Pangan untuk Rakyat: Akankah Padi Menggantikan Ubi di Wamena?

Matahari bulan September terik bersinar di Wamena, Ibukota Kabupaten Jayawijaya. Siang itu, di balik tembok gedung “Wenehule Huby” lantai 4 di ruangan Dinas Pertanian, Marinus Kossay dan Viktor Malisa sedang berdiskusi serius.

Marinus Kossay adalah Kepala Seksi Sarana prasarana Tanaman Pangan dan Hortikultura sedangkan Viktor Malisa adalah Sekretaris Dinas Pertanian. Marinus Kossay berasal dari Wamena sedangkan Viktor Malisa berasal dari Toraja, tapi lahir dan besar di Wamena.

Mereka membahas perkembangan program pajale (padi, jagung dan kedelai) di Jayawijaya, yang merupakan bagian dari upaya khusus (upsus) swasembada pangan Kementerian Pertanian. Kebetulan Marinus Kossay memimpin operasi program ini di Kabupaten Jayawijaya. 

Tantangan terbesar adalah bagaimana mengembangkan pertanian pangan introduksi ini di Lembah Baliem. Banyak yang kuatir, komoditi tradisional seperti ubi jalur (hipere), –makanan pokok masyarakat Dani, bakal tersingkir jika pajale dikembangkan.

Marinus, yang menyelesaikan pendidikan di Sekolah Tinggi Pertanian di Jayapura mengaku komoditi ini belum terbiasa dikembangkan oleh para petani. Tak sedikit yang skeptis dengan rencana ini.

Di sisi lain, tujuan program ini tidak main-main. Konon, Presiden sendiri yang menginstruksikan agar komoditi pajale dikembangkan di Jayawijaya. Harapannya mulia, agar warga di Jayawijaya tidak perlu lagi tergantung kebutuhan pangan dari tempat lain. Selain dapat menekan biaya, maka kemandirian masyarakat terbentuk.

Apalagi pemekaran kabupaten di wilayah Pegunungan Tengah, telah mendorong semakin pentingnya kebutuhan pangan yang dibutuhkan oleh masyarakat di waktu mendatang. Kabupaten baru seperti Lani Jaya, Tolikara, Yalimo dinilai tidak cocok dan tidak memiliki lahan persawahan.

“Apakah semua harus beli di Jayapura dan harus diangkut pesawat dengan susah payah?” ungkap Marinus.

Namun ada juga yang menganggap bahwa program itu akan menghancurkan pertanian ubi jalar lokal. Jenis pangan tradisional masyarakat yang telah berakar ribuan tahun di Lembah Baliem, —Green Valley (Lembah Agung) menyitir istilah Archblod, kala melihat lembah ini pertama kali dari pesawat ekpedisi yang terbang dari Mamberamo ke Habema.

Kekuatiran ini sempat disuarakan dalam satu diskusi bertema “Hipere yang hilang” di Wamena seperti yang pernah ditulis suarapapua.com tahun 2016. Dalam diskusi itu disampaikan beragam jenis hipere yang kian tergerus oleh beras.

Apalagi dengan menjamurnya program beras miskin yang dicanangkan oleh pemerintah, keragaman jenis hipere pun makin redup. Dari sekitar 87 jenis hipere di Wamena yang  dicatat oleh LIPI, saat dilakukan identifikasi ulang oleh Dinas Pertanian dan Oxfam pada tahun 2012 hanya tersisa 36 saja.

Viktor tidak setuju dengan argumentasi itu. Menurutnya, pengembangan padi tidak akan merusak pola pangan asli daerah. Baginya, pengembangan padi di Wamena tidaklah menggeser justru memperkuat. Dari segi harga, komoditas beras juga bakal membawa kesejahteraan.

“Padi yang akan dikembangkan di Wamena adalah padi sawah. Di mana padi sawah dikembangkan? Di lahan basah. Adakah hipere ditanam di lahan basah?” tanyanya.

Di Wamena, rawa terhampar luas dan terdapat di beberapa titik wilayah. Data LIPI menunjukkan ada sekitar 1.883 ha lahan rawa di Wamena. Lahan-lahan itu dapat diubah menjadi lahan produktif entah menjadi sawah maupun kolam ikan.

