ini, katanya, bisa alami banyak gangguan. Kalau terpapar di bagian mata akan menyebabkan iritasi, apabila terhirup akan menyebabkan gangguan pernapasan.
“Kalau terhirup dalam jumlah besar bisa menyebabkan terhentinya operasi paru-paru, dampaknya dapat mengakibatkan kematian kalau tidak ditangani serius.”
Dampak lain orang yang terpapar hidrogen sulfida ini adalah insomania, kejang-kejang, pusing dan sakit kepala, gangguan tidur serta radang, termasuk menyebabkan suka marah.
Efek lain, katanya, apabila terhirup gas beracun hidrogen sulfida ini dapat menyebabkan kerusakan otak.
Menurut Ainun, data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 15 miligram hidrogen sulfida menyebabkan iritasi selaput bening yang menutupi bagian mata atau konjungtiva. Paparan 70 miligram hidrogen sulfida menyebabkan kerusakan mata serius, mempengaruhi saraf sensoris di konjungtiva.
Dengan begitu, katanya, kalau senyawa beracun ini terus mengendap di aliran darah dan bagian penting tubuh lain perlahan akan merusak sistem-sistem dan bisa berujung pada kematian.
“Ini merupakan kajian jangka panjang dan tidak bisa dianggap remeh, tak boleh ada pengabaian terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi proyek,” katanya.
Semua pihak harus bergerak cepat agar tidak ada lagi timbul masalah baru di kemudian hari.
“Kita tinggal menentukan pilihan apakah ingin menjadi seseorang yang tercatat sejarah menjadi bagian dari turut terlibat dalam pemusnahan Suku Batak Mandailing secara lokal di wilayah proyek Geothermal Sorik Marapi, atau jadi penyelamat dari kepunahan suku itu dari ancaman investasi yang entah untuk siapa,” kata Syarifah.
Ali Akbar, Koordinator Konsorsium Sumatera Terang untuk Energi Bersih mengatakan, kalau bicara geothermal yang diambil adalah uap panasnya yang berfungsi sebagai bahan bakar untuk pembangkit turbin. Kalau bicara teknologi sampai sekarang dianggap masih belum aman.
Semua proyek geothermal di Indonesia tidak ada yang tidak bermasalah. Selain di Sorik Marapi, geothermal di Bengkulu juga sama, memakan korban jiwa,. Dalam proses pengerjaan proyek menyebabkan longsoran. Ketika sudah panen terjadi semacam kebocoran gas yang merusak lingkungan serta perkebunan masyarakat lokal tinggal sekitar proyek.
Untuk kasus Sorik Marapi, jika terjadi hanya sekali maka bisa dianggap sebagai kecelakaan tetapi dalam kasus ini berulang-ulang.
Jadi, katanya, bukan proses evaluasi yang harus dilakukan negara terhadap perusahaan ini, lebih dari itu mereka harus mendapat hukuman karena tidak cakap memanen panas bumi sebagai sumber uap panas.
Dengan banyak korban keracunan bahkan sampai ada yang meninggal dunia, katanya, tindak tegas perusahaan. Begitu pula kalau ada aktivitas yang menurunkan daya dukung dan daya tampung lingkungan bisa lakukan gugatan.
Tindak tegas, perusahaan harus bertanggung jawab
Muh. Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional mengatakan, berdasarkan (UU Nomor 21/2014 mengenai Panas Bumi mengatakan, perusahaan bisa dapat teguran pertama, penghentian sementara, sampai pencabutan izin.
“Proses teguran pertama, penghentian sementara, sampai pada pencabutan izin ini harus negara lakukan SMGP, karena warga terpapar gas beracun berulang kali,” katanya kepada Mongabay.
Selain itu, dalam UU Nomor 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup juga menjelaskan hal serupa, bahkan bisa pidana. Dia sebutkan, Pasal 112 menyatakan, pejabat yang bertanggungjawab dalam pengawasan bisa dipidana ketika terjadi pencemaran lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia.
Ironisnya, alih-alih memberikan sanksi, pejabat negara justru seolah-olah jadi juru bicara perusahaan untuk klarifikasi peristiwa mengerikan ini.
Sampai hari ini, katanya, tidak ada satu pun pejabat di perusahaan yang dapat sanksi atas peristiwa berulang ini.
“Padahal, perusahaan dan pejabat di dalamnya harusnya diberi sanksi agar bisa dapat efek jera dan tidak terjadi lagi ke depan.”
