, , ,

MK Putuskan Masyarakat Hidup di Hutan dan Memungut Hasil Tak Bisa Dipidana. Akankah Efektif?

Beragam pandangan menyatakan, putusan MK ini bakal sulit terimplementasi karena berpotensi multi tafsir. Putusan inipun tak akan menghentikan kriminalisasi masyarakat di lapangan.

Sedikit angin segar bagi masyarakat di dalam dan sekitar hutan datang di akhir tahun. Setelah setahun lebih persidangan, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan, kalau masyarakat adat maupun masyarakat lokal yang turun menurun tinggal di hutan tak bisa dipidana. Ketentuan ini berlaku sepanjang bukan untuk kepentingan komersial.

MK hanya mengabulkan sebagian gugatan masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Anti Mafia Hutan terhadap UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan UU Kehutanan.

“Bahwa Pasal 50 ayat 3 huruf e UU Kehutanan berbunyi setiap orang dilarang menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan tanpa izin dari pihak berwenang, kecuali bagi masyarakat yang hidup turun menurun di hutan dan tidak untuk kepentingan komersial,” kata Majelis Hakim Ketua Sidang Anwar Usman di Jakarta, Kamis (10/12/15).

Anwar menegaskan, ketentuan ini juga berlaku untuk klausul di huruf i Pasal sama. Bahwa larangan penggembalaan ternak di dikecualikan bagi masyarakat yang hidup turun menurun dan tak untuk kepentingan komersil. Dengan putusan MK ini, otomatis masyarakat adat tak bisa dipidana karena memungut hasil hutan.

“Mahkamah berpendapat, memang seharusnya masyarakat yang hidup turun temurun di dalam hutan yang membutuhkan sandang, pangan, dan papan untuk kebutuhan sehari-hari dengan menebang pohon dan dapat dibuktikan tidak disalahgunakan untuk kepentingan pihak lain atau komersial. Bagi masyarakat itu tidaklah termasuk dalam larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e UU Kehutanan dan tidak dapat dijatuhkan sanksi pidana terhadapnya.”

Sebab, katanya, paradoks apabila satu sisi pemerintah mengakui masyarakat yang turun temurun di hutan diancam hukuman. Negara justru harus hadir memberikan perlindungan terhadap masyarakat ini.

Dia mengatakan, ketentuan pidana dalam kedua UU sebagai upaya preventif sekaligus represif dari pemerintah dalam penegakan hukum bidang kehutanan. Lingkungan hutan Indonesia, katanya, harus dilindungi dan dikelola berdasarkan asas tanggungjawab, keberlanjutan, dan keadilan. Juga memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya. “Harus berdasarkan kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan terhadap kearifan lokal dalam mengelola lingkungan.”
Terkait inkonstitusionalitas Pasal 50 ayat (3) huruf b UU Kehutanan mengenai pelarangan merambah kawasan hutan, ternyata berhubungan dengan Pasal 78 ayat (2) UU Kehutanan. Pasal 50 UU Kehutanan itu masih berlaku, sedang sanksi dicabut Pasal 112 huruf b UU P3H.

“Jadi argumentasi pemohon berkenaan pemberian sanksi bagi pelanggaran Pasal 50 itu menjadi kehilangan relevansi. Jadi permohonan pemohon sepanjang mengenai Pasal itu tidak beralasan menurut hukum.” Sedang gugatan masyarakat sipil membatalkan seluruh UU P3H ditolak.

Andi Muttaqien, advokat Public Lawyers Interest Network juga pendamping warga mengapresiasi pertimbangan MK Pasal 50 itu.

“Meskipun dikabulkan sebagian, ini baik. Pasal 50 menegaskan orang-orang yang turun menurun hidup di dalam atau sekitar hutan meskipun mengambil kayu atau menggembala ternak tak boleh dipidana.”

Selama ini, katanya, Pasal-pasal ini sering mengkriminalkan masyarakat. Bahkan, lewat kawasan hutan saja bisa kena pidana.

Namun, dia menyayangkan MK tak mempertimbangkan argumentasi-argumentasi dan pernyataan ahli maupun saksi selama persidangan UU P3H. Putusan MK, katanya, agak aneh karena tak masuk substansi lebih dalam bahwa ada ketidakpastian hukum.

“MK mengakui ada ketidakpastian hukum soal status kawasan hutan yang ditetapkan itu berbeda dengan masih ditunjuk atau proses penetapan. Tapi tidak masuk pada Pasal itu inskonstitusional dengan alasan kami tak minta dipetitum.”

Catatan Koalisi Anti Mafia Hutan, sejak UU P3H terbit, ada 60 warga terjerat, tak ada satupun korporasi.

Muhnur Satyahaprabu dari Walhi Nasional kecewa dengan putusan MK yang menolak membatalkan UU P3H secara keseluruhan.

“Walhi kecewa. Putusan ini sebenarnya tak mampu memberikan keadilan dan kepastian hukum. Padahal ketidakpastian hukum sudah diakui MK.”

Soal pengecualian dalam Pasal 50, katanya, akan sulit dalam implementasi. Putusan MK, katanya, tak mampu menerjemahkan keadilan.

MK dianggap mengabaikan pertimbangan-pertimbangan penggugat, termasuk pertimbangan ahli yang menyatakan UU P3H sangat represif.

“Pengecualian itu sebenarnya limitasi subjek yang disasar tak jelas. Masyarakat turun menurun di hutan itu kalau di Jawa sudah diusir. Sekarang di tengah eksploitasi HTI jadi konflik baru. Kami melihat walaupun ada limitasi Pasal 50, sebenarnya itu tak berimplikasi banyak terhadap hak-hak konstitusi warga,” katanya.

Senada tanggapan Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria, Iwan Nurdin. Menurut dia, tak mungkin ada pembatasan hidup masyarakat dalam maupun sekitar hutan.

“Dikatakan boleh sepanjang masyarakat hidup turun menurun di hutan dan tidak untuk kepentingan komersil. Tak bisa dong dibatasi. Memangnya yang tinggal di dalam hutan tak boleh mengambil keuntungan? Itu kan hak dia turun menurun yang belum diakui negara. Mengapa harus dibatasi sepanjang tidak untuk kepentingan komersil? Arti komersil itu luas sekali. Ketika berbarterpun bisa dianggap komersil.”

Iwan menilai pertimbangan MK tak bijaksana. Pembatasan masyarakat memanfaatkan hasil hutan dinilai inkonstitusional. Seharusnya, warga diakui hingga bisa hidup berkembang dengan kekayaaan alam.“Pengecualian ini sebenarnya riskan. Memprihatinkan. Karena tafsir tak kepentingan komersial akan sangat panjang.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,