 

Area persawahan padi di Lembah Baliem. Foto: Elisabeth Asrida/Mongabay Indonesia

 

Di tahun 1986, George Junus Aditjondro, cendekiawan dan pakar gerakan sipil di Papua, pernah mencatat tentang awal mula pengembangan sawah di Lembah Baliem.

Kala itu, ada seorang Guru SD asal Toraja yang sudah beberapa lama bermukim di Wamena. Alih-alih mengangkut jatah berasnya dari Jayapura, dia lalu mencoba membuat petak sawah sendiri. Setelah enam kali dicoba, akhirnya dia berhasil dengan benih padi yang didatangkan dari Toraja, lokasi yang memiliki iklim pegunungan serupa dengan Wamena.

Dari pengalaman itu, Dinas Pertanian kemudian membentuk satu kelompok petani sawah di Megapura, satu wilayah yang terletak di pinggir Kota Wamena. Kelompok ini terdiri dari para petani asli Wamena. 

Saat Mongabay berkunjung ke Megapura akhir September lalu, tampak para pekerja sibuk bekerja di petak-petak sawah mereka. Di lokasi ini, saluran Irigasi sudah dibangun oleh Dinas PU. Irigasi memang menjadi salah satu aktivitas penting untuk pertanian yang menjadi prioritas Presiden Jokowi.

Di tempat ini petak-petak sawah terlihat ada yang sudah ditanam, ada yang baru selesai dibajak, ada yang masih dibajak, tapi ada juga yang dibiarkan begitu saja tak diolah.

Yusuf Wetapo (21), anak muda tamatan Sekolah Teknik Menengah (STM) Ninapua Wamena terlihat menggerakkan traktor pembajak sawah. Di petak lain, seorang bapak terlihat memperbaiki pematang sawah. Beberapa orang menyedot air keluar dari petak sawah menggunakan mesin.

Yusuf mengaku sudah cukup lama mengolah sawah untuk membantu keluarga. “Kalau kerja kolam (sawah) itu, kami bisa panen serentak, bisa jual dan beli kebutuhan” ujarnya.

Di Lokasi ini masyarakat sudah memiliki gudang penampung dan mesin penggiling. Hasil panen bisa digunakan untuk konsumsi sendiri dan dijual. Harga beras para petani ini biasanya Rp20.000/kg dan naik hingga Rp30.000/kg saat persediaan beras sedang kosong.

“Ada yang bilang, orang Wamena tidak bisa menggunakan alat mekanisasi. Ini terbukti bisa,” ujar Marinus kala mengarahkan pandang ke arah Yusuf.

Ada sekitar 62 traktor tangan yang dibagi ke wilayah-wilayah persawahan di Wamena, bantuan langsung dari Kementerian Pertanian. Mengoperasikan mesin-mesin ini tentu butuh keahlian dan juga bahan bakar. Bahan bakar di Wamena diangkut menggunakan pesawat dari Jayapura.

Kendati Presiden Jokowi sudah menjanjikan harga BBM seragam di nusantara, saat Mongabay berkunjung ke Wamena untuk liputan ini, sedang terjadi kelangkaan bahan bakar. Harga bensin mencapai Rp50.000/liter, sekitar 7x lipat harga resmi Pertamina.

Di tengah berbagai kendala, Marinus berharap masyarakat bisa memanfaatkan lahan 2.012 hektar sawah di Wamena yang bisa diolah. Ia menjelaskan pendapatnya.

“Masyarakat dibuat terlena oleh bantuan beras miskin yang justru bikin rakyat tambah miskin. Beras miskin ini sudah ampas. Supaya tidak dimakan ulat, maka digunakan pengawet. Ini kan tidak sehat. Kenapa tidak lahan basah yang ada kita bikin sawah dan kolam ikan?” ujar Marinus.

Ada berbagai tantangan dalam mengembangkan pertanian sawah di Wamena. Belum semua wilayah memiliki saluran irigasi, akibatnya petak-petak sawah ini mudah tergenang saat hujan dan kering disaat kemarau.

