,

Gajah Vs Manusia: Masih Belum Akan Berakhir…

Kasus perebutan wilayah hidup antara hewan dan manusia masih terus terjadi. Di beberapa wilayah Sumatera, kasus gajah masuk kampung, terus bertambah seiring dengan kasus alih fungsi lahan yang terus bertambah. Sebuah pertarungan yang masih terus terjadi ronde demi ronde, dan masih belum jelas bagaimana akhir perseteruan ini.

Salah satu kasus terakhir terjadi di Dusun Rambong, Desa Sapek, Kecamatan Setia Bakti, Aceh Jaya. Sudah berulang kali kawanan gajah liar memasuki dusun  di pedalaman tersebut. Pada hari Jumat (11/5) sekitar pukul 21.00 WIB malam rombongan gajah kembali mengobrak-abrik tanaman warga. Kali ini jumlah gajah liar yang datang hanya sekitar 8 ekor yang diduga telah terpecah dari rombongan yang sebelumnya mencapai 20 ekor lebih.

“Kita tidak mengetahui apa penyebabnya sehingga kawanan gajah itu selalu mengganggu daerah kami. Dan untuk keamanan kami hanya mampu menghubungi anggota Polhut untuk menggiring kawanan gajah tersebut keluar dari pemukiman, namun anehnya setiap kali selesai diusir, berselang dua hingga empat hari gajah tersebut datang lagi,” ujar Lukman warga Dusun Rambong, kepada Serambi, Sabtu (12/5).

Sementara Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Kadishutbun) Aceh Jaya, Mukhtaruddin yang ditanya Serambi, dua hari yang lalu mengaku, untuk penanganan satwa liar belum ada solusi yang jelas, meski pihaknya telah duduk bersama dengan pihak BKSDA Aceh baru-baru ini yang membahas masalah konflik gajah yang meresahkan masyarakat, akan tetapi belum ada titik temu guna mengakhiri masalah satwa liar itu karena minimnya dana.

Dikatakan Mukhtaruddin, satu-satunya cara mengakhiri gangguan satwa liar itu dengan membuat lokasi khusus di tengah hutan tempat gajah-gajah itu dikurung agar tidak lagi mengganggu masyarakat. “Namun untuk membuat lokasi khusus tersebut memerlukan anggaran besar yang mencapai trilunan rupiah dan jika pemerintah pusat mampu merealisasikan hal tersebut maka konflik gajah tidak akan pernah ada lagi,” katanya

Sementara itu kasus serupa juga terjadi di wilayah Aceh Barat. Masyarakat tiga desa di Kecamatan Woyla, Aceh Barat, sudah dua hari terakhir diresahkan oleh gangguan seekor gajah liar yang berkeliaran tidak jauh dari desa mereka. Bahkan pada Sabtu (12/5) malam dapur rumah milik Minmot, warga Arong Tunong dihancurkan gajah oleh gajah serta pohon sawit juga menjadi sasaran amukannya.

Beberapa tokoh warga di Kecamatan Woyla kepada Serambi, Minggu mengungkapkan, seekor gajah jantan yang berkeliaran di sekitar desa telah meresahkan penduduk dan mulai menganggu tanaman serta menyeruduk rumah warga. Desa yang menjadi sasaran adalah Desa Aron Tunong, Aron Baroh Gempara dan Pasi Pandam. “Gangguan gajah itu sudah sangat meresahkan penduduk,” ujar Tgk Zul Zamzami, tokoh setempat.

Ia mengatakan, penduduk berharap gangguan gajah segera ditanggulangi oleh Balai Konsevasi Sumber Daya Alam (BKSDA) agar tidak terus merusak tanaman dan merusak rumah penduduk.

Hancurnya habitat, memaksa gajah merambah ke wilayah manusia. Foto: Rhett A. Butler

Di sisi lain, habitat gajah sendiri terus berkurang akibat ulah manusia itu sendiri.  Terakhir, setelah keluar Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.643/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan Seluas 2.192 hektar, Perubahan Antar Fungsi Kawasan Hutan Seluas 31.013 hektar, dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan Seluas 101 hektar di Provinsi Bengkulu, status dan luas PLG Seblat berubah. Status PLG Seblat yang semula hanya hutan produksi fungsi khusus ditingkatkan menjadi Taman Wisata Alam (TWA).

Luasnya pun berubah. Seluas 540 hektar dari PLG dialihfungsikan menjadi hutan yang dapat dikonversi. Di saat bersamaan, PLG Seblat yang sudah menjadi TWA ditambah luasnya sekitar 1.800 hektar yang berasal dari hutan produksi terbatas (HPT) Lebong Kandis.

Penetapan status Taman Wisata Alam Seblat yang menjadi Pusat Latihan Gajah Sumatra di Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu, harus diperjelas. Jika tidak, posisi pemerintah lemah di hadapan hukum ketika ada gangguan hutan.

Demikian disampaikan Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu Amon Zamora, Minggu (13/5/2012). Amon mengatakan, penetapan status kawasan hutan secara hukum sangat penting artinya. “Kami punya pengalaman buruk ketika kasus perambahan kawasan hutan dibawa ke meja hijau pemerintah justru kalah. Sebab, status kawasan itu belum ditetapkan, baru penunjukan saja,” tutur Amon.

Selain status hukum, Amon juga berharap ada kepastian tapal batas TWA Seblat. Dengan demikian, akan jelas juga batas-batas TWA Seblat dengan kawasan di sekitarnya.

Sebelum ditetapkan sebagai TWA, status hutan Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat adalah hutan produksi fungsi khusus dengan luas 6.865 hektar. Dengan status itu, PLG Seblat rentan dialihfungsikan oleh pemerintah daerah karena hutan produksi berada di bawah pengelolaan pemerintah daerah.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,