- Adalah Hutan Ranjuri. Ia berada di tengah pemukiman Desa Beka, Kecamatan Marawola Barat, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Hutan ini banyak pohon besar dan tinggi menjulang jadi pelindung bagi Desa Beka.
- Ketika bencana gempa bumi, tsunami dan likuifaksi September 2018, Desa Beka aman terlindung. Hutan Ranjuri pun jadi populer pasca bencana itu. Banyak peneliti luar datang, hutan ini pun disebut hutan purba karena banyak pohon usia ratusan tahun.
- Hutan Ranjuri terjaga karena warga turun menurun menjaganya. Generasi muda Beka yang merawat dan mengawasi Ranjuri. Mereka terhimpun dalam Komunitas Ranjuri -Ranah Juang Lestari.
- Hutan Ranjuri kini hadapi tantangan. Bencana seperti banjir berulang dan cuaca ekstrem memberi dampak tersendiri bagi alam Ranjuri, termasuk rao k
Pepohonan besar menjulang di Hutan Ranjuri. Hutan ini berada di tengah pemukiman di Desa Beka, Kecamatan Marawola Barat, Sigi, Sulawesi Tengah.
Ranjuri memanjang dari utara ke selatan desa, terapit pemukiman warga Beka di sisi timur dan hamparan bukit perdu yang membentang hingga kaki Pegunungan Gawalise di sisi barat.
Ranjuri berasal dari kata ransyuuri, dalam pelafalan dialeg Kaili. Ran berarti dalam (masuk) dan syuuri bermakna pohon syuuri. Ranjuri pun berarti masuk hutan pohon syuuri.
Hutan ini memang rumah bagi pohon syuuri. Mereka menyebutnya rao kaili. Sebagian orang mengenal juga sebagai pohon kaili.
Hutan ini tak luas. Saat ini, paling luas kurang 9 hektar. Sebelum banjir bandang menghantam wilayah ini Maret 2021, luasan Ranjuri sekitar 14 hektar.
Untuk sampai ke Beka yang berjarak 13,9 km melalui poros Palu– Banggai ini perlu sekitar 20 menit berkendaraan roda dua dari Palu.
Jarak Desa Beka ke dalam Hutan Ranjuri sekitar 7-10 menit berjalan kaki. Hutan ini hanya berbatas pagar pekarangan warga. Di dalamnya banyak tumbuhan merambat dan perdu dengan pohon-pohon lain seperti beringin yang tumbuh di antara pohon kaili.
Pepohonan tinggi, besar dengan akar menonjol di permukaan tanah ini cukup banyak. Meski tak rapat, dahan dan daun melebar hanya ada di bagian pucuk saling menutupi satu dan lainnya. Kerapatan daun membuat cahaya matahari yang masuk tak banyak.
Gifvent Lasimpo, Direktur Yayasan Kompas Peduli Hutan (KOMIU) mengatakan, kurangnya cahaya matahari bisa saja jadi salah satu faktor sulitnya pohon besar berkembang biak.
“Populasi pohon kaili ini tidak banyak lagi. Kami mencari anakan untuk dibiakkan tidak ada. Biasa di sekitar pohon-pohon besar tumbuh pohon baru tapi kami tidak temukan,” katanya.
Selain vegetasi, Ranjuri juga kaya fauna seperti spesies burung dan ular. Saat ini, yang mendominasi ular terutama dari jenis viper endemik Sulawesi. Warga menyebut jenis ular ini sebagai jalimoo.’
“Jauh sebelumnya, wilayah ini tempat makan burung kakatua jambul kuning. Menurut orang tua desa ini, jika pohon kaili berbuah, Ranjuri berubah warna jadi putih karena kakatua berkumpul untuk makan di situ. Spesies ini endemik dengan status sangat terancam punah,” kata Gifvent.
Saat ini, sudah tak terlihat lagi kakatua sejak pemukiman berkembang dan jalur koridor makanan mereka berubah. Hanya jenis elang bondol yang terlihat.z
Sebelum gempa bumi, tsunami dan liquifaksi yang memporak-porandakan Palu, Sigi dan Donggala pada September 2018, orang tak mengenal Ranjuri.
Pasca bencana, Beka, terutama Ranjuri menarik perhatian banyak pihak terutama para peneliti luar. Pasalnya, wilayah di garis Sesar Palu Koro ini tak mengalami kerusakan seperti desa-desa tetangga mereka.
Ranjuri yang membentengi Dusun II dan Dusun III Beka, selamat dari kehancuran bencana.
“Waktu gempa besar, desa tetangga kami hancur-hancuran tapi kami aman. Rumah tidak rusak, tanah tidak naik atau turun, tidak ada. Begitu juga waktu banjir bandang 26 Maret 2021, Dusun II dan III aman karena terlindungi Ranjuri.” kata Mohammad Fitrah, Kepala Desa Beka kepada Mongabay, Maret lalu.
