,

Menikmati Hasil Laut dari Aceh (Bagian III)

Sejak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dipimpin perempuan tangguh Susi Pudjiastuti, berbagai terobosan sudah diterapkan. Dari penegakkan kebijakan illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing hingga pelarangan beroperasinya kapal-kapal asing di lautan Indonesia, dan termasuk juga penerapan peraturan menteri (Permen) KP yang menuai kontroversi pro dan kontra.

Semua kebijakan itu berhasil dilaksanakan di seluruh Indonesia dengan menghasilkan implementasi positif dan negatif. Mongabay Indonesia pada tulisan ini akan membahas kebijakan yang sudah dibuat Susi Pudjiastuti dan mencari tahu sejauh mana dampak kebijakan tersebut.

Dalam tulisan berseri ini, Mongabay Indonesia  akan menceritakan industri perikanan dan kelautan yang ada di Provinsi Aceh, terutama di Kota Sabang  yang ada di Pulau Weh dan Kota Banda Aceh yang berlokasi di Pulau Sumatera. Berikut adalah tulisan ketiga yang disajikan oleh penulis M. Ambari. Tulisan pertama bisa dilihat ditautan ini dan tulisan kedua ditautan ini.

********

Popularitas Kota Sabang di Pulau Weh, Provinsi Aceh, sejak zaman penjajahan Belanda memang sudah sangat baik. Bahkan, meski status pelabuhan bebas yang sudah ditetapkan di masa pemerintahan Hindia Belanda sempat dicabut pada 1985, Sabang tetap menjadi destinasi sangat populer.

Di tengah popularitas tersebut, Sabang yang menjadi bagian dari kebudayaan Aceh, tetap berusaha membumi dengan menerapkan adat istiadatnya. Salah satunya, bisa dirasakan dalam aktivitas nelayan tradisional yang rutinitasnya hariannya di laut lepas.

Panglima Laot Lhok le Meulee, Saiful Bahri saat bertemu dengan Mongabay Indonesia pada Minggu (01/05/2016) petang, mengungkapkan, sudah sejak lama, nelayan di Kota Sabang dan juga daerah lain di Aceh, memiliki tata aturan sendiri yang dilaksanakan dalam keseharian nelayan. Tata aturan itu biasanya menjadi panduan nelayan saat akan dan sedang melaut.

Salah satu aturan yang wajib dipatuhi nelayan, kata dia, adalah larangan melaut pada hari Jumat dan hari-hari besar lainnya seperti hari raya Idul Fitri, Idul Adha, atau Kemerdekaan RI. Aturan tersebut, dilaksanakan dengan baik karena itu sudah menjadi kesepakatan tak tertulis di antara nelayan.

“Karena sepekan sekali tidak melaut, nelayan akan memaksimalkan hari yang ada untuk menangkap ikan. Nelayan di sini akan mematuhinya karena ini demi kebaikan bersama,” tutur dia.

Karena itu merupakan larangan, Saiful mengatakan bahwa di antara sekian banyak nelayan, selalu ada saja yang melanggarnya. Biasanya, itu dilakukan karena desakan kebutuhan ekonomi dan juga ketidakpahaman tentang aturan tersebut.

“Walau begitu, tetap nelayan tersebut kita hukum. Caranya, kapal yang biasa dipakai untuk melaut akan diamankan selama minimal dua hari dan hasil tangkapan lautnya akan disita oleh Panglima Laot. Sebagian di antaranya akan diberikan kepada tempat ibadah,” sebut dia.

Ikan dalam keranjang hasil tangkapan nelayan siap dijual di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pasiran, Pulau Sabang, Aceh pada Minggu (01/05/2016). Foto : M Ambari
Ikan dalam keranjang hasil tangkapan nelayan siap dijual di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pasiran, Pulau Sabang, Aceh pada Minggu (01/05/2016). Foto : M Ambari

Kearifan lokal yang tetap dipertahankan itu, menurut Saiful Bahri, menjadi bagian tak terpisahkan dan ikut membentuk mental nelayan di Sabang dan umumnya di Aceh. Dengan adanya larangan seperti itu, nelayan jadi saling mengingatkan dan toleransinya sangat tinggi antara satu dengan yang lain.

Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan  Kota Sabang Aliadinsyah secara khusus menyebut bahwa kebijakan larangan melaut yang dikeluarkan Panglima Laot itu merupakan kebijakan yang baik dan sudah berlangsung sejak lama. Baginya, kebijakan tersebut ikut menjaga laut di sekitar Sabang tetap baik karena ada masa satu hari laut akan bebas dari kapal nelayan.

“In sebenarnya ada hubungannya dengan konservasi laut yang sekarang dicanangkan Menteri Susi Pudjiastuti. Jadi, nelayan di Aceh itu sudah peduli dengan laut sejak lama. Tak perlu disuruh lagi,” ungkap dia.

Bagaimana Pengaruh Kebijakan Susi Pudjiastuti?

Secara khusus, Aliadinsyah mengungkap tentang fakta dibalik kebijakan yang diterapkan Susi Pudjiastuti. Selain kebijakan IUU Fishing yang diakuinya membawa manfaat sangat banyak, dia menyebut bahwa kebijakan yang lain di bawah perempuan asal Pangandaran itu juga dinilainya sudah positif karena sejalan dengan nelayan lokal.

“Kalaupun ada, itu berkaitan dengan alat tangkap saja. Karena, ada alat tangkap sejenis pukat tarik yang juga ikut dilarang. Tetapi, itu juga terpecahkan karena nelayan akhirnya mau mengganti mata pancingnya menjadi berukuran lebih besar,” jelas dia.

Memang, diakui Aliadinsyah, saat kebijakan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.2 Tahun 2015 tentang Pelarangan Alat Penangkapan Pukat Hela dan Pukat Tarik diberlakukan, sempat ada penolakan dari nelayan. Tetapi, setelah sosialisasi dilaksanakan secara rutin, akhirnya penolakan itu berubah menjadi penyambutan yang baik.

“Nelayan di Sabang sudah paham bahwa alat tangkap seperti itu tidak boleh. Meski dulu pengunanya sangat sedikit, tetapi itu tetap harus kami berikan pemahaman kepada mereka. Intinya, kami ingin kebijakan dari Pemerintah bisa sejalan dengan nelayan,” tandas dia.

Suasana penjualan ikan oleh nelayan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pasiran, Pulau Sabang, Aceh pada Minggu (01/05/2016). Foto : M Ambari
Suasana penjualan ikan oleh nelayan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pasiran, Pulau Sabang, Aceh pada Minggu (01/05/2016). Foto : M Ambari

Sementara Wakil Ketua DPR Kota Sabang Aprizal, dalam kesempatan terpisah mengatakan, kebijakan perikanan dan kelautan yang dikeluarkan Susi Pudjiastuti sebenarnya berjalan beriringan dengan kebijakan Pemerintah Kota Sabang. Hanya, sayangnya kebijakan itu tidak dipahami lebih detil oleh Pemkot Sabang.

“Sabang itu kan fokusnya disektor pariwisata. Seharusnya, apapun kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, itu harus bisa diimplementasikan dengan kebijakan lokal di Sabang. Artinya, harus ada benang merah yang sama untuk sektor pariwisata,” tutur dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,