- Orangutan betina punya kesetiaan pada tempat kelahirannya. Hasil penelitian menunjukkan mereka memiliki perilaku filopatri natal, yaitu tinggal di wilayah jelajah stabil yang tumpang tindih dengan wilayah induknya.
- Seekor betina muda melewati ‘fase eksplorasi’, saat ia belum dewasa dan mandiri hingga masa remajanya. Ini ditandai dengan peningkatan luas wilayah jelajah dan jarak yang ditempuh setiap hari.
- Kesetiaan orangutan betina terhadap lokasi seumur hidup yang tinggi harus dipertimbangkan dalam inisiatif perencanaan penggunaan lahan. Penelitian menyarakakan pemantauan ketat jangka panjang terhadap orangutan yang dilepasliarkan dan ditranslokasi.
- Kasus repatriasi atau dipulangkan kembali orangutan ke Indonesia sering terjadi. Pada Desember 2023, tiga individu orangutan sumatera yang diduga dari Aceh, dipulangkan dari Thailnd ke rumah barunya di Jambi.
“Home sweet home” adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan perilaku unik orangutan betina.
Berbeda dengan orangutan jantan yang akan mengembara setelah dewasa dan matang secara seksual, para betina cenderung memilih menetap, di dekat wilayah kelahirannya.
Perilaku ini disebut filopatri natal, yaitu kecenderungan betina untuk tinggal di tempat kelahiran mereka setelah dewasa secara seksual. Dalam penelitian Ashbury dkk. [2020], hal ini dibuktikan dengan pengamatan selama 14 tahun [2003-2017] terhadap pola pergerakan populasi orangutan betina di Tuanan, Kalimantan Tengah.
“Semua betina muda dalam penelitian ini menunjukkan filopatri natal, yaitu tinggal di wilayah jelajah stabil yang tumpang tindih dengan areal induknya,” tulis peneliti di jurnal Behavioral Ecology and Sociobiology.
Dijelaskan juga, seekor betina muda melewati ‘fase eksplorasi’, saat ia belum dewasa dan mandiri hingga masa remajanya. Ini ditandai dengan peningkatan luas wilayah jelajah dan jarak yang ditempuh setiap hari.
“Eksplorasi difasilitasi ketersediaan sumber daya yang tinggi dan pergaulan dengan pejantan dewasa,” tulis penelitian tersebut.
Uniknya, meskipun hal ini memperbesar potensi persaingan sumber daya, induk mereka rela berbagai ruang. Hal yang sama juga dilakukan betina muda lain dengan betina dewasa yang tidak terlalu mereka kenal.
“Temuan kami menunjukkan, habitat dan kepadatan populasi orangutan yang tinggi di Tuanan menyebabkan tingginya pula tingkat kesetiaan lokasi seumur hidup, serta tumpang tindihnya di antara kerabat sang induk,” tulis Ashbury dkk. [2020].
Sebelumnya, penelitian Morrogh-Bernard dkk. [2011] menjelaskan, orangutan betina memang memiliki sifat filopatri dan cenderung menjaga ikatan sosial dengan kerabat betinanya.
“Secara umum, ketidakpercayaan di antara betina yang tidak berkerabat diperkirakan terjadi karena potensi kerugian yang dapat ditimbulkan oleh betina yang bersaing terhadap keturunan satu sama lain. Sementara, toleransi ditemukan lebih tinggi di antara tetangga terkait,” tulis penelitian tersebut.
Menguntungkan
Kesetiaan seumur hidup orangutan betina terhadap tempat kelahirannya bukannya tanpa risiko. Ashbury dkk. [2020] mengatakan, berbagi wilayah jelajah dengan kerabat dapat menyebabkan persaingan makan secara tidak langsung. Namun, ada lebih banyak keuntungan dari perilaku filopatri natal ini.
Pertama, mengurangi biaya belajar. Sederhananya, di rumah sendiri kita akan lebih mudah mengenal dan mempertahakan beragam pola makan yang sudah dipelajari sejak kecil, sehingga menghindari risiko untuk mencoba makanan baru.
Kedua, manfaat sosial bagi keturunan. Kita tentu akan merasa lebih aman jika bermain di lingkungan yang kita kenal. Hal ini memungkinkan orangutan muda, yang memiliki kesempatan bermain terbatas karena gaya hidup menyendiri, untuk terlibat dalam permainan sosial yang penting untuk perkembangannya.
Penelitian Van Noordwijk dkk. [2012] juga menemukan, induk orangutan akan lebih protektif dan cenderung mencegah anaknya bermain dengan induk orangutan yang bukan kerabat mereka.
“Memiliki tetangga yang dapat dipercaya mungkin merupakan manfaat sosial dari filopatri yang mungkin umum terjadi di antara mamalia soliter, sehingga memperkuat kecenderungan filopatrik betina pada spesies tersebut,” tulisnya.
Hasil penelitian Ashbury dkk. [2020] juga menekankan potensi dampak buruk hilangnya hutan bagi orangutan betina.
“Kesetiaan betina terhadap lokasi seumur hidup, harus dipertimbangkan dalam inisiatif perencanaan penggunaan lahan,” tulisnya.