Berbagai bencana di wilayah ini, kata Fitrah makin memperjelas orang tua mereka mewariskan tradisi menjaga dan merawat Ranjuri sejak masih kanak-kanak.
Pemuda penjaga, tradisi pewarisan
Hutan Ranjuri terjaga karena warga turun menurun menjaganya. Adil dan Ahdiyat, dua dari puluhan anak muda Beka yang merawat dan mengawasi Ranjuri. Mereka terhimpun dalam Komunitas Ranjuri -Ranah Juang Lestari.
“Banyak komunitas muda di sini. Kelompok pencinta alam saja ada empat. Semua bertugas menjaga, mengawasi dan merawat Ranjuri. Kami juga diawasi totua (orang tua),” kata Ahdiyat.
Bukan hanya menjaga dan mengawasi, patroli hutan mereka lakukan bergantian setiap hari. Aktivitas ini untuk mengecek dan mencari jerat maupun pemasangan jerat oleh orang luar.
Adil bilang, orang luar desa masuk dan memasang jerat kelelawar dan burung.
Pengawasan intensif membuahkan hasil. Pemasang jerat berkurang beberapa tahun terakhir.
Selain patroli jerat, mereka menjaga mata air yang banyak di hutan Ranjuri.
Menurut Adil, tugas itu untuk memastikan sumber mata air tidak rusak dan tercemar, termasuk jalur air ke rumah-rumah warga aman.
Memastikan Ranjuri tetap eksis, katanya, merupakan kewajiban generasi muda. Hal itu, orang tua mereka tanamkan sejak masa kanak-kanak. Pengajaran ini dengan berbagai model seperti cerita, pantun (kayori), petuah hingga aktivitas di hutan Ranjuri.
Selain pemuda Beka, para pelaku seni pun ikut suarakan jaga Ranjuri, seperti Tardigrada. Grup musik lokal dengan nuansa etnik Kaili ini pun mencipta lagu seputar Ranjuri.
“Menurut kitorang (kami) Ranjuri itu hutan purba juga napas. Menariknya, ada satu aturan di dalam Ranjuri ketika ada pohon tumbang tidak boleh diambil apalagi ditebang. Nilai-nilai inilah yang harus dipertahankan sebagai masyarakat kontemporer,” kata Moh. Zulfikar, pemain alat musik etnik di Tardigrada.
Kearifan menjaga hutan warga beka dituangkan dalam karya “Ranjuri” sebagai bagian dari kampanye dan dukungan mereka terhadap masyarakat penjaga hutan Ranjuri.
Kala Ranjuri populer pasca bencana September 2018 dan kehadiran para peneliti luar negeri, ia kemudian disebut-sebut sebagai hutan purba yang memiliki pohon berusia ratusan tahun, yakni, pohon kaili.
Kepopuleran itu mengundang banyak pihak luar termasuk lembaga pegiat lingkungan. Kampanye hijau dan kelestarian Ranjuri menjadi usungan mereka. Sayangnya, harapan pemuda Beka untuk menjaga eksistensi Ranjuri dan pohon kaili dari kepunahan menuai kekecewaan.
“Memang mereka masuk sini (Beka) tapi kami semua bingung dengan programnya. Di kepala kami, program adopsi pohon itu pohon kecil bukan pohon yang sudah ada jauh sebelum nenek kami ada,” kata Adil.
Selain itu, katanya, program mereka kurang melibatkan anak muda desa terutama berbagi pengetahuan soal hutan dan isinya.
Ahdiyat membenarkan itu. Dia bilang, transfer informasi agar Ranjuri terjaga itu perlu bagi mereka.
“Pengetahuan itu yang penting. Contoh, bagaimana mengukur pohon yang benar, bagaimana pembibitan pohon besar, bagaimana mengetahui pohon besar ini sakit. Ilmu itu yang kami mau. Yang terjadi tidak seperti itu.”
Para peneliti pun tidak memberikan dampak apapun termasuk informasi kepada masyarakat. Fitrah bilang, yang masuk kebanyakan peneliti luar.
“Mereka datang, kami layani dengan baik. Harapannya, pengetahuan kami, warga desa, tentang hutan kami bertambah. Ternyata tidak. Selesai urusan, mereka pulang. Kami ditinggal tanpa mengetahui hasil dari penelitian itu sampai sekarang. Saya kecewa.”
Hutan Purba, penanda kehidupan Orang Kaili
Ranjuri disebut-sebut sebagai hutan purba karena ada pohon (rao) kaili. Pohon ini mengundang para ilmuwan untuk menelitinya.