Petani juga belum mengolah lahan-lahan persawahan ini secara kontinu, ditambah cara menanam dan mengatur pengairan yang belum optimal. Namun di antara semua tantangan itu, tantangan terbesar adalah bagaimana menggerakkan masyarakat untuk bekerja mengolah lahan basah ini.

 

Marinus Kossay staf Dinas Pertania Jayawijaya sedang berbincang dengan Matius Marian, Ketua Kelompok Tani Kampung Leabukama. Foto: Elisabeth Asrida/Mongabay Indonesia

 

Dari 2.012 hektar potensi sawah yang ada, ada sekira 400 hektar yang menjadi target untuk diolah hingga akhir 2017. Namun hingga September 2017, baru 186 hektar lahan terolah.

Untuk mendukung program pemerintah mencapai swasembada pangan, Kementan menjalin kerjasama dengan TNI untuk mengawal peningkatan produksi komoditas pertanian. Di Wamena, tentara sudah mulai turun ke lahan pertanian sejak Februari 2017.

“Kami ini tentara yang keahliannya mencakup semua. Mulai dari tugas tempur, keuangan sampai lain-lain. Apa yang jadi kekurangan Dinas Pertanian, kami siap bantu,” ucap Sersan Komang Wisma dari Kodim 1702 Jayawijaya.

Komang menyebut dirinya tidak memiliki jadwal tetap kunjungan, tapi kapanpun dibutuhkan petani, dirinya akan datang. Dia berharap agar pada panen perdana di akhir tahun 2017 ini semua pihak dapat mengevaluasi berbagai hal yang dianggap masih menjadi kekurangan bersama.

Ditanya tentang penerimaan tentara oleh petani, Marinus menyebut ada wilayah yang menolak masuknya tentara untuk bekerja bersama petani. “Ada beberapa tinggalan trauma masa lalu,” jelasnya. Wamena memang memiliki catatan sejarah konflik  masyarakat dengan aparat keamanan sejak awal integrasi pada tahun 1961. Marinus membantu untuk membuka kebuntuan komunikasi yang ada.

Salah satu wilayah yang menolak TNI masuk adalah Kampung Elabukama di Distrik Musatfak. Elabukama berjarak kira-kira 1 jam perjalanan menggunakan mobil dari Wamena. Mereka memilih bekerja sendiri dan hanya didampingi oleh Dinas Pertanian.

Matius Marian bersama kelompoknya di Kampung Elabukama sedang panen saat kami berkunjung. Sersan Komang yang mengetahui sedang ada panen di Kampung Elabukama ingin timnya terlibat membantu panen.

Sersan Komang pun meminta bantuan Marinus untuk mempertemukannya dengan masyarakat Elabukama. Setelah bertemu Matius Marian dan masyarakat lain yang sedang panen, Sersan Komang didampingi Marinus menuju kantor kampung Elabukama untuk berjumpa dengan kepala kampung Heman Kossay. Dia menyampaikan keinginannya untuk datang terlibat saat panen.

***

Di dalam kelompoknya, Matius Marian memiliki 8 petak sawah berukuran 50×50 meter persegi, namun yang diolah hanya 5 petak. Dia menggunakan benih sebanyak 5,1 kg. Kelebihan bibit dari benih itu masih bisa dibaginya untuk anggota kelompok yang lain. Dari 5 petak yang sedang dipanen, Matius memperkirakan akan menghasilkan beras kurang lebih 500 kg.

“Selama ini kami hanya tahu makan nasi. Asalnya dari mana, cara tanamnya bagaimana, tidak tahu. Tapi sekarang kami tahu,” ujar Matius. Dia mengaku tidak menggunakan pupuk atau bahan pestisida kimia lainnya.

 

Hedwig Alua, istri Matius Marian sedang membersihkan gabah dari batang-batang padi. Foto: Asrida Elisabeth/Mongabay Indonesia

 

Dia bersama kelompoknya sedang mencoba metode SRI (System of Rice Intensification). Caranya memadukan antara peningkatan produksi dengan pengolahan tanah dan air secara berkelanjutan.

“Setelah giling, hasilnya kita bagi, kalau ada sisa disimpan untuk makan, lainnya kita jual” lanjut Matius. Matius menyebut tidak punya pasar tetap untuk saat ini.

