Ekowisata Desa Rongkong, Upaya Warga Merawat Alam

 

 

Sebelas motor mengantar kami menuju Desa Rinding Allo, Kecamatan Rongkong, Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Jumat (21/4/17). Jarak dari jalan utama provinsi di Sabbang sekitar 59 km. Rute jalan sebagian beton, ada juga batu. Jalan menanjak bikin penumpang harus merapatkan badan ke punggung pengemudi agar tak terpelanting ke belakang.

Kami memulai perjalanan 09.00, mencapai Rinding Allo pukul 13.30. Selama waktu itu, sekali kami berhenti di Salunase, menikmati penganan dan menyeruput kopi. Pemberhentian kedua di Makaratte. Sekadar meluruskan punggung, membebaskan penat setelah duduk di jok motor.

Di Bukit Tabuan (Buntu Tabuan–bahasa setempat), ada spanduk “Selamat Datang di Desa Ekowisata.” Kampung Kawalean berada di bawah bukit.  Liukan pematang sawah dan padi menguning terlihat jelas. Udara mulai sejuk. Titik desa berada di ketinggian 1.600 mdpl.  Memasuki pintu desa, hujan menyambut. Air dingin.

Menjelang sore, kami keliling desa. Melihat bunga balon. Rumah panggung berjejer. Mengunjungi situs Laso Batu, megalit dengan tiga batu ditempatkan berdiri. Tinggi sekitar 50 cm. Tempat ini dipercaya sebagai lokasi ritual panen hingga perang. Di bawah tanah, dipercaya beberapa kepala manusia dari musuh tertanam.

Di sekitar situs, beberapa lumbung padi berdiri tak terawat.

Jelang pukul 17.00, kabut mulai menyelimuti desa. Sebagian tempat seperti lenyap. Muncul kembali beberapa saat kemudian. Keindahan alam ini oleh Konsorsium Hijau Lestari dinamakan Surga di Balik Gunung. Sebuah istilah yang cukup membuat saya tergelitik.

Saya memenuhi undangan menjajal keindahan Desa Ekowisata Rinding Allo selama empat hari tiga malam. Setiap hari berpindah dari Dusun Kawalean, Manganan, dan Salu Rante.

Hari pertama di Kawalean, seperti perkenalan dengan udara sejuk. Menginap di rumah warga. Menikmati makanan bersama. Mengunyah nasi organik nan harum tanpa pestisida. Melahap sayuran yang ditanam warga.

Sayangnya, pada subuh hari hujan mengguyur hingga pukul 07.00. Perjalanan menyaksikan matahari terbit di Buntu Tabuan, gagal.

Sekitar pukul 10.00, kami menuju Manganan. Kuda-kuda mengangkat barang. Kami berjalan di samping atau belakang. Ini tradisi Ma’teke, masyarakat mengangkut barang dengan pelana diisi jerami atau kapas, diletakkan di punggung kuda.

 

Menikmati matahari yang akan menampakkan diri dari Bukit Dusun Salurante. Foto: Eko Rusdianto

Dapat pula berjalan kaki sekitar 30 menit.

Di tempat ini, saya bertemu Mawila. Dia satu-satunya penenun tua di Salu Rante. Perkiraan dia,  lahir sebelum NICA pasukan sekutu memasuki Sulawesi Selatan pada 1948.

Mawila adalah pengetahuan utama dalam tenun Rongkong. Dia memahami tujuan dalam pembuatan motif. Hingga penempatannya.  “Ini salah. Harusnya hanya liukan. Tak boleh ada bunga di dalamnya,” katanya mengomentari salah satu tenun yang dibuat keluarganya. “Kalau lampa-lampa, sudah tidak ada lagi bunga rissin-nya.”

Motif Rongkong dikenal memiliki ciri khusus, seperti sekong sirenden (ungkapan kebersamaan), sekong mandi’ (saling berpegang tangan), lampa-lampa (potongan kayu), dan bunga rissin (salah satu bunga, yang menurut beberapa orang sudah tak ditemukan lagi di Rongkong).

