Aruh Mahanyari, Ritual Ucapan Syukur Hasil Panen Berlimpah Dayak Pitap

Matahari tenggelam berganti malam gelap. Puluhan warga berkumpul di balai adat desa Kambiyain Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan. Listrik belum masuk desa. Jika hari biasa, suasa desa gelap gulita. Hanya beberapa rumah yang mempunyai lampu penerangan, dibantu solar sel atau genset.

Namun malam di akhir Mei itu berbeda. Suasana ramai. Genset dinyalakan semalam suntuk. Balai adat terang benderang bersinar lampu neon. Para bapak, ibu, pemuda, pemudi hingga anak-anak duduk bersila. Berbagai ornamen hiasan terpampang. Itulah bentuk upacara adat Aruh Mahanyari, sebuah ritual yang rutin dilakukan masyarakat adat Dayak Pitap, ucapan wujud terimakasih pada sang pencipta atas panen yang melimpah.

Alunan musik kendang dan kelimpat dimainkan beberapa orang. Para perempuan sahut menyahut menyanyikan tembang bahasa Dayak. Suasananya amat magis.

Di tengah balai adat terdapat area khusus, yang disebut langgatan. Ia berupa sebuah kotak berhiaskan janur dari daun kelapa dan mayang pinang. Di sisinya terdapat bunga merah dan daun kandarasa yang sekilas menyerupai daun bawang, serta kembang babaung, sejenis daun kemangi. Di bawah langgatan, beberapa bambu berisi lamang dari beras ketan dipasang melingkar.

Tak lama, musik kendang dan kelimpat berhenti mengalun. Para ibu serempak membagikan makanan pada para tamu yang hadir. Acara makan malam dimulai. Semua berbarengan, seolah tanpa sekat. Lepas makan bersama, suara tetabuhan kembali terdengar. Seorang tokoh adat, maju ke depan. Dalam Bahasa Dayak meratus, ia memberikan berbagai petuah sebelum acara dimulai.

“Acara ini kami gelar sebagai wujud rasa syukur kepada alam semesta atas hasil panen yang melimpah,” kata Didi, salah seorang warga Desa kambiyain.

Ia menyebut, setelah acara Aruh Mahanyari digelar, keesokan harinya warga tak akan melakukan aktivitas di ladang, juga tak diperbolehkan membunuh satwa, menebang pohon. Berhubungan badan dengan suami atau istri pun juga tak boleh.

Dalam kepercayaan mereka, bekerja setelah melakukan acara ritual tersebut dilarang, atau pamali. “Bahkan memetik daun pun itu juga pamali,” ujarnya.

 

Seorang balian sedang menghaturkan doa dan mantera sebagai bagian dari ritual. Foto: Indra Nugraha

 

Lepas tokoh adat itu memberikan wejangan, beberapa lelaki melakukan tarian balian mengelilingi langgatan. Suara tetabuhan gendang kembali mengalun mengiringi tarian yang dianggap sakral. Beberapa menit setelahnya, giliran para perempuan  menari bangsai, berlenggok dengan kain selendang di pinggang.

Lalu para tokoh adat maju ke depan langgatan. Masyarakat memanggil mereka dengan sebutan balian. Mantra-mantra diucapkan oleh para balian yang jumlahnya belasan. Suara musik kendang terus mengalun. Beberapa diantara para balian itu juga membawa gelang hiang yang terbuat dari tembaga. Gelang dibenturkan sambil mengelilingi langgatan menghasilkan bunyi cring… cring..cring… beradu hentakan musik gendang.

“Tak semua warga turut menyelenggarakan Aruh Mahanyari. Kalau hasil panen tidak memungkinkan, ya gak ikut. Tapi kami sistemnya kekeluargaan. Jadi semua warga diajak ikut serta,” katanya.

Acara Aruh Mahanyari di Desa Kambiyain diselenggarakan selama penuh dua hari. Selama acara, para balian silih berganti membacakan mantra-mantra persembahan kepada sang pencipta dan alam semesta.

