,

Laporan Terbaru: Sungai Citarum Mengandung Bahan Kimia Berbahaya

GREENPEACE dan Walhi Jawa Barat (Jabar) merilis laporan, Rabu(28/11/12) yang mengungkapkan, beberapa kanal dan saluran pembuangan industri di beberapa area industri di sepanjang Sungai Citarum, Jawa Barat, diidentifikasi mengandung bahan-bahan kimia berbahaya. Bahan-bahan ini dapat mengganggu kesehatan, bersifat toksik bagi sistem reproduksi bahkan bisa menyebabkan kanker.

Investigasi Greenpeace menemukan bahan-bahan kimia berbahaya di muara kanal, kanal dan badan air yang  menjadi saluran pembuangan industri di delapan area industri di Sungai Citarum, yaitu di Majalaya, Rancaekek, Cisirung – Dayeuhkolot, Margaasih – Leuwigajah, Batujajar, Padalarang, Jatiluhur dan Karawang.

“Dari investigasi ini terindikasi kuat bahan-bahan kimia berbahaya terutama dari industri tekstil,” kata Ahmad Ashov Birry, Jurukampanye Air Bebas Racun Greenpeace Indonesia, dalam jumpa pers di Jakarta.

Dalam laporan  berjudul “Bahan Beracun Lepas Kendali”  ini menyoroti bahan kimia berbahaya yang dilepaskan industri ke sungai Citarum pada 10 lokasi yang tersebar dari hulu hingga hilir sungai. “Temuan ini, menegaskan kita kehilangan kendali atas keberadaan bahan beracun di alam.  Kami mendekati titik-titik buangan industri untuk mengetahui materi apa yang terkandung di dalamnya dan mengkontraskan dengan kondisi sebuah mata air di daerah hulu,” ujar dia.

Menurut dia, beberapa temuan penting adalah pada beberapa lokasi kandungan Krom heksavalen (Cr6+) dan beberapa logam berat lain pada level mengkhawatirkan. Sifat zat yang tidak dapat diurai (persisten), menyebabkan logam berat bisa terus terakumulasi di jaringan tubuh mahluk hidup melalui rantai makanan (bioakumulasi). “Ia dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Contoh logam Krom heksavalen sangat beracun bahkan dalam konsentrasi rendah.”

Logam yang bersifat karsinogenik ini, masih banyak industri tekstil dan penyamakan kulit.   “Cr6+ terdeteksi di titik penyampelan Majalaya, Rancaekek, Margaasih, Batujajar, Cihaur, Jatiluhur.”

Tak hanya logam berat, teridentifikasi juga beberapa senyawa kimia organik beracun di beberapa titik sampel, antara lain, Diethyl phthalate (DEP). Zat ini bisa mengganggu kerja endokrin dan bersifat toksik bagi biota akuatik.  Bis (2-ethylhexyl) phthalate (DEHP), Di-isobutyl phthalate (DiBP), Dibutyl phthalate (DBP) digolongkan sebagai ‘toksik terhadap sistem reproduksi’ juga ditemukan pada beberapa titik sampel.  “Beberapa turunan phthalate itu ditemukan di Margaasih, Padalarang, Majalaya dan Jatiluhur,” ucap Ashov.

Dadan Ramdan, Direktur Eksekutif Walhi Jabar menambahkan,  senyawa kimia organik berbahaya lain juga diidentifikasi yaitu 2,6-bis (dimethyl ethyl-4 methyl) phenol atau dikenal dengan nama BHT & 4-chloro-3methyl-phenol (p-chlorocresol), merupakan kelompok alkylphenol. Kedua materi ini diklasifikasikan sebagai toksik bagi kehidupan akuatik yang ditemukan di Padalarang, Majalaya, Cisirung, Jatiluhur dan Karawang.

Dadan mengatakan, sungai merupakan sumber air bagi masyarakat. Namun,  industri, khusus tekstil di daerah aliran Sungai Citarum, memperlakukan sungai, seperti selokan pembuangan pribadi. Pemerintah dengan pendekatan reaktif “atur dan awasi” yang mengandalkan sistem end-of-pipe (IPAL), terbukti gagal melindungi sumber air masyarakat dari pencemaran bahan kimia berbahaya.

Untuk itu, satu-satunya jalan memastikan nol buangan bahan berbahaya beracun di seluruh proses produksi dengan tidak ada toksik persisten dari awal hingga akhir produksi.

Untuk itu, Greenpeace dan Walhi Jabar, meminta pemerintah membuat sebuah komitmen politik menuju ‘Nol Pembuangan’ semua bahan berbahaya dan  beracun (B3) dalam satu generasi, berdasarkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan pendekatan pencegahan (preventive approach) dalam manajemen bahan kimia. Komitmen ini,  ditekankan pada prinsip subtitusi, dan meliputi pertanggung jawaban produsen agar mendorong inovasi dan eliminasi penggunaan materi toksik . “Kepada industri untuk segera berkomitmen menghentikan pembuangan bahan kimia berbahaya dan beracun melalui produksi bersih.”

Investigasi ini, dilakukan selama Juni hingga Oktober 2012 dan sampel diuji ke laboratorium Institute of Ecology Universitas Padjadjaran di Bandung dan Lab Afiliasi Kimia UI (Universitas Indonesia) di Depok.

Aksi Citarum di Bandung

Kamis(29/11 12), aktivis Greenpeace aksi membentang spanduk dengan ukuran 9 x 6 meter di Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, Bandung, bertuliskan “Bahan Beracun Lepas Kendali”, “81% Masyarakat ingin Sungai Bebas Toksik” dan “Pilih Citarum Bebas Toksik”.  Ada lagi lima aktivis berpakaian sebagai masyarakat yang berpotensi terdampak limbah berbahaya industri dan lima aktivis lain berperan sebagai para bakal calon Gubernur Jawa Barat (Jabar). Ini seruan agar para tokoh itu memperhatikan masalah pencemaran limbah berbahaya industri di Sungai Citarum dan sungai-sungai lain di Jabar.

Ahmad Ashov Birry,  Jurukampanye Air Bebas Racun, Greenpeace Asia Tenggara-Indonesia mengatakan, hasil polling Greenpeace bersama LP3ES tahun 2011 mengungkapkan sebanyak 81 persen masyarakat daerah aliran Sungai Citarum setuju industri harus berhenti membuang limbah kimia berbahaya dan beracun ke sungai.“Aspirasi masyarakat itu harus didengar pemerintah dan para calon pemimpin Jabar mendatang,” kata Ashov.

Aktivis Greenpeace yang aksi di Bandung, untuk penyelamatan Sungai Citarum. Foto: Greenpeace
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,