Sebenarnya, kata Jamil, kalau melihat peristiwa ini, perusahaan salah penanganan dalam mengoperasikan proyek panas bumi mereka. Hal itu tidak dapat dibenarkan dalam hukum karena terjadi pencemaran dan kerusakan lingkungan. Perusahaan, katanya, harus dihukum sekaligus bertanggung jawab untuk pemulihan.
Selain itu, katanya, perusahaan juga harus bertanggung jawab pemulihan sosial karena masyarakat sudah menderita. Dalam kasus ini, katanya, perusahaan yang bermasalah malah masyarakat yang harus mengungsi.
Padahal, kata Jamil, masyarakat dan lahan pertanian sudah lebih dulu ada daripada perusahaan. “Harusnya perusahaan yang ditutup. Apalagi, sudah ada korban meninggal dunia akibat proyek itu.”
Sayangnya, setelah pengesahan UU Cipta Kerja, ada pencabutan pasal yang mewajibkan penjara bagi pelanggar perizinan berusaha lalu mengganti denda. Sebaliknya, dalam Pasal 73 UU Cipta Kerja justru menegaskan, orang yang dengan sengaja menghalangi pengusahaan panas bumi bisa kena pidana penjara paling lama tujuh tahun atau denda paling banyak Rp70 miliar.
Di sisi lain, proyek panas Bumi yang kerap disebutkan sebagai energi terbarukan itu juga menjadi kesalahan yang fatal. Ia bilang, politik bahasa yang digunakan pemerintah di proyek panas Bumi ini hanya menyesatkan masyarakat.
Berdasarkan penelitian Jatam, panas bumi ini hanya jadi energi berbahaya yang mematikan. “Tidak hanya manusia, juga membunuh ternak-ternak warga sekitar hingga pemilik mengalami kerugian besar,” katanya.
Panas bumi merupakan industri ekstraktif karena proses pakai metode penambangan. Dengan metode itu, akan ada proses pengeboran, serupa dengan proses penambangan biasa. “Tujuan pengeboran ini untuk membuat sumur injeksi dan produksi.”
Sumur produksi mengalirkan gas atau fluida panas dari dalam bumi ke permukaan. Fluida panas inilah yang diubah jadi energi. “Jumlah fluida panas alami tersedia sangat terbatas dan akan habis, jadi dibuatlah sumur injeksi. Sumur ini mengalirkan fluida ke dalam perut bumi.”
Setelah bersentuhan dengan batuan panas di dalam perut bumi, katanya, fluida akan menaikan suhu dan teralir kembali ke permukaan bumi melalui sumur produksi. Proses ini, katanya, sering menyebabkan penurunan kualitas lingkungan, yang akhirnya merusak ekosistem, termasuk manusia.
Menurut laporan Walhi Nasional dan Center of Economic and Law Studies (CELIOS) rilis 5 Maret 2024 menemukan, siklus operasional gas rumah kaca (GRK) dari pembangkit panas bumi (PLTP) sebanding bahkan lebih besar dari PLTU batubara konvensional.
Laporan berjudul “Geothermal di Indonesia; Dilema Potensi dan Eksploitasi Atas Nama Transisi Energi,” itu menyebutkan, PLTP akan meningkatkan risiko seismik. Ada kemungkinan reservoir alami rekahan sebagai akibat dari proses penambangan panas bumi yang menggunakan fraktur hidrolik (fracking).
Teknik itu memiliki risiko, karena peningkatan permeabilitas berarti kehilangan daya ikat batuan, atau kohesivitas. Terlebih lagi, sifat tektonik Indonesia sangat aktif di beberapa tempat, dan bisa memicu gempa bumi besar.
Dalam laporan juga menjelaskan, penambangan panas bumi menarik dan menyalurkan air terus menerus, mengurangi kepadatan tanah, menyebabkan pelesakan permukaan tanah yang menyebabkan perubahan relief bumi ini. Dampak lanjutannya, kerusakan sistem akuatik, pencemaran air, kerusakan tanah, dan produktivitas pertanian menurun.
Bukan soal lingkungan, PLTP ini juga merugikan secara finansial. Berdasarkan penelitian Walhi dan Celios di tiga wilayah NTT yakni, Wae Sano, Sakoria, dan Ulumbu, PLTP berisiko menimbulkan kehilangan pendapatan petani Rp470 miliar pada tahap pembangunan. Sedang kerugian output ekonomi sampai Rp1,09 triliun pada tahun kedua proses ekstraksi geothermal.