Di hari kedua, lamang dalam bambu yang dipasang berjejer di bawah langgatan dibagikan kepada hadirin. Pantang bagi mereka untuk mencicipi lamang tersebut, sebelum diperbolehkan oleh para balian. Malam harinya, ritual terus dilakukan. Puluhan piring berisi beras, sayuran, darah ayam dan lainnya terhidang di depan langgatan. Para balian berkeliling langgatan, sambil menari-nari membacakan mantra.

“Lamang yang dipersembahkan itu berasal dari hasil panen. Jadi sebelum acara Aruh Mahanyari, padi belum diperbolehkan untuk dikonsumsi. Itu pamali,” kata Didi.

 

Suasana ritual Aruh yang diselenggarakan di Balai Adat. Lamanya pesta dapat berbeda-beda. Foto: Indra Nugraha

 

Arsanaedi, warga desa Mamegang Kecamatan Halong mengatakan, Aruh Mahanyari juga rutin diselenggarakan di wilayahnya. Berbeda dengan di Desa Kambiyain, pelaksanaan ritual adat dilakukan per keluarga. Pelaksanaannya pun hanya satu hari. Biasa dilakukan pagi hari mulai dari pukul enam hingga sepuluh waktu setempat.

Menurutnya, tujuan utama Aruh Mahanyari adalah mengumpulkan sanak keluarga untuk sama-sama mensyukuri hasil tani. Sehingga pelaksanaannya harus dikoordinasi Balai Adat, sehingga tidak berbarengan antar Balai Adat yang berbeda.

“Secara detailnya kami menyiapkan acara aruh ini dari minggu sebelumnya. Dari kegiatan mengambil daun pisang, bambu, daun aren, dan lainnya,” katanya.

Arsanaedi menyebut, Aruh Mahanyari dilakukan sebagai ungkapan syukur kepada sang pencipta karena telah diberikan berkah atas hasil tani.

“Walaupun tak begitu memuaskan, tapi yang jelas kita menikmati berkah alam. Berterimakasih kepada alam. Kita meminta sama penghuni alam mudah-mudahan di musim tanam selanjutnya kita mempunyai hasil padi melimpah,” katanya.

Unung, Kepala Desa Kambiyain mengatakan dalam sekali musim tanam, biasanya masyarakat adat Dayak Pitap menyelenggarakan Aruh tiga kali. Dimulai saat membuka lahan, yang disebut Aruh Babantan, pada saat menanam atau menugal yang disebut ritual Palas Paung, dan pada saat selesai panen yaitu Aruh Mahanyari.

“Kami disini masih erat kekeluargaannya. Untuk membuka lahan, menanam atau pun memanen biasanya warga ikut membantu. Dilakukan secara bergiliran Bersama-sama gotong royong,” ujarnya.

Sebutnya, tidak ada batasan berapa lama ritual Aruh dilakukan.

“Pelaksanaan ritual tergantung kesanggupan warga. Bisa empat, delapan atau bahkan enam belas hari. Tapi kami di sini biasanya hanya dua hari saja,” katanya.

Penentuan tanggal penyelenggaraan Aruh menurut Unung, ada hitung-hitungannya tersendiri. Berdasarkan tanda-tanda alam. Tak ada kalender khusus untuk penentuan penyelenggaraan Aruh Mahanyari atau pun ritual yang lainnya. Pengetahuan untuk penentuan waktu yang tepat guna penyelenggaraan Aruh sudah diwariskan secara turun menurun.

Meski selama Aruh Mahanyari ada warga yang belum selesai panen, sesuai hukum adat, sebelum ritual selesai, hasil panen tak boleh dikonsumsi dulu. Setelah Aruh Mahanyari selesai, padi dibawa ke rumah dan disimpan dalam tempat khusus. Padi yang disimpan bahkan bisa tahan sampai puluhan tahun.

Pada saat ritual Aruh Mahanyari usai, para warga yang hadir pun akan diberikan sekantung beras yang berasal dari hasil panen. Warga tak bisa menolak beras hasil pemberian tersebut.

“Ini semacam sedekah, seperti zakat fitrah. Di ritual Aruh juga pasti diberi beras. Yang dikasih tak boleh menolak. Padi berasal dari yang baru dipanen. Beras hasil panen tidak boleh dijual, hanya untuk konsumsi sendiri. Makanya kami tidak pernah ada kelaparan. Kalau makan sehari-hari pasti dapat,” katanya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,