Desa Rinding Allo, meliputi enam dusun, masing-masing Kawalean, Manganan, Salurante, Buntu Mala’bi, Pamuntang dan Mabusa. Tiga dusun pertama jadi percontohan ekowisata.

Desa ini juga dikelilingi empat gunung pada masing-masing sisi, yakni Buntu Porreo, Tambuan, Tambolang, dan Paramean. Karena gunung ini pulalah, wilayah ini mendapatkan nama Rinding Allo, dalam terjemahan bebas Dinding Matahari.

Rinding Allo atau Rongkong secara umum adalah wilayah dikelilingi hutan tropis lebat. Sawah-sawah dengan sistem teras membentuk pemandangan menakjubkan. Dalam perut hutan, ada satwa endemik Sulawesi anoa (Bubalus quarlesi). Di pinggiran hutan, saya menemukan burung ekor panjang nan cantik dengan paruh atas kuning (kadalan Sulawesi).

Rongkong dikenal juga sebagai tempat lahir para panglima perang, para pemberani. Tempat bermula parang atau besi Porreo yang terkenal tajam dan bertuah.

Dalam kisahnya, seorang bernama Nek Malotong adalah kesatria (laki-laki) yang memiliki lidah hitam. Parang ditempa di Gunung Porreo. Para musuh yang terkena jilatan parang tak akan pernah selamat dari maut.

“Di gunung Porreo ada batu, bila parang diasah bisa beracun. Kalau menempa besi masa lalu di gunung itu, tak boleh untuk kehidupan sehari-hari. Hanya khusus perang,” kata Papongoran Salong.

 

Lumbung padi warga Kawalaen, tampak kurang terawat. Foto: Eko Rusdianto

 

Papongoran adalah Kepala Desa Rinding Allo, sekaligus Tomatua (gelar untuk tokoh adat) di Dusun Kawalean. Di Rongkong, beberapa kampung, memiliki tiga gelaran kehormatan untuk para pemangku adat yakni tomakaka, matua, dan tosiaja.

Tahun 1992, Ian Caldwell dalam catatan perjalanan dari Sabbang melintasi Rongkong, Limbong, hingga menembus Kalumpang dan Mamuju di Sulawesi Barat menuliskan, bila sepanjang pegunungan itu pasir besi sangat mudah dijumpai.

Penduduk melebur digunakan sehari-hari. Dia mengecualikan besi porreo yang tersohor.

Pada masa lalu, orang Rongkong selalu berperang dengan orang Kulawi di Sulawesi Tengah. Dalam beberapa pertempuran, korban berjatuhan. Di sekitar Desa Kanande–pintu menuju Rongkong, disinyalir sebagai arena pertempuran.

Perang antara Rongkong dan Kulawi, berlangsung lama. Meski tak ada literatur menjelaskan kapan pertikaian berhenti, Matua Manganan, Haji Sitantu Panapi (74) mencoba mengurai ingatan dalam tradisi lisan mengatakan, ratusan pasukan orang Kulawi terjatuh di tebing dekat Minanga.

“Jadi waktu itu, ada mahluk gaib membantu perjuangan orang Rongkong. Mahluk gaib dekat air terjun itu memanggil orang Kulawi dan berpura-pura akan menyelamatkan. Tak tahunya itu jurang,” katanya.

Saya bertemu dengan beberapa penduduk setempat. Cerita perang antara Kulawi dan Rongkong, hanya dijelaskan sebagai upaya orang-orang Kulawi untuk menundukkan Rongkong karena penguasaan unsur besi bertuah. Dalam kisah lain, wilayah ini mengenal pula tradisi mengayau (ma’pengae) alias memenggal kepala manusia.

Megalitik di Dusun Kawalean, salah satu penanda. Di tempat itu, setelah panen usai, dan sebelum penanaman padi baru perlu kepala manusia sebagai sebuah persembahan. Biasa, orang Rongkong akan berkelana ke beberapa tempat termasuk hingga Kulawi untuk mendapatkan kepala. “Kepala itu, ada yang ditanam. Ada pula yang diawetkan,” kata Sitantu. “Jadi dulu ada itu namanya alang ulu (lumbung khusus kepala).”

