- Perusahaan tambang tembaga, PT Gemilang Limpah Internusa (GLI), di Pacitan, Jawa Timur, mencermari perairan maupun lahan pertanian sampai menyebabkan tanaman petani rusak dan hasil panen anjlok. Tak hanya itu, perusahaan ini juga diduga menambang dan mengolah komoditas lain di luar yang zin. Kalangan organisasi lingkungan pun mendesak, pemerintah audit perusahaan tambang tembaga ini.
- Wahyu Eka Setiawan, Direktur Walhi Jawa Timur, menyebut, mengambil mineral di luar dokumen izin merupakan aksi pelanggaran. Perusahaan, hanya boleh mengambil dan atau memanfaatkan mineral lain sebagaimana tertulis dalam dokumen.
- Muhammad Jamil, Koordinator Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, memberikan sejumlah catatan atas kasus tambang tembaga di Pacitan ini. Dia mendorong, pemerintah investigasi menyeluruh terhadap PT GLI, mulai perizinan sampai operasional perusahaan.
- Gunadi, Kepala Desa Cokrokembang, Kecamatan Ngadirojo, Pacitan mengatakan, GLI yang sempat ditutup dan kembali beroperasi pada 2019 memberi kontribusi kepada desa. Kontribusi yang diberikan sejak 2020 sebesar Rp7,5 juta setiap bulan. Dana ini dinilai tak sebanding dengan kerugian petani karena lahan pertanian rusak.
Perusahaan tambang tembaga, PT Gemilang Limpah Internusa (GLI), di Pacitan, Jawa Timur, mencermari perairan maupun lahan pertanian sampai menyebabkan tanaman petani rusak dan hasil panen anjlok. Tak hanya itu, perusahaan ini juga diduga menambang dan mengolah komoditas lain di luar yang zin. Kalangan organisasi lingkungan pun mendesak, pemerintah audit tuntas perusahaan tambang tembaga ini.
Gunadi, Kepala Desa Cokrokembang, Kecamatan Ngadirojo, Pacitan mengatakan, GLI yang sempat ditutup dan kembali beroperasi pada 2019 memberi kontribusi kepada desa.
Kontribusi yang diberikan sejak 2020 sebesar Rp7,5 juta setiap bulan. Dana ini dinilai tak sebanding dengan kerugian petani karena lahan pertanian rusak.
“Kan dana itu juga masih dibagi lagi untuk empat dusun di Cokrokembang. Padahal, para petani juga harus mengeluarkan biaya lebih karena tak lagi bisa memanfatkan air irigasi,” katanya.
Karena itu, melihat dampak buruk dari kegiatan GLI, dia pun berharap pemerintah mencabut izin perusahaan.
Perusahaan pun diduga menambang mineral selain tembaga. Salinan dokumen izin yang didapat Mongabay menyebutkan, IUP perusahaan yang berkantor di Jalan Raya Pagutan, Kecamatan Arjosari, Pacitan itu tertulis tembaga. Dalam praktiknya, perusahaan diduga menambang timah.
Salinan laporan hasil uji laboratorium oleh Komite Advokasi Hukum Nasional Indonesia (KAHNI) menguatkan dugaan itu.
Kala itu, KAHNI uji kandungan mineral terhadap 10 kilogram bebatuan tambang milik GLI. Dari 50 gram sampel uji batuan menghasilkan 1,6 gram logam. Meliputi timah (Ag) 19,343%; tembaga (Cu) 75,772% dan emas (Au) 0,494%.
Dengan rata-rata produksi GLI 50 ton per hari, maka total produksi GLI untuk ketiga jenis logam , 309.000 gram untuk timah, 1,2 ton untuk tembaga dan 8.000 gram emas.
Dengan asumsi harga ketiga logam berlaku kala itu, asumsi nilai produksi GLI mencapai Rp11,8 miliar per hari. Situasi ini, katanya, kontras dengan nasib para petani. Terlebih, dana bagi hasil sumber daya alam Pemerintah Pacitan relatif kecil, sekitar Rp808 juta. Bahkan, royalty khusus dari GLI hanya Rp30 juta setahun.

Wahyu Eka Setiawan, Direktur Walhi Jawa Timur, menyebut, mengambil mineral di luar dokumen izin merupakan aksi pelanggaran. “Meski mineral lain yang ditambang itu masih di satu wilayah IUP, seharusnya tetap tidak bisa,” katanya.
Perusahaan, katanya, hanya boleh mengambil dan atau memanfaatkan mineral lain sebagaimana tertulis dalam dokumen. “Mengambil mineral diluar apa yang diizinkan ya tetap tidak boleh, karena itu nanti berkaitan dengan pengawasan dan royaltinya,” katanya.
Dengan kata lain, katanya, sangat mungkin perusahaan hanya membayarkan royalti untuk komoditas yang diizinkan. Untuk komoditas lain di luar apa izin, tidak setor.
Yang GLI lakukan, katanya, jadi pola atau modus di sektor pertambangan. Perusahaan, katanya, acapkali mengelabuhi izin untuk mendapatkan manfaat lebih besar dari kegiatannya. Karena itu, dia pun mendesak audit menyeluruh.
Muhammad Jamil, Koordinator Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, juga memberikan sejumlah catatan atas kasus tambang tembaga di Pacitan ini. Dia mendorong, pemerintah investigasi menyeluruh terhadap GLI, mulai perizinan sampai operasional perusahaan.
Jamil mengatakan, izin GLI seharusnya tidak keluar mengingat topografi Pacitan banyak didomiasi dataran tinggi dan perbukitan. Perubahan bentang pun, katanya, akan mempengaruhi daerah lain.
Untuk itu, investigasi itu juga perlu untuk memastikan dugaan kalau GLI turut mengambil mineral lain di luar yang tertera pada dokumen perizinan. Kalau dugaan itu benar, kata Wahyu, perusahaan terbukti curang yang berpotensi merugikan keuangan negara.
“Kalau ambil mineral lain, perusahaan harus mengurus izin lagi karena ini berkaitan dengan teknik pengolahan dan dampak yang ditimbulkan,” katanya.
Jamil pun menyebut penambangan timah oleh perusahaan asal Tiongkok itu ilegal lantaran dokumen izin yang dikantongi hanya menyebut tembaga sebagai komoditas.

