- StAR (Stegostoma tigrinum Augmentation and Recovery) adalah sebuah proyek menyelamatkan hiu zebra yang terancam punah (Stegostoma tigrinum) di Indonesia, di tempat ini telur-telur hiu yang didatangkan dari lokasi berjarak 12.000 kilometer jauhnya ke penangkaran di Raja Ampat.
- Setelah menetas, anak hiu dipelihara di dalam akuarium hingga cukup kuat untuk dilepasliarkan ke alam liar.
- Para peneliti berharap dapat melepaskan 500 hiu zebra ke alam liar dalam waktu 10 tahun untuk mendukung populasi perkembangbiakan yang besar dan beragam secara genetik.
- Populasi hiu zebra di Raja Ampat hanya tersisa 20 individu, membuat satwa tersebut punah secara fungsional di wilayah tersebut.
Hiu zebra atau sering disebut juga hiu tokek atau cucut kembang (Stegostoma tigrinum) adalah satu-satunya hiu yang masuk dalam genus Stegostoma. Sebaran hiu ini dapat dijumpai dari pantai timur Afrika hingga Pasifik Barat.
Melihat populasinya yang semakin berkurang di alam, -dimana spesies mereka dimasukkan dalam daftar spesies terancam punah oleh International Union for the Conservation of Nature (IUCN), upaya penyelamatan jenis hiu ini pun terus dilakukan.
Hiu nokturnal yang tidak berbahaya ini memiliki keunikan, yaitu saat tubuhnya yang panjang dan cantik dapat meliuk-liuk lincah di sela-sela karang pada saat berenang.
Mongabay berkesempatan mengunjungi tempat pemeliharaan dan penetasan hiu zebra di yang dikelola oleh sebuah lembaga nirlaba Papua Diving.
“Ini adalah proyek pertama di dunia yang melakukan translokasi hiu dari akuarium, membawanya ke tempat penetasan dan melepaskannya ke alam liar,” kata Maryrose Tapilatu, aquarist (pengasuh) hiu yang bertanggung jawab di Raja Ampat Research and Conservation Centre (RARCC), kepada Mongabay pada kunjungan tersebut.
Nesha Ichida, ilmuwan konservasi laut dan manajer program Proyek StAR (Stegostoma tigrinum Augmentation and Recovery) menjelaskan jika inisiatif ini menargetkan bakal melepaskan 500 hiu zebra ke alam liar dalam waktu 10 tahun sejak bermula pada tahun 2022. Dalam proyek StAR, telur hiu zebra ini didatangkan dari lokasi yang berjarak 12.100 km, menuju ke Kepulauan Raja Ampat di Papua.
Proyek StAR adalah proyek pertama yang dilaksanakan di bawah ReShark, sebuah koalisi global yang terdiri dari lebih dari 90 organisasi konservasi, akuarium, lembaga pemerintah, dan banyak lagi, yang berdedikasi untuk memulihkan hiu dan pari yang terancam punah di seluruh dunia.
Saat ini diperkirakan hanya ada sekitar 20 ekor hiu zebra tersisa di perairan Raja Ampat, akibat penangkapan ikan berlebihan dan degradasi habitat di masa lalu.
Pada tahun 1990-an hingga awal tahun 2000-an, mereka ditangkap secara berlebihan untuk diambil daging, sirip, dan minyak hatinya (yang digunakan untuk membuat vitamin). Siripnya digunakan untuk sup sirip hiu, makanan khas Tiongkok.
“Harapannya adalah cukup banyak anak hiu yang akan menetas di Raja Ampat. Mereka akan menjadi cikal bakal populasi pembiakan yang besar dan beragam secara genetik,” kata Nesha.
Di dalam dua tangki berwarna birunya yang terpisah, Buddy dan Marshal, -dua hiu zebra remaja kelahiran pusat konservasi ini, terus berenang tak pernah lelah. Mereka diberi makan setiap harinya dengan makanan yang mirip dengan kondisi alaminya di habitat aslinya kelak.
Saat keduanya telah cukup kuat, mereka akan dilepaskan ke alam liar.
“Merupakan kebanggaan besar bagi Papua Barat, Raja Ampat, dan Indonesia pada umumnya, memiliki proyek ini yang berbasis di negara kami,” kata Nesha kepada Saturday Extra di ABC RN.