Alang Ulu dibuat menyerupai lumbung padi, isi hanya kepala manusia. Pintu alang itu, kata Sitanta, hanya dibuka saat ritual. Padi tak ditempatkan di bangunan itu.

Saya mencoba mencari letak alang ulu. Tak ada tersisa. Pada 1954, TNI memerintahkan pengosongan Kampung Rongkong, termasuk Manganan, karena efek dari pergolakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia pimpinan Kahar Muzakkar 1950-1965.

 

Pemandangan dan lannsekap persawahan Rongkong. Foto: Eko Rusdianto

 

Masa itu, Sitanta, ingat betul, rumah dan semua lumbung dibakar tinggal puing. Padi belum sempat panen dihancurkan. “Dari kampung, kami jalan ke Sabbang. Saya sudah gendong adik saya. Nanti 1958, kami datang kembali dan membangun kampung,” katanya.

“Apa alasan tentara menyuruh mengosongkan kampung?” kata saya.

“Saya dengar kemudian hari, supaya orang-orang kampung jangan ada yang bantu pasukan Kahar,” ucap Sitanta.

 

***

Pagi hari, di Manganan, saya menyeruput kopi di teras rumah. Warga berjalan menggunakan kaos kaki panjang. Kuda-kuda pengangkut karung gabah berjejer menuju rumah masing-masing. Seorang penjaja ikan laut pakai motor berhenti.

Tiga ikan bandeng seukuran tiga jari dibungkus kantong kresek. Bagi warga yang memiliki uang akan membeli seharga Rp20.000 atau tukar beras satu kg. Perbandingan harga beli pakai duit dan beras, jauh berbeda. Beras, harga hanya Rp800 perkg.

Dewi Sartika dari AMAN Tana Luwu yang ikut mengelola program ekowisata ini berharap, dengan akses masyarakat terbuka jadi memiliki posisi kuat.

Ekowisata, dikelola kelompok masyarakat. “Mereka yang menjaga, merawat. Mereka yang mendapatkan keuntungan,” katanya.

Pernyataan itu cukup beralasan, tradisi serupa ma’gentong dan ma’lombung, sebenarnya sudah dilupakan masyarakat sejak beberapa tahun lalu, kembali dihidupkan. Tradisi tenun dengan asumsi hanya orangtua yang mengerjakan, mulai diperkenalkan. Anak-anak muda mulai tertarik.

Saya kira “surga” dalam penjualan paket wisata di Rongkong tak berlebihan. Akar budaya kuat dengan pantangan diatur dalam adat menjadi simbol pemersatu. Tak boleh saling dendam, tak boleh ada pencurian. Semua orang harus saling menghargai.

Pemerintah desapun telah mengesahkan Peraturan Desa (Perdes) Nomor 4/2017 tentang Pengelolaan Desa Ekowisata.

 

Malombung, tradisi meniup terompet atau seruling dari batang padi usai panen. Foto: Eko Rusdianto

 

Paket ekowisata ke Rongkong  sekitar Rp1,3 juta per orang, itu termasuk tinggal di rumah warga tiga hari empat malam, makan, menikmati kunjungan ke tenun Rongkong di Salurante, dan kuliner khas salurante ma’gentong di Manganan. Lalu, lihat sunrise Buntu Tabuan di Kawalean dan kunjungi situs Laso Batu di Kawalean.

Akhirnya, Senin sore, (24/4/17), ketika kabut sedang elok menutupi Rinding Allo, kami harus berpamitan. Orang-orang dengan senyum lebar menyalami.

Dalam perjalanan dengan guncangan di atas motor, saya memikirkan, keramahan warga jadi ujung tombak kawasan ini. “Jika daun kayu bisa disulap jadi manusia, kami akan hidupkan. Karena orang Rongkong ingin bersahabat,” kata mereka.

 

Bahan pewarna dan pengikat warna tenun alami dari tumbuhan. Antara lain jahe, bawang, kemiri, kapur sampe potongan kulit kayu. Foto: Eko Rusdianto
Mawila, penjaga tradisi tenun Rongkong di Dusun Salurante. Foto: Eko Rusdianto

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,