Dengan begitu, kata Jamil, masyarakat perlu bersuara dan menyalurkan keresahan mereka terkait derita dengan proyek energi panas bumi ini.
Menurut dia, ganti rugi perusahaan ke masyarakat bukan solusi, melainkan hanya membungkam suara-suara mereka yang protes.
Terlebih lagi, katanya, ganti rugi kepada perusahaan itu tak seberapa kalau dibandingkan hilang nyawa warga yang hilang proyek beracun itu. Dia bilang, tak semua bisa diganti dengan uang. “Tapi itulah metode yang kerap digunakan perusahaan untuk menyelesaikan masalah yang mereka buat.”
Menurut dia, warga sekitar harus benar-benar mendapatkan keadilan atas dampak dari keberadaan proyek itu. Dalam ilmu lingkungan hidup, katanya, keadilan itu harus diberikan kepada orang yang hidup sekarang, dan generasi mendatang.
“Itu dikenal dengan keadilan antar generasi. Artinya, warga tetap harus diberikan ganti rugi dan tidak membungkam suara-suara mereka yang meminta keadilan.”
Selain itu, katanya, harus ada kepastian warga tak akan alami kejadian serupa. “Satu-satunya jalan mencabut izin panas bumi di lokasi itu.”
Kalau melihat dari topografi saja, lokasi perusahaan sudah salah tempat karena berada di tengah-tengah lahan pertanian dan pemukiman warga.
Jarak pun hanya berbatas tembok yang dibuat perusahaan. Padahal, katanya, proyek-proyek panas bumi ini sangat rentan dan berbahaya kalau gas bocor.
“Terbukti kan, lambatnya perusahaan mendeteksi gas bocor, jadi warga sekitar jadi korban. Yang salah ini perusahaan, karena sudah tau lokasi padat penduduk, tetap membangun proyek.”
Belum lagi, katanya, warga sekitar tak mendapat informasi cukup dari perusahaan, terkait apa saja bahaya proyek panas bumi. Perusahaan justru hanya menyampaikan hal-hal positif saja terkait proyek mereka.
“Padahal, masyarakat perlu informasi penyeimbang agar mereka bisa waspada dengan proyek itu,” katanya.
Beyrra Triasdian, Program Manager Energi Terbarukan Trend Asia menyatakan hal serupa. Menurut dia, meski geotermal dipercaya pemerintah sebagai energi bersih, nyatanya tidak jadi energi berkeadilan.
Pada dasarnya geotermal memiliki densitas energi besar hingga kerusakan juga sangat besar. Untuk itu, katanya, pemanfaatan energi panas bumi itu harus sangat hati-hati dan memiliki standar yang tidak hanya terbatas pada pengelola, juga standar keselamatan.
Kebocoran gas hingga menelan korban yang berulang itu membuktikan ketidakseriusan SMGP atas standar keselamatan masyarakat sekitar.
Padahal, katanya, perusahaan dapat izin dari negara dan harus bertanggung jawab atas dampak yang muncul.
Secara umum, katanya, proyek geothermal Indonesia rata-rata berada di lokasi yang merugikan masyarakat dan lingkungan. Kalau bukan di hutan lindung dan konservasi, panas bumi kerap di wilayah berdekatan dengan pemukiman warga.
Pemerintah, katanya, terkesan abai dengan segala ancaman kepada masyarakat dab lingkungan. Salah satu bukti, mengeluarkan panas bumi dari pertambangan dan mengganti dengan “pemanfaatan jasa lingkungan” dalam revisi UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi ke UU No. 21/2014. Juga UU No. 6/2023 tentang Cipta Kerja mengubah 35 pasal UU Panas Bumi.
Akibatnya, kata Beyrra, kerugian dampak proyek ini seringkali hanya membayar kerusakan sesaat, bukan keseluruhan. Kalau tidak ada tindakan negara dan perbaikan perusahaan, maka kasus Sorik akan terus berulang.
“Geothermal ini juga didorong sebagai energi solusi, tapi dengan banyak catatan teknis dan keselamatan. Jadi, masalah terbarukan saja tidak cukup, harus adil dan berkelanjutan.”
Trend Asia menuntut, transisi energi harus benar-benar berkeadilan. “Geotermal termasuk hal yang dipertanyakan keadilannya. Contoh nyata, panas bumi di Sorik Marapi ini merugikan warga sekitar setiap fase.”
*******