, , ,

Tak Hanya Lemah Awasi Tambang, Pemerintah Juga Langgar Aturan Sendiri

Pengawasan pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan tambang yang beroperasi dinilai lemah. Bahkan, demi memuluskan investasi tambang, pemerintah baik pusat maupun daerah, tak jarang rela melanggar aturan yang mereka buat. Akibatnya, kerugian menjadi tanggungan masyarakat, mulai dampak ekonomi, kerusakan lingkungan, hingga perampasan ruang publik. Demikian terungkap dalam seminar “Mengupas dan Mencari Solusi Permasalahan Pertambangan di Sulawesi Utara,”di Manado, Kamis (19/09/2013).

Rignolda Djamaluddin, Direktur Perkumpulan Kelola mengatakan, pengawasan lemah ini terus terjadi dari tahun ke tahun, seakan tak ada evaluasi dari pemerintah daerah (pemda). Kondisi ini menimbulkan anggapan pemda gagal mengelola tambang di wilayah mereka.  Dari pengamatan di lapangan pun, lembaga-lembaga pemerintahan daerah tampak tak serius menyikapi persoalan lingkungan di Sulut.

Sebenarnya, pengelolaan tambang semestinya tak menjadi racun. Kenyataan, limbah buangan tambang menyebabkan lingkungan tercemar, membunuh ikan dan mengancam kesehatan masyarakat sekitar yang berinteraksi dengan air dan laut.

Dia mencontohkan, kasus pertambangan di Buyat, yang sempat heboh pada 2004. Bersama sejumlah ahli medis, Rignolda menginvestigasi daerah itu. Hasilnya, kandungan racun arsenik mencemari lingkungan, diduga menimbulkan penyakit minamata pada warga sekitar.

Dampak buruk pertambangan di sejumlah daerah di Sulawesi Utara (Sulut) muncul lewat perampasan ruang publik dan kerugian ekonomi bagi masyarakat sekitar pertambangan. “Kalau nelayan dan petani digusur untuk keperluan tambang, sedang izin usaha pertambangan hanya beberapa tahun, apalagi yang tersisa untuk masyarakat?”

Rignolda berharap, pemerintah lebih berani mengambil sikap dan mengkaji untuk menjawab laporan pencemaran lingkungan. “Saya sering kehabisan pulsa untuk membuat laporan ke Badan Lingkungan Hidup, baik kota maupun provinsi, tapi tindakan mereka tidak terlihat. Kalau memang tidak bisa mengawasi lingkungan secara maksimal, lebih baik BLH dibubarkan saja.”

Dia tak yakin perusahaan tambang di Indonesia, maupun Sulut, mampu meningkatkan pendapatan ekonomi daerah. Lewat dokumen presentasi Gubernur Sulut pada Menteri Pekerjaan Umum di Jakarta, tahun 2008, kontribusi lapangan usaha pertambangan tiap tahun sangat kecil dibandingkan pertanian, perdagangan, hotel dan restoran, serta jasa-jasa lain.

Dalam dokumen ini, tercatat penolakan Gubernur Sulut, pada 2007, atas pertambangan PT. Meares Soputan Mining (MSM) di Toka Tindung, Minahasa Utara. Alasan ini berasal dari penilaian, aktivitas pertambangan mendapat penolakan masyarakat sekitar, teknologi pengolahan limbah belum dapat menjamin perlindungan lingkungan dan masyarakat, serta bertentangan dengan rencana tata ruang provinsi.“Tapi saya terkejut karena keputusan tadi berubah dalam kurun waktu tiga tahun belakangan.”

Rignolda menilai, kegagalan pemerintah mengelola tambang berawal dari kemudahan izin usaha pertambangan (IUP) kepada pengusaha. Seharusnya, serangkaian prosedur ketat dan serius mesti dilalui agar tak ada satupun pihak menerima kerugian.