Iksam Djorimi, arkeolog sekaligus Wakil Kepala Museum Sulawesi Tengah mengatakan, jauh sebelum orang mengenal Ranjuri, dia sudah meneliti di wilayah ini.
Hasil penelusuran Iksam, didapati Ranjuri sebagai penanda kehidupan masa lalu Orang Kaili. Bergeser ke arah utara dengan titik Ranjuri sebagai garis penanda menuju Teluk Palu, dulu banyak ditumbuhi pohon purba dengan hutan sama seperti Ranjuri.
Meski demikian, klaim hutan purba mesti diteliti dengan sistem periodisasi. Angka pasti yang bisa menentukan kapan mulai kehidupan itu.
Saat itu, mereka belum tahu spesies tumbuhan apa rao kaili ini. Komunitas muda Beka bersama Yayasan KOMIU melakukan penelitian pada 21 Maret 2021.
Hasil identifikasi, rao kaili adalah pohon dengan nama latin Dracontomelon mangiferum. Spesies tumbuhan berkayu dari family Anacardiaceae genus Dracontomelon.
Di Jawa, pohon kaili dikenal dengan nama rau. Di Kalimantan dikenal sebagai pohon sangkuang. Tumbuhan dengan berdiameter lebih 1,5meter dan tinggi mencapai 55 meter ini ada juga di Bali, Papua, Sumatera, Sunda Kecil dan Maluku.
Selain Indonesia, IUCN mencatat spesies ini tumbuh di beberapa negara seperti Brunei Darussalam, Cambodia, China, Fiji, India, Laos, Malaysia (Sabah, Sarawak, Peninsular Malaysia), Myanmar, Papua New Guinea, Philipina, Singapura, Solomon, Thailand dan Vietnam. Menurut IUCN, tumbuhan ini masuk daftar least concern.
Penamaan pohon kaili adalah bagian dari tradisi Suku Lembah Palu. Menurut Iksam, pohon kaili tidak terbatas pada satu jenis saja tetapi hampir semua pohon-pohon yang tumbuh pada periode itu disebut sebagai pohon kaili.
Tradisi yang mengikat masyarakat dan pohon atau hutan dengan penamaan tertentu ini, katanya, bertujuan untuk menjaga kelestarian.
Selain itu, lokasi tumbuh pohon berada di sekitar mata air. “Semua jalur yang ditumbuhi pohon-pohon besar di Ranjuri itu ada mata air dan dilindungi hukum adat. Diberi nama dan disakralkan. Tujuannya jelas, perlindungan sumber air,” kata Iksam.
Fitrah benarkan itu. Dia bilang, di dalam Hutan Ranjuri ada puluhan mata air dengan pengawasan dan pengelolahan turun menurun ke generasi muda berikutnya.
Selain itu, katanya, adat pun mengatur yang boleh masuk ke dalam hutan selain tetua adat.
“Ada perjanjian tak tertulis kepada kepala desa terpilih termasuk saya, waktu itu, soal bagaimana Ranjuri dikelola dan dijaga.” Perjanjian ini diikat secara adat.
Meskipun begitu, Ranjuri kini hadapi tantangan. Bencana seperti banjir berulang dan cuaca ektrem memberi dampak tersendiri bagi alam Ranjuri, termasuk rao kaili.
Pohon kaili sedang sakit. “Kondisi batang berlubang-lubang dan rapuh. Jika angin kencang itu bisa patah dan sudah ada beberapa yang patah,” kata Gifvent.
Suhu panas sejak tahun kemarin ditambah material banjir bandang berupa pasir dan batu menimbun bagian utara Ranjuri diduga kuat jadi penyebab.
Pasir dan batu menutup permukaan tanah di hutan. Banyak tumbuhan tak bisa bertahan hidup dan mati.
Sebelumnya, pada 30 Desember 2023, Pemerintah Sigi menanam 1.000 pohon dari berbagai varietas. Namun banyak tak tumbuh, kering dan mati.
Gifvent bilang, perlu penelitian untuk mengetahui jenis tanah, ph tanah dan jenis tanaman yang cocok di Ranjuri agar tak sia-sia.
Selain itu, hulu juga harus terjaga hingga hutan penyanggah tumbuh dengan baik. Sayangnya, saat ini di hulu marak pembalakan liar, dan pembukaan lahan perkebunan di lereng-lereng gunung. Kalau tak segera diatasi, katanya, akan mengulang tragedi banjir bandang Beka 2021.
Untuk itu, katanya, harus diikuti penegakan hukum dan pengawasan ketat dari pemerintah agar upaya menjaga hutan Ranjuri, berjalan.
“Sulit kalau kesadaran tak sama. sekuat apapun perlindungan terhadap Ranjuri tak akan mampu menghalau bencana banjir dari hulu,” kata Gifvent.
*****