Dia bilang, modus-modus seperti GLI banyak terjadi di sektor pertambangan, mereka mengantongi izin untuk komoditas tertentu, tetapi dalam praktik perusahaan juga mengambil komoditas lain. “Ini operasi ilegal perusahaan berizin karena timah yang diambil bukan jadi bagian yang dizinkan,” katanya.
Jamil mendorong pemerintah menindak hukum GLI. Aparat penegak hukum bisa penyidikan, sekaligus audit keseluruhan perusahaan.
Menurut dia, dengan pemeriksan seharusnya sudah memberikan sanksi atas apa yang dilakukan perusahaan. “Ini sudah parah sekali dan membahayakan bagi lingkungan. Seharusnya sudah bisa kena sanksi.”
Pemerintah, kata Jamil, harus segera memeriksa perusahaan. Dia juga dorong audit menyeluruh untuk menelusuri dugaan perusahaan mengambil komoditas lain di luar yang diizinkan.
Menurut Jamil, bila izin perusahaah hanya menyebut tembaga sebagai komoditas, pengambilan dan pengolahan timah sebagai aktivitas ilegal. Berbeda jika pada dokumen menyebut komoditas yang ditambang sebagai ‘tembaga dan mineral pengikutnya’, hal itu tidak menjadi soal.
“Ini kan tidak, hanya tertulis tembaga. Ketika perusahaan ternyata juga memproduksi timah, jelas itu aktivitas ilegal. Penting diperiksa untuk kena sanksi maksimal.”
Dia mendesak, operasi perusahaan setop sekaligus memastikan pencemaran tak terus berlangsung.
Jamil bilang, ada banyak ketentuan hukum bisa dipakai untuk menjerat perusahaan ini baik pidana, adminitratif hingga pencabutan izin. Tak kalah penting, menghitung nilai kerugian dan membebankan kepada perusahaan.
Seharusnya, pemerintah bisa lebih tegas. “Kasihan masyarakat yang harus menanggung semua dampaknya,” kata Jamil.
Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan penelitan untuk mengetahui kemungkinan dampak dari pencemaran kesehatan.
Menurut Jamil, upaya datangi lokasi-lokasi terdampak pertambangan jarang pemerintah lakukan. Pemerintah, katanya, cenderung pasif, bahkan abstain dalam menyikapi kasus-kasus seperti ini. Akibatnya, kehadiran pemerintah tidak banyak dirasakan masyarakat.

Badrul Amali, Kuasa Hukum GLI, kepada Mongabay mengakui, perusahaan mampu memproduksi hingga 50 ton per hari. Soal perhitungan pendapatan, sebagaimana data KAHNI, dia menepisnya.
“Tidak benar itu. Itu data ngawur,” katanya singkat.
Menurut dia, penghasilan GLI hanya Rp17,5 juta per hari.
GLI, katanya, hanya menjual produk setengah jadi karena tidak memiliki smelter tersendiri. Puluhan ton material tambang itu dikirim ke anak perusahaan, PT Dragon Fly Mineral Indonesia (DFMI) untuk diolah jadi konsetrat.
Setelah itu, baru dibawa ke smelter guna pemurnian. Namun, dia tak mengelak bila perusahaan juga memproduksi logam lain selain tembaga.
Mongabay sempat mengunjungi DFMI, berada tepat di pinggir Sungai Grinduli, Kecamatan Arjosari yang berjarak sekitar 40 kilometer dari lokasi tambang GLI. Tampak material limbah tailing menumpuk di area belakang pabrik dan berbatasan langsung dengan sungai. “Itu juga dijual, ada yang ngambil biasanya,” ujar Badrul, tanpa menyebut pihak yang dimaksud.
Sisi lain, sengkarut perizinan GLI sejatinya sempat tercium penegak hukum. Pada 2020, Kejaksaan Negeri (Kejari) Pacitan bahkan sempat memanggil beberapa pihak guna dimintai keterangan terkait dugaan korupsi perizinan di GLI. Dengan dalih tak cukup bukti, Kejari memutuskan menghentikan kasus itu.
Mongabay berusaha meminta penjelasan kejaksaan terkait kasus itu tetapi beberapa kali dihubungi melalui sambungan telepon, Kasi Intel Kejari Pacitan tak merespons. Begitu juga dengan pesan yang dikirim melalui aplikasi percakapan, tak mendapat jawaban.

*******
Was-was Tambang Datang, Sumber Air di Banggai Kepulauan Terancam Hilang