Dia mendorong, masyarakat gencar mengawal isu-isu lingkungan dan tak hanya menelan informasi sepihak. Sebab, jika permasalahan lingkungan tidak diseriusi dampaknya akan diterima masyarakat luas. “Lingkungan tidak bisa membela diri, karena itu kita harus membela.”

Dalam seminar itu, terungkap sekitar 160 perusahaan tersebar di Sulut memperoleh IUP, dan empat perusahaan lain telah menandatangani kontrak karya. Data itu, bisa menjadi indikator kemudahan izin pemerintah kepada pengusaha.“Lihat saja setengah wilayah Pulau Sangihe sudah jadi sasaran tambang.”

Tambang yang membabat hutan di Cagar Alam Morowali. Negeri ini bisa dikatakan surga bagi investor  karena bisa menguras sumber daya alam semuanya meskipun sampai merusak alam. Hebatnya, minim sekali penegakan hukum. Foto: Jatam Sulteng
Tambang yang membabat hutan di Cagar Alam Morowali. Negeri ini bisa dikatakan surga bagi investor karena bisa menguras sumber daya alam semuanya meskipun sampai merusak alam. Hebatnya, minim sekali penegakan hukum. Foto: Jatam Sulteng

Tanggapan serupa diutarakan Maria Taramen, Ketua Tunas Hijau. Dia menilai pemerintah tidak mengawasi maksimal terhadap pertambangan di Sulut. Pemerintah, malah lebih banyak berpihak pada perusahaan dibanding masyarakat yang terkena dampak aktivitas itu.

Maria melihat, ada perlindungan kepada pengusaha tambang ketika konflik terjadi di lapangan. Lembaga negara sekelas Brimob pun, menjadi pelindung investor saat berhadapan dengan masyarakat. “Seharusnya pemerintah daerah mewakili kepentingan masyarakat, bukan memberi banyak kemudahan bagi pengusaha.”

Perusahaan tambang yang kedapatan melanggar peraturan pun diberi perlindungan hukum. Contoh, terjadi di Pulau Bangka. Sebagai pulau kecil,  seharusnya Bangka mendapat perlindungan UU, dan tak layak menjadi lokasi pertambangan. Aturan memperuntukkan Pulau Bangka, sebagai daerah pariwisata, perlindungan untuk biota laut dan terumbu karang hingga penahan tsunami. “Tapi, toh, sejumlah peraturan tadi dilanggar dan pemerintah memberi perlindungan pada investor. Tindakan ini pelecehan terhadap hukum di negara ini.”

Marly Dumala, Kabid Pertambangan Umum, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulut ikut berpartisipasi dalam seminar pertambangan ini.

Menurut dia, pemerintah berusaha maksimal mengawal keluhan masyarakat mengenai pertambangan. Dia menolak tudingan kepada pemerintah daerah. Publik diminta tak tergesa-gesa melayangkan penilaian, seperti klaim keberpihakan pemerintah kepada pengusaha tambang di Sulut. Apalagi, menganggap pemerintah membiarkan perusakan lingkungan.

Sejauh ini, katanya, pemerintah daerah telah mengawasi lingkungan sesuai peraturan, termasuk aktivitas pertambangan. Namun, dia berharap semua pihak terus bekerja-sama dalam memberi informasi terkait permasalahan lingkungan di Sulut.

“Terima kasih atas segala kritikan dan saran dari seluruh peserta yang hadir. Saya berharap bisa terus disertakan dalam kegiatan-kegiatan seperti ini, hingga kita bisa mencari jalan keluar dari persoalan lingkungan di Indonesia, khusus Sulut.”

Namun, dia berharap juga masyarakat tak alergi tambang. Sebab, bagaimanapun sumber daya alam di negara ini patut dimanfaatkan demi peningkatan dan kemajuan ekonomi nasional. “Saya dulu juga alergi terhadap tambang. Setelah dipelajari lebih jauh lagi, ternyata tambang jika dikelola dengan baik akan mampu meningkatkan ekonomi negara.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,