Mengenal hiu zebra
Hiu zebra terkenal karena ciri khas garis-garis dan bintik-bintiknya. Saat muda, garisnya cenderung berkekuningan, mirip ular laut pita berbisa (Laticauda colubrina). Hiu zebra dikenal karena ekornya yang kuat yang panjangnya bisa hampir sama dengan panjang seluruh tubuhnya.
Diduga, pola belang hiu zebra merupakan mekanisme pertahanan penting bagi individu muda yang rentan karena dapat menjauhkan predator. Dari motif inilah, spesies ini mendapatkan nama julukannya, zebra.
“Ekor itu yang membuat mereka tampak begitu mencolok dari kejauhan. Mereka perenang kecil yang anggun. Ekor mereka seperti pita yang besar dan panjang,” sebut Laura Simmons, kurator regional SEA LIFE Akuarium Sydney di Australia kepada Saturday Extra di ABC RN.
Saat dewasa, garis-garisnya digantikan oleh titik-titik hitam kecil, yang membantu mereka menyatu dengan dasar laut. Karena titik-titiknya, ia kadang-kadang disebut hiu macan tutul. Meski merupakan spesies berbeda dengan Triakis semifasciata.
Hiu zebra adalah mahluk noktural, yang aktif di malam hari dan sering menyelinap ke area terumbu karang untuk berburu moluska, krustasea, dan ikan-ikan bertulang kecil di malam hari. Berbeda dengan banyak spesies hiu lainnya, hiu zebra biasanya jinak dan memiliki sikap tenang sehingga ia mudah ditangkap.
Menurut Maryrose, praktik-praktik perburuan komersial, -yang ditambah dengan degradasi habitat, telah memusnahkan populasi hiu zebra hingga 70% dalam satu dekade terakhir.
Dari tahun 2001-2021, para peneliti Conservation International melakukan lebih dari 15.000 jam survei terhadap hiu zebra di dalam air di Raja Ampat, dan mereka hanya menemukan tiga individu.
“Kami memiliki pemandu selam yang sudah menyelam di sini selama 10 tahun. Dia hanya pernah melihat tiga hiu zebra dewasa,” kata Maryrose.
Hal ini membuat hiu zebra punah secara fungsional di Raja Ampat, yang berarti meskipun masih ada beberapa individu yang hidup di wilayah tersebut. Populasinya telah berada di bawah titik kritis sehingga tidak dapat lagi mereproduksi generasi berikutnya.
IUCN memperkirakan setidaknya diperlukan 200 hiu untuk mencegah kepunahan, dan populasi yang lebih besar, sekitar 2.000 individu ideal, untuk mempertahankan potensi evolusi.
Tanpa intervensi tambahan seperti Proyek StAR, kecil kemungkinan hiu zebra dapat pulih dan bertahan hidup.
ReShark memilih hiu zebra sebagai proyek pertama dan menetapkan Raja Ampat sebagai lokasinya, setelah melihat peluang pemulihan populasi hiu zebra liar di sini.
Raja Ampat terletak di jantung Segitiga Terumbu Karang, sebuah kawasan laut dengan keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia, serta rumah bagi sekitar 75% spesies karang yang dikenal di dunia.
Pemerintah Indonesia telah mendeklarasikan seluruh perairan Raja Ampat sebagai suaka bagi hiu dan pari, dimana penangkapan ikan hiu dan pari dilarang sama sekali. Selain itu, Raja Ampat juga memiliki jaringan sembilan kawasan perlindungan laut (MPA), yang mencakup area seluas lebih dari 2 juta hektar.
Di dalam MPA tersebut terdapat beberapa zona “larangan tangkap” yang terbesar dan paling baik ditegakkan di kawasan ini, dimana tidak ada aktivitas ekstraktif yang diperbolehkan, sehingga sebagian besar ekosistem tidak terganggu.
Peraturan yang ketat ini juga didukung oleh patroli laut yang teratur, dan penegakan hukum yang kuat, sehingga satwa liar laut dapat berkembang biak.
“Ini adalah salah satu dari sedikit tempat di dunia yang keanekaragaman hayati lautnya menjadi lebih baik,” kata Nesha dari ReShark.
