Dua Spesies Reptil Baru Ditemukan di Sumatera, Apa Saja?

Keanekaragaman jenis reptil Indonesia bertambah. Kerja bareng Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan peneliti dari Universitas Brawijaya dan University of Texas at Arlington dalam projek survei herpetofauna di Jawa dan Sumatera 2013 – 2016, berhasil menemukan dua spesies reptil baru di Sumatera.

Jenis apakah itu? Bagaimana peneliti mendeskripsikannya sebagai jenis baru?

 

 

Lycodon sidiki

Berdasarkan jurnal internasional Zootaxa edisi Juni 2017, spesies ular yang ditemukan di wilayah Takengon, Aceh Tengah, pada ketinggian 1.614 meter diatas permukaan laut (m dpl) ini masuk dalam Genus Lycodon. Para peneliti kemudian memberi sebutan ilmiah ular baru itu dengan nama Lycodon sidiki. Ular pemangsa reptil dan ampfibi kecil itu memiliki panjang sekitar 70 sentimeter dengan tampilan warna hitam dihiasi lingkaran-lingkaran putih seperti cincin di seluruh tubuhnya.

Amir Hamidy, ahli herpetologi LIPI yang terlibat langsung dalam riset itu menjelaskan, untuk mendeskripsikan dan mengungkapkan bahwa L. sidiki spesies baru, dirinya dan rekan peneliti lain menggunakan beberapa pendekatan identifikasi. Di antaranya, karakter morfologi dan molekuler. Berdasarkan hasil identifikasi morfologi, ular Lycodon yang ditemukan di Aceh ini merupakan spesies baru karena memiliki ciri khas berupa pola sisik dorsal dan loreal yang berbeda dari spesies Lycodon lain.

“Kita melihat sisik di seluruh bagian ular tersebut, dari kepala hingga ekor. Jika diamati, pola sisik pada lubang hidung di kepala hingga sisik di bagian analnya, ular itu memiliki pola yang khas. Sisik dorsal pada Lycodon itu berlunas dan sisik lorealnya memanjang,” tutur Amir kepada Mongabay Indonesia, akhir pekan ini. “Pendekatan karakter morfologi merupakan salah satu cara yang umum digunakan untuk mengidentifikasi ular,” tambahnya.

 

Spesies ular L. sidiki yang hanya ditemukan di Takengon, Aceh Tengah, Aceh. Sumber foto: Jurnal Zootaxa Juni 2017

 

Hal lain yang menunjukkan ular tersebut sebagai spesies baru, merujuk karakter molekulernya. Hasil identifikasi menunjukkan jenis ini berbeda dengan spesies Lycodon yang sudah dikenal. “Ketika kita melihat DNA-nya dan kita bandingkan, ular ini ternyata spesies tersendiri, terpisah dengan lainnya. Kombinasi dari dua bukti itu menguatkan bahwa ular tersebut merupakan spesies baru,” jelas Amir.

Ular L. sidiki ini tidak memiliki bisa. Namun ia meniru atau mimicry sebagaimana ular weling atau Bungarus candidus yang sangat berbisa. Menurut Amir, mimicry ini merupakan hal biasa dalam konteks evolusi. Bentuk penyamaran itu juga sebagai upaya pertahanan diri dari ancaman bahaya.

”Ular ini tidak berbisa, agar survive, dia menirukan karakter dan perilaku ular berbisa, seperti B. candidus ini.”

 

Sisik dorsal, loreal, dan ventral pada kepala L sidiki. Sumber foto: Jurnal Zootaxa Juni 2017

 

Spesies ular yang ditemukan pada 2015, sejauh ini hanya ada di Takengon. Menurut Amir, berdasarkan surviy 2013 hingga 2016, ular ini tidak terlihat di tempat lain.

Cerita uniknya, penamaan spesies ini memiliki cerita. Ternyata, sidiki diambil dari nama belakang ahli herpetologi senior LIPI yakni Irvan Sidik. “Ahli herpetologi di Indonesia hanya sedikit, tidak lebih dari sepuluh orang,” kata Amir. Karena itulah, tim sepakat memberi penghargaan kepada Irvan Sidik. Penyematan ini bentuk penghargaan terhadap kontribusinya bagi ilmu pengetahuan.

 

 

P. baliomus jantan dewasa yang ditemukan di Sungai Penuh. Sumber foto: Jurnal Zootaxa Juni 2017

 

Pseudocalotes boliomus

Spesies lain yang ditemukan dalam survei herpetofauna hasil kolaborasi ahli herpetologi LIPI dan universitas lainnya adalah spesies bunglon baru dari Genus Pseudocalotes. Berdasarkan jurnal internasional Zootaxa edisi Juni 2017, spesies bunglon tersebut ditemukan di perbatasan Jambi dan Sumatera Barat tepatnya di Sungai Penuh, Bukit Barisan. Nama ilmiahnya Pseudocalotes boliomus.

Amir menuturkan, spesies tersebut pernah ditemukan dan dikoleksi oleh Salomon Muller yang saat itu bekerja untuk pemerintah Hindia Belanda pada 1830-an. Muller mengoleksi dua individu dan membawanya ke Leiden, Belanda. Namun Muller tidak mengidentifikasi sehingga belum ada nama ilmiah bunglon tersebut, sampai akhirnya tim survey menemukan pada 2013 dan mengidentifikasinya kembali hingga diakui dan dipublikasikan di jurnal internasional.

“Dengan metode yang sama dalam mengidentifikasi L. sidiki, kami membandingkan bunglon yang ditemukan di Jambi dengan spesimen yang ada di museum Laiden. Ternayata, karakter morfologi dan molekulernya sama.”

 

Kepala dan mulut P. baliomus. Foto: E N Smith via Jurnal Zootaxa Juni 2017

 

Penamaan spesies bunglon P. baliomus berasal dari bahasa Yunani. Baliomus berasal dari kata balios yang berarti titik atau berbintik dan omos yang berarti pundak. “Artinya, pundak yang berbintik,” kata Amir. Sesuai nama ilmiahnya, P. baliomus ini memiliki warna hijau cerah di seluruh tubuhnya dengan bitnik putih bagian punggung.

Kedua reptil baru itu selanjutnya diteliti lebih mendalam lagi untuk diketahui potensinya. “Kita pelajari perilakunya, lalu apa yang menyebabkan dia berperilaku seperti itu, apakah ada zat kimiawi yang memengaruhinya? Semua itu butuh waktu panjang,” katanya. Yang terpenting, kata Amir, temuan spesies baru ini segera diajukan statusnya ke IUCN, selaku lembaga internasional yang mempunyai kewenangan mengenai status perlindungan satwa.

 

Head scalation of Pseudocalotes baliomus (Holotype, MZB 9813)-Sumber foto: Jurnal Zootaxa Juni 2017

 

Amir yakin, jumlah reptil dalam 20 – 30 tahun kedepan akan bertambah dua kali lipat dari yang sekarang. “Dalam sistem taksonomi, di antara mamalia dan burung, kelas vertebrata yang masih belum stabil adalah reptil, amfibi dan ikan. Artinya, tiga kelas terakhir vertebrata ini akan terus bertambah dengan penemuan jenis baru setiap tahunnya, di manapun di dunia ini,” pungkasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,