Masih penelitian yang sama, diperkirakan sekitar 1.250 orangutan liar dirawat di fasilitas rehabilitasi, dengan tujuan akhir pelepasliaran kembali ke habitat liar [Palmer 2018]. Selain itu, orangutan liar dewasa semakin banyak yang ditranslokasi dari kawasan berisiko tinggi [karena pembukaan hutan maupun perburuan] ke kawasan berisiko lebih rendah.
Penelitian ini juga menunjukkan, pelepasan orangutan betina yang direhabilitasi dan ditranslokasi ke populasi yang sudah ada atau sudah berkembang, kemungkinan akan menimbulkan stres bagi individu yang masuk maupun bagi populasi alami dan sehat tersisa.
“Betina yang masuk akan meningkatkan kepadatan populasi dan bersaing untuk mendapatkan sumber daya, sehingga mengubah keseimbangan pola ruang. Pemantauan ketat jangka panjang terhadap orangutan yang dilepasliarkan dan ditranslokasi harus dilakukan, untuk lebih memahami efektivitas upaya konservasi, serta faktor-faktor yang mungkin berkontribusi terhadap keberhasilan atau kegagalannya,” jelas penelitian tersebut.
Pulang ke Indonesia
Kasus repatriasi atau dipulangkan kembali orangutan ke Indonesia, sering terjadi. Dikutip dari situs resmi ppid.menlhk.go.id, Kamis [21/12/2023], tiga individu orangutan sumatera dipulangkan ke Indonesia dari Thailand.
Ketiga orangutan tersebut adalah Nobita [7 tahun, jantan], Shisuka [7 tahun, betina], serta Briant [4 tahun, jantan]. Mereka merupakan hasil penegakan tindak pidana penyelundupan oleh Polisi Penanggulangan Kejahatan Sumber Daya Alam dan Lingkungan [Natural Resources and Environmental Crimes Division] Thailand di Bangkok, pada 2016.
“Ini merupakan repatriasi dari Thailand kelima, dengan total 71 individu orangutan yang dipulangkan sejak 2006. Tiga orangutan ini berstatus sebagai barang bukti di Thailand,” jelas Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan [LHK].
Bagaimana kabar Nobita, Shisuka, dan Briant yang diduga berasal dari Aceh ini?
“Ketiganya akan menjalani proses rehabilitasi di Open Orangutan Sanctuary [OOS] Danau Alo di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, sebelum dilepasliarkan ke Taman Nasional Bukit Tigapuluh [TNBT],” jelas Donal Hutasoit, Kepala BKSDA [Balai Konservasi Sumber Daya Alam] Jambi, pada Jumat [22/12/2023].
Namun, sebelum menuju pusat rehabilitasi mereka akan menjalani proses karantina selama 3 bulan di fasilitas karantina milik Frankfurt Zoological Society [FZS]. Informasi terakhir, saat ini ketiganya masih di karantina di Kota Jambi.
“Orangutan ini akan menjalani pemeriksaan kesehatan serta menjalani proses karantina,” kata Andani, Manajer Sumatran Orangutan Conservation Project, FZS, pada Jumat [22/12/2023].
Pada 2020 lalu, dua individu orangutan bernama Ung Aing dan Natalee juga sempat direpatriasi dari Thailland ke Jambi. Saat ini, mereka telah dilepasliarkan di TNBT.
Sejak 2003 hingga 2023, FZS telah melepasliarkan 204 individu orangutan yang terdiri 98 betina dan 106 jantan, dan terpantau 21 individu telah lahir di lanskap Bukit Tigapuluh.
Lanskap Bukit Tigapuluh memang tidak memiliki populasi orangutan sumatera liar namun pada tahun 2000 FZS melakukan survei di kawasan ini dan menyatakan wilayah tersebut layak menjadi habitat orangutan dan mampu menampung hingga 750 individu.
Merujuk IUCN [International Union for Conservation of Nature], orangutan sumatera [Pongo abelii] dimasukkan dalam kategori Kritis [Critically Endangered/CR].
Referensi:
Ashbury, A. M., Willems, E. P., Utami Atmoko, S. S., Saputra, F., van Schaik, C. P., & van Noordwijk, M. A. (2020). Home range establishment and the mechanisms of philopatry among female Bornean orangutans (Pongo pygmaeus wurmbii) at Tuanan. Behavioral Ecology and Sociobiology, 74(4), 42. https://doi.org/10.1007/s00265-020-2818-1
Morrogh-Bernard, H. C., Morf, N. V, Chivers, D. J., & Krützen, M. (2011). Dispersal Patterns of Orang-utans (Pongo spp.) in a Bornean Peat-swamp Forest. International Journal of Primatology, 32(2), 362–376. https://doi.org/10.1007/s10764-010-9474-7
Van Noordwijk, M. A., Arora, N., Willems, E. P., Dunkel, L. P., Amda, R. N., Mardianah, N., Ackermann, C., Krützen, M., & van Schaik, C. P. (2012). Female philopatry and its social benefits among Bornean orangutans. Behavioral Ecology and Sociobiology, 66, 823–834. DOI:10.1007/s00265-012-1330-7