“Tempat yang dulu pernah jadi lokasi bom pada tahun 2000-an sekarang berangsur pulih, dengan terumbu karang dan rantai makanan di setiap tingkat tropisnya. Hiu-hiu karang pun telah kembali.”
Upaya ini telah berhasil mengembalikan beberapa spesies seperti hiu karang dan pari manta. Namun pemulihan hiu zebra ini tidak berjalan dengan baik, karena laju pertumbuhan populasinya yang lambat. Ini tentu tidak cukup untuk menopang generasi berikutnya.
Inilah yang menjadi dasar, para pegiat konservasi mempunyai ide untuk membawa telur hiu zebra dari akuarium terakreditasi di seluruh dunia ke Raja Ampat. Ide ini pertama kali diajukan oleh Conservation International, ketika tim Asia-Pasifik mengembangkan rencana konsep pemulihan hiu zebra di Indonesia.
Melalui pengujian genetik, hiu dewasa dari subpopulasi Indonesia Timur-Oseania telah diidentifikasi di fasilitas terakreditasi oleh Association of Zoos and Aquariums (AZA) yang berada di seluruh dunia. Induk-induk ini lalu dibiakkan khusus untuk Proyek StAR.
Kotak telur yang dihasilkan dari induk yang sesuai secara genetik lalu ikirim ke Raja Ampat. Cangkang telur hiu zebra yang bersifat kuat, membuatnya dapat mentolerir proses pengiriman trans-Pasifik.
Sejauh ini, telur-telur tersebut telah dikirim dari SEA LIFE Sydney Aquarium di Australia, Shark Reef Aquarium di AS dan Cairns Marine, sebuah organisasi di Australia yang mengumpulkan biota laut termasuk telur hiu dari alam liar, dan memasoknya ke kebun binatang dan akuarium.
Dalam pengiriman gelombang terakhir pada bulan Desember 2023, tempat penetasan RARCC menerima 11 telur dari Cairns Marine, dan gelombang berikutnya diharapkan datang dari Akuarium Georgia di Atlanta, kata Maryrose.
Australia memiliki jumlah hiu zebra yang relatif sehat berkat perlindungan yang ditetapkan pemerintah, khususnya di beberapa MPA seperti Taman Laut Great Barrier Reef dan Taman Laut Moreton Bay di Queensland.
“Satwa-satwa ini telah dilindungi dari penangkapan ikan selama bertahun-tahun, dan hal ini membantu menjaga populasi mereka tetap stabil dan sehat,” kata Simmons.
Di Akuarium Sydney SEA LIFE, empat hiu telah terdaftar untuk Proyek StAR. Dua jantan yaitu, Leo dan Gohan telah menjadi ayah dari sejumlah anak betina. Sedang dua betina lainnya, yaitu Zimba dan Kaya.
Setelah kawin, betina bertelur dengan telur berwarna coklat dan kasar yang berukuran panjang sekitar 17 cm. Telur-telur ini kemudian dipantau secara ketat selama beberapa hari untuk memverifikasi bahwa mereka benar-benar telah dibuahi dan dapat bertahan hidup.
“Pada Minggu ke-10, kami bersiap mengirimkan telur-telur tersebut ke Raja Ampat. Kami memiliki waktu hingga Minggu ke-15 untuk mengirimkannya ke Raja Ampat. Itu saat terbaik,” kata Simmons.
Telur-telur dikemas secara hati-hati dalam kotak berpendingin dan diterbangkan ke Raja Ampat secepat mungkin sehingga dapat menyesuaikan diri dengan kondisi perairan Indonesia, kata Maryrose.
“Setelah itu, kami bisa memasukkannya ke dalam tangki telur.”
Telur-telur tersebut membutuhkan waktu sekitar satu bulan lagi untuk menetas, dan muncul sebagai bayi hiu berukuran 25 cm, yang dikenal sebagai anakan. Mereka diberi makan, dan diasuh oleh aquarist berpengalaman seperti Maryrose.
Ketika panjangnya mencapai sekitar 50 cm, mereka akan ditandai dengan menggunakan RFID (sejenis microchip) dan tag akustik. Tag akustik dipasang pada siripnya sehingga ketika muncul ke permukaan, tag tersebut akan mengirimkan sinyal ke satelit.