Dia membandingkan dengan cara menanam hipere. Komoditi ini mermerlukan pagar, mencabut akar kayu dan menggali parit agar air tidak menggenangi umbi hipere. Katanya, kalau bekerja di sawah lebih sederhana. Hanya perlu membabat dan membiarkan tanaman membusuk bersama air. Saat mengerjakan sawah sudah ada traktor, saat panen pun sudah ada mesin rontok dan mesin giling.

Matius menyebut, lahan sawah tidak berkompetisi dengan hipere. Keladi dan hipere tidak serta ditinggalkan oleh masyarakat. “Hipere bisa kita tanam di pematang. Sore habis kerja mama-mama bisa langsung petik daun atau gali ubi buat dibawa pulang.”

Jumlah anggota kelompok yang dipimpin Matius terdiri dari 11 keluarga yang langsung didampingi oleh Dinas Pertanian. Karena anggota kelompoknya sedang panen, Matius meminta sekelompok anak muda gereja membantu panennya.

Mereka membantu Matius memotong padi yang sudah menguning, lalu mengangkutnya ke pondok di mana mesin rontok dioperasikan untuk memisahkan gabah dari batang padi. Matius dan Istrinya Hedwig Alua mengoperasikan mesin perontok ini.

“Padi ini pemerintah yang bawa. Tapi tanah ini adat yang punya. Cara kelolanya tidak pakai kebiasaan adat. Beda kalau dengan kebun hipere. Kita sepakat hari ini kita bikin kebun hipere, kita kerja sama-sama.”

***

Jauh sebelum gereja dan negara masuk ke Lembah Baliem, masyarakat sudah mengembangkan pertanian. Berkebun ubi dan sayuran serta beternak babi adalah aktivitas ekonomi utama di Lembah Baliem.

Untuk membuka kebun hipere masyarakat merencanakannya di honai dibawah komando kepala suku kesuburan, menurut Matius untuk pengolahan sawah tidak demikian caranya. Cukup lewat kelompok.

“Kalau mau dibilang, kami di Wamena ini kental dengan adat dan budaya. Batas wilayah jelas harga mati. Dulu ada perang untuk mempertahankan wilayah,” jelas Marinus.

Meski demikian, kekuatan kepemimpinan adat ini dirasa makin hilang seiring dengan banyaknya pemekaran, baik distrik maupun kampung.

Sebagai Sekretaris Dinas Pertanian, Viktor Malisa berharap bisa terus mengembangkan hipere di Kabupaten Jayawijaya. “Hipere ini bukan hanya sekedar pangan, tapi juga identitas dan simbol budaya.”

Namun sayangnya, pengembangan hipere oleh Dinas Pertanian jelasnya terkendala anggaran. Meski telah diajukan, kegiatan pengembangan hipere selalu hilang dari mata anggaran daerah. “Kami sedang cari solusi bagaimana supaya meski tidak ada uang, tapi kegiatan ini masih bisa jalan,” lanjut Viktor.

Keprihatinan Viktor tentunya dapat dipahami.

Dalam buku Encounter with the Dani, Susan Meiselas penulisnya, menaruh kekaguman pada budaya dan teknik pertanian orang Dani-Hubula. Dalam kutipannya dia menulis bahwa masyarakat di Lembah Baliem adalah para petani tangguh dan terampil yang telah membangun terasering di lereng bukit untuk mencegah erosi dari air hujan yang datang.

“…Mereka menanam 60 jenis ubi manis (hipere) yang masing-masing diberi nama sendiri. Hipere ini adalah makanan utama (staple crop). Mereka juga menanam tembakau untuk rokok, memelihara babi dan menanam pisang, keladi, tebu, jahe, ubi, ketimun, dan beberapa jenis tanaman semacam bayam untuk makanan.”

Pertanyaannya adalah, akankah dalam jangka panjang budaya pertanian lokal ini akan menjadi lebih kuat atau justru melemah dengan adanya program pemerintah seperti pajale? Akankah ekologi dan kebudayaan orang Baliem tetap bertahan?

Waktu yang akan menjawab. Satu yang jelas teknologi pertanian tradisi di Lembah Baliem sudah berkembang pesat jauh sebelum datangnya berbagai program pemerintah dan pengaruh dari luar.

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,