NGO: Benih Modifikasi Genetik Tidak Akan Sejahterakan Petani

Dahulu petani berdaulat dengan benih dari tanaman yang dipilihnya. Pun, secara bergenerasi petani telah biasa melakukan perkawinan silang antar varietas benih lokal. Karena itu, para petani dahulu mampu menghasilkan benih yang dapat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan dan iklim yang terjadi.

Namun, saat ini peran petani sebagai peneliti alam sebagian besar telah diambil alih oleh perusahaan-perusahan besar multinasional yang berkuasa atas benih. Perusahaan ini memiliki kepentingan komersil untuk menjadikan benih yang dihasilkannya dibeli oleh petani. Termasuk penyediaan berbagai produk pestisida yang menjadi suplemen dari benih yang dijualnya.

Benih modifikasi genetik yang dihasilkan perusahan multinasional pun telah dipatenkan, sehingga petani tidak lagi berdaulat di atas lahannya sendiri.

“Perusahaan dan lembaga penelitian besar seperti IRRI (International Rice Research Institute) di Los Banos, Filipina telah mengambil benih dari tangan petani dan sekarang kami memperjuangkan agar petani mengambilnya kembali,” jelas Cris Penerio, Koordinator Masipag, sebuah organisasi NGO pendamping petani asal Filipina dalam workshop Learning and Exchange: People Led Development yang diselenggarakan di Sikka pada tanggal 6-9 Maret 2017 lalu.

Baca juga: Sukses Silangkan padi Lokal, Beatrix Rika pun Diganjar Penghargaan Perempuan Pejuang Pangan

Cris menjelaskan bahwa konsep pertanian saat ini telah bergeser. Bukan hanya untuk menyediakan makanan yang cukup, bermutu baik dan sehat bagi semua orang namun telah dikapitalisasi. Perusahaan multinasional-lah yang kemudian menjadi kaya dan berkuasa atas pertanian, lewat introduksi bibit genetik dan turunannya yang diklaim memiliki keunggulan tertentu.

“Benih hibrida hasil GMO (Genetically Modified Organisms) atau bahan pangan termodifikasi tidak akan melindungi para petani kecil. Benih GMO ini merupakan akar masalah,” jelas Tranggulino Pilado, dari Dewan Tani Masipag. Benih GMO kata Pilado akan membuat ketergantungan akut petani terhadap benih dari perusahaan multinasional.

Menurutnya, petani harus menolak benih GMO, dan harus mengembangkan pertanian organik dan bibit lokal yang dapat dikembangkan secara kelompok dan jaringan. Untuk itu, petani dituntut untuk aktif, tidak saja bersikap pasif meratapi nasib.

Dia pun menambahkan bahwa kuasa atas benih oleh petani harus diikuti dengan kepemilikan tanah, kemampuan memelihara lahan dan mengawinsilangkan benih untuk menghasilkan varietas jenis yang mampu bertahan dari tantangan perubahan iklim.

“Tantangan bagi mitra lokal dan petani adalah membangun kapasitas diri, meningkatkan kemampuan komunikasi yang lebih baik serta saling bertukar ilmu antar petani.”

 

Salah satu pemandangan lansekap sawah di Magepanda, Sikka. Foto: Ebed de Rosary

 

Waktunya Bagi Petani Bergerak Sebagai Agen Perubahan

Ferdiyub Siaris Wada, seorang peserta asal Sumba mengaku dari workshop ini mendapat ilmu baru terkait pertanian, seperti perlakuan terhadap hama keong emas dengan konsep “mengatasi masalah dengan masalah”.

Dalam pelatihan ini, keong emas diambil dan difermentasi menjadi pupuk guna menyemprot padi yang ditanam. Hasilnya keong lama kelamaan habis, sedangkan padi pun tumbuh subur.

Selain itu dia amat tertarik tentang proses pembuatan pupuk organik dengan bahan yang ada di dalam areal kebun atau sawah. Baginya, penggunaan pupuk kimia di NTT masih sangat tinggi, petani masih bergantung kepada pupuk kimia padahal zat yang ditinggalkan bisa membahayakan tanah dimana keasaman tanah akan tinggi sehingga akan terus bergantung kepada pupuk kimia.

“Konsep petani sebagai penentu (People Led Development) berjalan bagus di beberapa kelompok tani di Sikka dan sudah mulai diterima. Kalau di Sumba petani belum sampai ke taraf ini. Tantangan pertanian di Sumba pun masih seputar musim yang tidak menentu sehingga berdampak kepada seringnya gagal panen akibat salahnya petani memprediksi musim tanam,” jelasnya kepada Mongabay Indonesia.

Guna menggenjot konsep ini, di Sumba dia mencoba memulainya dengan Uma Peghe atau rumah pintar sebagai tempat pertemuan perkumpulan petani. Hal ini dimaksud untuk merubah mental masyarakat semenjak dini dan setelah itu barulah dibentuk kelompok tani.

Thomas Yeremias Mabelehi petani asal Timor pun senada. Baginya penting agar petani bisa menyatukan tekad guna mulai kembali kepada pertanian yang ramah lingkungan seperti menggunakan pupuk organik.

Curah hujan yang tidak menentu sebut Yeremias, memerlukan sebuah siasat sehingga petani mulai kembali kepada konsep pertanian yang tradisional yang lebih akrab dengan lingkungan dan bisa menjaga keseimbangan ekosistem.

Hasil dari workshop ini, para peserta menyepakati untuk membacakan deklarasi yang menyatakan bahwa petani akan membangun gerakan di tingkat komunitas, mengembangkan pertanian berkelanjutan dan konservasi sumberdaya alam.

Petani bersepakat untuk berbagi informasi pertanian organik kepada semua anggota kelompok, membuka pasar hasil organik, membuka laboratorium khusus untuk pertanian organik, menjadi contoh atau teladan bagi petani lain serta mengembangkan kebun-kebun contoh organik.

Juga disepakati bahwa petani dan kadar tani akan bergerak menjadi agen perubahan (agent of change) untuk membangun kemandirian komunitas sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip kearifan lokal serta kemandirian untuk mendorong dan menyejahterakan masyarakat petani.

Bagi para pemimpin desa, maka peserta siap untuk melayani masyarakat dan memfasilitasi pembuatan peraturan desa tentang pertanian organik.

Para petani dan pemimpin desa juga menolak pertanian berbasis kimia, bantuan subsidi yang berbasis kimia dari pihak manapun, pengrusakan lingkungan akibat perambahan hutan, sistem tebas bakar dan lainnya, menolak eksploitasi pertambangan serta perdagangan manusia.

Workshop empat hari ini diselenggarakan oleh konsorsium mitra Misereor yakni: Yayasan Tana Nua (YTN) Flores, Yayasan Tana Nua (YTN) Timor, Yayasan Komodo Indonesia Lestari  (Yakines) Manggarai Barat, Yayasan Pengembangan Kemanusian (YPK) Donders Sumba Barat Daya dan Wahana Tani Mandiri (WTM). Kegiatan diikuti 30 orang yang berasal dari utusan petani dan staf dari setiap lembaga mitra.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,