“Di Wayag ada 16 pemancar (dimana hiu akan dilepasliarkan). Jadi setiap kali mereka melewati pemancar, itu akan mengirimkan sinyal bahwa hiu kita ada di sana,” kata Maryrose.
Setelah dianggap siap hiu akan dipindahkan ke kandang laut, tempat mereka diperkenalkan dengan biota-biota laut lainnya. Jika mereka menunjukkan perilaku normal dan kesehatan yang baik, mereka siap dilepasliarkan di sekitar wilayah yang ditentukan di perairan Raja Ampat.
Setelah dilepasliarkan ke alam liar, hiu-hiu tersebut dipantau secara berkala, dengan pemantauan aktif dilakukan setiap dua hingga tiga bulan, dan data pola pergerakan diambil dan dianalisis setiap enam bulan.
IUCN memperkirakan bahwa kawasan di Raja Ampat dapat menampung antara 1.000-2.000 hiu yang mencakup 9 MPA.
Raja Ampat sendiri, wilayahnya dikelilingi oleh perairan dalam yang kemungkinan tidak dapat dilintasi oleh hiu zebra.
Tantangan dalam proyek
Meskipun proyek ini telah memberikan harapan bagi masa depan hiu zebra, terkadang upaya pelepasliaran juga bisa gagal.
Salah satu contohnya, telur hiu bisa mati pada saat kedatangan, atau ketika terlalu banyak waktu yang dihabiskan dalam proses pengiriman dan karantina, kata Maryrose.
Hal ini pernah terjadi pada pengiriman gelombang pertama pada Agustus 2022, dimana hatchery RARCC menerima enam butir telur dari SEA LIFE Sydney Aquarium.
Tiga dari telur-telur tersebut tidak dapat bertahan setelah melakukan transit yang cukup panjang selama beberapa hari dan melakukan perjalanan lebih dari 4.200 km.
“Pemerintah perlu menandatangani izin karena mereka membawa hewan hidup dari luar negeri, sehingga perlu dikarantina, dan banyak dokumen yang harus diselesaikan,” sebuty Maryrose.
“Beberapa di antaranya [telur] sudah kekurangan oksigen, jadi mereka tidak berhasil sampai di sini.”
Dalam kasus lain, seekor hiu zebra remaja dari proyek tersebut dilepaskan ke alam liar terlalu cepat.
“Di gelombang berikutnya, mereka sudah menetaskan hiunya, tapi hiu tersebut kurang kuat. Jadi saat kami melepaskannya ke alam liar, ia mati begitu mencapai laut.”
Hiu zebra juga masih terancam oleh penangkapan hiu.
“Kami orang Indonesia tidak makan dan tertarik memakan hiu, namun ada keuntungan dari penjualan hiu ke negara lain yang buat para nelayan tidak bisa menolaknya,” sebut Maryrose. “Itu yang membuat kita perlu inovasi untuk meningkatkan penghidupan nelayan tanpa membunuh hiu.”
Terlepas dari tantangan yang ada, Maryrose berharap hiu-hiu muda seperti Buddy dan Marshal yang lahir dari tempat penetasan, dapat berkembang biak dan mengisi kembali perairan Raja Ampat.
Ketika Mongabay mengunjungi tempat penetasan RARCC pada bulan Januari, Marshal sudah berusia 4 bulan. Ia akan dipindahkan ke kandang laut dan menghabiskan waktu sekitar satu bulan di sana, sebelum dilepaskan ke alam liar.
Marshal bakal bergabung dengan empat hiu zebra lainnya, Mali, Audrey, Charlie dan Kathlyn, yang sebelumnya telah dilepasliarkan ke perairan di Raja Ampat. Keempatnya berasal dari program pembiakan SEA LIFE Sydney Aquarium.
“Bagi saya pribadi, sulit untuk melepaskan dan berpisah dengan [Marshal], tapi saya sangat berharap yang terbaik untuknya, agar dia bisa tumbuh dengan baik, makan banyak, dan menemukan saudara-saudaranya di luar sana,” kata Maryrose.
Tulisan asli: Rewilding program ships eggs around the world to restore Raja Ampat zebra sharks. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita
***
Foto spanduk: Hiu zebra muda (Stegostoma tigrinum) berenang di antara hutan bakau. Foto: Indo-Pasific Films.