,

Ayo, Selamatkan Pulau Bangka dari Sekarang!

Keberadaan Pulau Bangka di Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara saat ini kondisinya terus mengalami degradasi lingkungan, sehingga  mengancam kehidupan masyarakatnya. Penyebabnya diduga kuat karena beroperasinya sebuah perusahaan energi yang bergerak dalam pertambangan bijih besi. Perusahaan tersebut sudah melaksanakan operasinya dalam beberapa tahun terakhir ini.

Hal itu tersebut diungkapkan Rihunu, salah seorang warga disana yang melakukan advokasi ke Jakarta. Menurutnya, masyarakat setempat merasa tidak nyaman dengan kehadiran PT Mikgro Metal Perdana (MMP) yang berasal dari Tiongkok tersebut, karena dalam operasinya memangkas kawasan hijau dan mengubahnya menjadi kawasan pertambangan yang tandus.

‘’Kami merasa itu sangat mengganggu kami. Karena ekosistem yang sedang kami tempati keberadaannya sangat terancam. Padahal, disitulah kami setiap hari tinggal dan mencari nafkah. Apa jadinya kalau semua itu dibiarkan saja,’’ ujar Rihunu di Jakarta, Jumat (24/04/2015).

Karena dirasa sudah mengganggu, warga di Pulau Bangka yang mendapat pendampingan hukum, memutuskan untuk menggugat secara hukum keberadaan perusahaan ke Pengadilan Tata Usaha Niaga (PTUN) Manado.

Namun, meski PTUN mengabulkan gugatan warga, perusahaan tersebut menyatakan banding ke Mahkamah Agung (MA). Namun, sekali lagi, hukum berpihak pada warga dan MA menyatakan bahwa perusahaan tersebut salah dan tidak boleh melakukan operasional perusahaan lagi di Pulau Bangka.

‘’Keputusan inkrach keluar pada 24 September 2013 atau hampir dua tahun yang lalu. Namun, setelah itu, bupati (Minahasa Utara) tetap memberi izin pelaksanaan pertambangan. Itu yang hingga saat ini tidak masuk diakal kami,’’ ucap Rihunu.

Kerusakan Pulau Tak Bisa Dihentikan

Selain merusak lingkungan, operasi pertambangan itu juga menyalahi aturan. Menurut Direktur Yayasan Nurani Minahasa, Jull Takaliuang, Pulau Bangka sebenarnya dikategorikan sebagai pulau kecil di Indonesia. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

‘’Sesuai UU tersebut, Pulau Bangka harusnya dimanfaatkan sebagai kegiatan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan serta perikanan secara lestari, pertanian organik, peternakan, dan/atau pertahanan dan keamanan negara,’’ ujar Jull.

Karena menyalahi peruntukkan, Jull menjelaskan, dampak yang sudah terlihat saat ini adalah sangat tidak baik dirasakan oleh masyarakat sekitar. Salah satunya, karena mulai ada penggundulan hutan dan penimbunan bakau serta sungai yang berlokasinya di area operasional PT MMP.

Meski belum dilakukan ke seluruh pulau, namun kata Jull, itu sudah cukup membuat masyarakat resah karena dikhawatirkan ke depannya bisa lebih buruk lagi.’’Padahal, warga juga tahu kalau di sekitar Pulau Bangka itu ada perairan yang sangat diidolakan oleh penyelam dari seluruh dunia. Potensi alam itu juga akan terancam kalau Pulau Bangka mengalami kerusakan,’’ tutur dia.

‘’Sebenarnya itu sudah ada teguran secara tertulis dari KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), namun tetap tak digubris. Ini membuat kami semakin bertanya-tanya. Ada apa sebenarnya di balik kasus ini,” ucap Jull.

Selain dari KKP, ada juga surat dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang meminta PT MMP untuk menunda kegiatan pertambangan dikarenakan belum ada keputusan zonasi dari Kabupaten Minahasa Utara.

Kerugian Negara Rp200 triliun

Sementara itu menurut Tama S Langkun dari Aliansi Menolak Limbah Tambang (AMMALTA), akibat penambangan yang masih dilakukan, negara mengalami kerugian sangat banyak. Jika tidak dihentikan, maka kerugian akan terus bertambah besar lagi. Padahal, sesuai dengan UU No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 100, pemegang ijin usaha penambangan wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang.

“Kenyataannya itu tidak dilakukan. Ini jelas pelanggaran lagi. Sudah operasionalnya melanggar, mereka juga melanggar yang lain. Belum lagi pelanggaran pemanfaatan lahan yang tidak boleh untuk pertambangan. Banyak sekali pelanggarannya,” ungkap Tama.

Namun, Tama memastikan bahwa kepentingan masyarakat bukan semata untuk meraih materi uang, namun bagaimana bisa memperjuangkan Pulau Bangka bisa kembali seperti semula, tanpa kerusakan. ”Warga sudah tidak peduli uang, mereka hanya ingin Pulau Bangka kembali hijau saja,” tandas dia.

Kaka Slank, menyerukan penyelamatan Pulau Bangka, lewat petisi di change.org. Kaka khawatir keindahan pulau ini akan hilang jika tambang masuk. Foto: Save Bangka Island
Kaka Slank, menyerukan penyelamatan Pulau Bangka, lewat petisi di change.org. Kaka khawatir keindahan pulau ini akan hilang jika tambang masuk. Foto: Save Bangka Island

Seruan penyelamatan Pulau Bangka juga diungkapkan musisi pentolan grup Slank, Kaka, yang terbiasa melakukan penyelaman di perairan sekitar Pulau Bangka. Menurut Kaka, sebelum ada pertambangan, Pulau Bangka sangat indah dan tenteram.”Namun sekarang, kondisinya sudah berbeda. Warganya masih ramah, tapi mereka tidak bisa menutup mata ada kerusakan alam di pulau. Itu yang dikhawatirkan warga,” ujar dia.

Pulau Bangka secara administrasi masuk dalam wilayah Kecamatan Likupang Timur Kabupaten Minahasa Utara. Luasnya mencapai 4.800 hektare. Di dalamnya ada empat desa, termasuk Desa Kahuku yang selama ini menjadi lokasi pertambangan bijih besi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,